Oleh: Budi Hatees
Hari itu, Rabu, 12 Desember 2018, saya hadir di tengah-tengah acara bincang bertema “Bagaimana Mengembangkan UKM dan IKM” di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel) yang digelar panitia Festival Oleh Oleh Tabagsel. Tabagsel itu sebuah wilayah geografis dari masa Pemerintahan Hindia Belanda, dan daerah yang sebelumnya hanya Kabupaten Tapanuli Selatan itu, kini telah mekar menjadi lima pemerintah kabupaten/kota: Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padanlawas Utara, dan Kabupaten Padanglawas.
Lima kabupaten/kota ini memiliki kemampuan berbeda dalam menggerakkan roda pembangunan daerahnya, karena memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda. Perbedaan itu menonjol jika dilihat dari kebijakan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di mana Kabupaten Tapanuli Selatan tampak lebih siap menjadi daerah otonomi dibandingkan kabupaten/kota lainnya yang terkesan masih saja mencari-cari strategi yang tepat guna menggerakkan roda pembangunan daerahnya.
Di dalam diskusi itu, saya terlanjur memiliki ekspektasi tinggi terhadap para pembicara. Setelah beberapa pembicara mulai unjuk kemampuan artikulasi, yang inti pembicaraannya kuat ditandai subyektivitas karena tak dibarengi dengan data yang valid tentang apa yang sedang dibicarakan, tiba-tiba saya merasa tidak mendapatkan apapun dari tema yang sebetulnya menarik.
Pembicara yang mewakili teknokrasi, misalnya, bicara bukan berdasarkan basis data yang aktual tentang berapa banyak UKM/IKM di Tabagsel, berapa unit dari UKM/IKM itu yang tumbuh positif dan berapa unit yang jalan di tempat, serta apakah kendala terbesar yang dihadapi para pelaku UKM/IKM. Ketika dia bicara kalau produk UKM/IKM yang ada di Tabagsel “tidak layak jual” karena kemasannya buruk, maka defenisi “kemasan buruk” itu terdengar subyektif, dan kesimpulan “tak layak jual” itu terkesan pejoratif.
Dalam hati saya menggerutu sambil menatap para pembicara yang diklaim sebagai ahli di bidang UKM/IKM, mulai dari teknokrasi, pelaku usaha, asosiasi, lembaga keuangan dan pembiayaan, pengampu perizinan, sampai pada pengambil keputusan seperti Wali Kota Padang Sidempuan, Irsan Effendi Nasution. Bagaimana bisa membicarakan sesuatu yang sangat vital bagi perekonomian daerah di wilayah Tabagsel (Tapanuli bagian Selatan) tanpa membubar realitas yang ada lewat data yang komprehensif. Entahlah!
Persoalan yang dipersoalkan itu menyangkut: 1)UKM/IKM tidak tumbuh sebagai sumber daya perekonomian daerah; 2)UKM/IKM cenderung tidak memproduksi produk massal; 3)UKM/IKM lemah dalam membuat kemasan produk; 4)manajemen UKM/IKM tidak produktif; dan 5)UKM/IKM mengalami kekurangan modal. Di tempat yang sama, setahun yang lalu, juga dalam acara Festival Oleh Oleh Tabagsel, persoalan yang hari itu juga dipersoalkan. Artinya, setiap kali ada pembicaraan tentang UKM/IKM, selalu saja berkutat dengan persoalan yang sama dari tahun ke tahun sekalipun yang membicarakannya orang yang berbeda. Dengan kata lain, persoalan UKM/IKM telah menjadi persoalan yang sangat umum, dan semua pihak mengetahui persoalan itu, akan tetapi upaya untuk menyelesaikan persoalan itu tidak kunjung ditemukan.
Kondisi ini lebih menunjukkan, terhadap UKM/IKM, siapa pun tampaknya tidak punya antisipasi. Mungkin karena persoalan UKM/IKM sangat remeh, terkait modal yang tidak seberapa dan omzet yang kecil saja. Sebab itu, selalu diandaikan, dalam setiap keadaan, rencana, dan program untuk mengembangkan UKM/IKM, tidak perlu dipikirkan kesulitan, hambatan, dan masalah yang membayangi. Yang penting, dijalankan dulu, lalu dihadapi apa yang akan dihadapi.
Saya justru teringat pada Socrates. Filosof ini pernah mengatakan, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Secara psikologis, orang-orang dungu cenderung menganggap orang lain lebih dungu dari dirinya. Karena kedunguannya, dia akan memilih orang-orang dungu lainnya untuk mendukung dirinya. Kumpulan orang-orang dungu ini tidak terbiasa melakukan sesuatu setelah mempertimbangkan antisipasi terhadap persoalan yang akan timbul.
Kondisi ini terjadi karena rakyat tidak selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap mampu, tetapi lebih mendukung orang-orang yang mereka sukai. Rasa suka itu relatif. Sangat mungkin, rasa suka muncul karena orang-orang itu memberikan sekian banyak hal menyenangkan kepada rakyat. Cuma, malangnya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, belum tentu orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka. Dalam hal mengurus UKM/IKM, ketidakkompetenan itu bisa dilihat dari tidak adanya basis data yang jadi acuan dalam pengambilan kebijakan, sehingga segala kebijakan dibuat bukan untuk memecahkan persoalan lama tetapi menciptakan persoalan baru.
Semua orang bicara tentang UKM/IKM karena umumnya persoalan UKM/IKM seperti itu. Tidak ada pembicaraan yang lebih spesifik. Misalnya, apa yang membedakan UKM/IKM di Kota Padang Sidempuan dengan UKM/IKM yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan, Padanglawas Utara, Padanglawas, atau Kabupaten Mandailing Natal. Semua UKM/IKM yang ada di wilayah Tabagsel itu, diasumsikan menghadapi persoalan yang sama dan seakan-akan bisa diselesaikan dengan satu solusi saja. Ketidakadaan data base menyebabkan diagnosa keliru, dengan sendirinya penyembuhannya keliru.
Ini khas cara kerja dan cara pikir birokrat di lingkungan pemerintah daerah. Birokrasi rata-rata lahir dari proses demokrasi yang keliru, yang menyebabkan pemerintah di daerah mengalami dilema serius antara konstituensi dan kompetensi. Artinya, kehidupan pemerintahan daerah dihadapkan pada pertanyaan: apakah mereka yang mengelola pemerintahan daerah dan masyarakat harus orang-orang yang di dukung oleh konstituensi yang luas (yang terpilih dalam proses Pilkada), ataukah harus orang-orang yang memiliki kemampuan bekerja yang baik dengan dukungan integritas yang dapat diandalkan.
Kita tahu jawabannya adalah mereka yang memikirkan konstituen akan mendapat kedudukan lebih tinggi, sementara mereka yang punya kompetensi akan terabaikan. Jadi, dalam jabatan birokrasi, seseorang akan diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengurus OPD bila memiliki kesangupan untuk merawat konstituen dari pejabat politik. Para kepala OPD tidak perlu punya kompetensi dengan bidang tugasnya, sehingga pejabat birokrat semacam ini cenderung akan menilai partisipasi rakyat luas dalam bidang tugasnya dianggap memperumit masalah dan bukannya memecahkan masalah.
Jika masalah dalam hal ini terkait UKM/IKM, maka para birokrat di OPD yang bertugas mengurus UKM/IKM akan menganggap partisipasi masyarakat sebagai beban. Anggapan ini terjadi karena mereka melakukan kesalahan kategori (category mistake) dalam melihat persoalan UKM/IKM, di mana persoalan-persoalan UKM/IKM itu melulu dilihat sebagai persoalan teknis hukum dan bukan persoalan politis. Padahal, sebuah masalah yang sangat teknis sekalipun terkait UKM/IKM seperti bagaimana cara pelaku usaha UKM/IKM mendapatkan modal dari lembaga pembiayaan, sebetulnya mempunyai aspek politik. Artinya, yang dibutuhkan pelaku UKM/IKM tidak hanya teknis mendapatkan modal dari lembaga pembiayaan, tetapi bagaimana supaya ada kebijakan politis yang menentukan siapa pihak yang bisa menjadi avalis para pelaku UKM/IKM.
Semua pelaku UKM/IKM tahu cara mendapatkan tambahan modal usaha hanya melalui lembaga pembiayaan, akan tetapi mereka tidak punya cukup energi untuk memenuhi persyarakatan administrasi yang begitu ketat. Pada tataran inilah dibutuhkan kehadiran lembaga yang menjadi avalis, yang kemunculannya bisa saja diciptakan melalui kebijakan politis yang dibuat oleh pejabat politik di lingkungan pemerintah daerah.
Masalah lain yang dihadapi pelaku UKM/IKM teknis pemasaran produk, yang tidak hanya bisa diselesaikan dengan memberikan pengetahuan tentang teknik membuat kemasan. Begitu juga masalah-masalah lain, tak hanya menyangkut pengetahuan teknis, tapi juga membutuhkan kebijakan politis.
Jadi, masalah UKM/IKM sangat kompleks. Sebab itu, bila membicarakan soal UKM/IKM, ada baiknya setiap pihak bicara berdasarkan data yang konfrehensif. Dengan begitu, pemecahan setiap masalah bisa dirumuskan agar tahun depan persoalan yang sama tidak lagi muncul. ***
Penulis peneliti di Institute Sahata, tinggal di Kota Padangsidempuan