
Oleh: Albiner Siagian.
Akhir-akhir ini masyarakat ramai berdiet dengan cara baru, namanya Low-Carb Diet (Diet Karbohidrat-Rendah) atau No-Carb Diet (Diet Tanpa-Karbohidrat). Low-Carb Diet adalah cara berdiet dengan mengurangi secara ekstrim karbohidrat pada menu makanan mereka. Bahkan, penganut cara berdiet ini nyaris menyisihkan karbohidrat dari menu makanannya sehari-hari. Sebagai sumber energi (kalori), karbohidrat digantikan oleh lemak dan protein, terutama lemak dan protein hewani.
Low-Carb Diet adalah medifikasi dari cara berdiet yang selama ini sudah diterapkan oleh masyarakat, yaitu Atkin’s Diet dan Low-Carbohy drate and High-Fat (LCHF) Diet. Prinsip LCHF Diet adalah mengurangi karbohidrat dengan menggantikannya dengan lemak (diet lemak-tinggi).
LCHF Diet tidak terlalalu memperhatikan porsi lemak dan proteinnya. Sementara itu, Atkin’s Diet, yang juga dikenal sebagai Keto Diet, selain karbohidrat rendah (5%), porsi lemaknya juga diatur (75%). Sisanya adalah protein (20%).
Atkin’s Diet disebut Keto Diet karena dengan prosi lemak, protein, dan karbohidrat seperti itu, tubuh akan mencapai kondisi ketosis, suatu kondisi pada mana tubuh mulai membakar lemak untuk menghasilkan energi bukan lagi dari karbohidrat.
Sebagai pembandingnya, Departemen Kesehatan RI melalui Pedoman Gizi Seimbang mentapkan porsi lemak 30%, karbohidrat 50% dan protein 20% sebagai penyumbang bagi kebutuhan energi total.
Pada dasarnya, perubahan mendasar dari Low-Carb Diet dari makanan yang lazim kita konsumsi aalah mengganti makanan sumber energy dari pangan berbasis nabati (plant-based foods) menjadi pangan berbasis hewan (animal-based foods). Sebagai contoh pangan berpati digantikan oleh daging atau ikan.
Low-Carb Diet menjadi sangat populer karena efeknya yang cepat terhadap penurunan berat badan (weight loss) dan pengendalian kadar glukosa darah pada penderita diabetes. Berbagai penelitian juga mengungkapkan efek positif cara berdiet ini terhadap risiko peneyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner dan penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis).
Akan tetapi, fakta dari berbagai penelitian juga mengungkapkan bahwa Low-Carb Diet masih kontroversial. Efek positif dari Low-Carb Diet masih lebih banyak didukung oleh penelitian berjangka pendek, sesuai dengan manfaat jangka pendek diet itu.
Kalaupun ada penelitian yang meneleliti efek jangka panjang diet berkarbohidrat-rendah ini, populasi penelitiannya adalah masyarakat Eropa dan Amerika Utara, yang pada dasarnya telah terbiasa dengan diet lemak dan protein tinggi.
Dehghan M dkk, melalui The Prospective Urban Rural Epidemiology (PURE) study, yang dipublikasikan pada The Lancet edisi November 2017, meneliti secara prospektif 135.335 orang dari 18 negara yang berusia antara 30-70 tahun selama rata-rata 7,4 tahun. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengungkapkan asosiasi antara asupan lemak dan karbohidrat dengan kematian dan penyakit kardiovaskular.
Selama kurun waktu penelitian (7,4 years follow-up study), Dehghan dan kawan-kawan mencatat 5.796 kematian, 4.784 kasus (82,5%) kematian itu terkait penyakit kardiovaskular. Mereka menemukan, asupan karbohidrat yang tinggi berasosiasi dengan angka kematian yang tinggi terkait penyakit kardiovaskular itu.
Dehghan menyimpulkan asupan karbohidrat yang tinggi berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Mereka juga menyatakan asupan lemak total dan jenis lemak tidak berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler dan kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Atas dasar itu, Dehghan merekomendasikan pentingnya pedoman makanan global dengan memperhatikan hasil penelitian ini. Implikasi dari penelitian Dehghan dkk adalah perubahan diet dari karbohidrat tinggi-lemak rendah menjadi karbohidrat rendah-lemak tingg (Low-Carb Diet).
Akan tetapi hasil penelitian terbaru yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah yang sama mengungkapkan fakta yang sebaliknya. Penelitian berjudul Dietary carbohydrate intake and mortality: a prospective cohort study and meta-analysis, yang dipublikasikan pada The Lancet edisi September 2018, mengungkapkan baik asupan karbohidrat yang rendah maupun yang tinggi berkaitan dengan peningkatan risiko kematian. Risiko kematian justru paling rendah pada asupan karbohidrat sebesar 50-55% (pola makan yang lazim sehari-hari dan yang sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang).
Seidelmann, pada penelitian yang dinamai The Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study itu, meneliti sebanyak 15.428 orang dari 4 kelompok masyarakat Amerika Serikat selama 2 tahun (cohort study and meta-analysis). Dari hasil penelitian ini mereka menyimpulkan diet karbohidrat rendah yang menggantikannya dengan lemak dan protein dari daging (hewani) berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila karbohidrat itu digantikan oleh lemak dan protein nabati, risiko kematian lebih rendah. Implikasi dari temuan ini adalah pemilihan sumber pengganti karbohidrat (dalam hal ini dari lemak dan protein nabati) memodifikasi efek asupan karbohidrat terhadap risiko kematian.
Fakta ilmiah dari penelitian ini yang mengungkapkan bahwa diet berkarbohidrat rendah masih kontroversial. Oleh karena itu, kepada masyarakat disarankan untuk lebih hati-hati dan selektif menerapkan cara berdiet ini.
Sebagai cara untuk menurunkan berat badan jangka pendek diet ini memang sudah terbukti baik diterapkan. Akan tetapi, menjadikan Low-Carb Diet sebagi pola makan sehari-hari masih perlu dipertimbagkan dan didukung oleh fakta ilmiah yang lebih meyakinkan.
(Penulis adalah Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU)