
Oleh: Rizki Muliani Nasution
RARA membuka laptopnya dan menyambungkannya ke internet, sudah dua tahun dia lulus dari Melbourne University tapi belum memiliki niat untuk pulang ke Indonesia. Dia masih betah dengan negeri kanguru itu. Negeri yang sudah enam tahun ini dia jelajahi dan berjuang di dalamnya. Berkali-kali telepon dari Emaknya di kampung datang menyuruh pulang. Rara berbohong, Rara mengatakan kuliahnya itu belum selesai padahal dua tahun lalu dia sudah menyelesaikannya.
Kali ini, entah mengapa ada rasa rindu untuk kembali ke kampung halamannya di Sosa, desa Aek Tinga, desa yang jauh sekali dari peradaban maju versinya. Seluas mata memandang hanya ada perkebunan dan taraf kehidupan yang biasa saja. Rara membuka facebooknya dan seketika dia teringat Hamid, sahabatnya yang telah membantunya dapat kuliah di negeri orang ini. Hamid rupanya jarang sekali meng-updote status-statusnya. Tidak banyak yang berubah di wallnya. Rara menghembuskan nafas dalam. Lampu cafe yang temaram dapat menyembunyikan matanya yang sembap, baru saja Michael kekasihnya mencampakkan kepercayaannya selama ini. Dia tidak setia. Dia pergi dengan perempuan lain, dia lebih memilih perempuan itu daripada Rara yang sudah satu tahun ini menemaninya. Begitu dangkal cinta itu rupanya bagi orang Melbourne. Rara bukan gadis Barat yang mudah saja menyerahkan kegadisannya pada orang yang baru berstatus pacar. Walau dia tinggal di negeri yang bebas sebebas-bebasnya yaitu Australia ini, Rara masih saja menyimpan adat timur erat dan lekat dalam dirinya. Itu seumur hidup tidak akan dia lepas, walau dia tinggal di negeri kanguru yang rata-rata penduduknya adalah campuran seluruh etnis di dunia.
Rara menarik nafas panjang, saat ini dia rindu sekali kampung halamannya. Dia ingin pulang. Ingin melihat Ibunya dan Hamid. Tiba-tiba saja, nama itu muncul di pikirannya. Bagaimana dengan Hamid? Apa dia sudah menikah? Sudah berapa anak yang dia miliki dari seorang gadis desa Aek Tinga? Sejumlah pertanyaan berkelebat di pikiran Rara.
Keinginan untuk pulang itu semakin membuncah. Dan sore itu, tidak boleh tidak besok haruslah dia pulang ke negerinya, meninggalkan negeri semu itu. Baginya, cukup sudah semua kenangan itu. Australia memang indah, tapi di sini dia tidak menemukan rumah, tidak ada kenyamanan yang dia cari, yang ada hanya air mata. Pengkhianatan itu harus segera dilupakan dan cara melupakan terampuh adalah pergi dari negeri yang memberi kenangan manis itu. Pergi untuk waktu lama dan entahlah kembali.
Enam tahun lalu...
Sungguhlah berat kehidupan seorang anak gadis yang tinggal di kampung dan memiliki cita-cita tinggi untuk mengubah pikiran orang-orang di kampungnya tentang pendidikan. Orangtua Rara sudah menanti-nanti tamatnya Rara dari universitas, Santi sudah tidak sabar melihat putrinya itu untuk bersanding dengan lelaki yang pantas dengan anaknya yang sudah hampir sarjana, sebentar lagi itu.
”Emak, aku tak mau menikah dulu setelah tamat SI, aku ingin kuliah ke luar negeri Mak. Aku ingin menjadi lebih baik lagi dengan ilmu Bahasa Inggris yang kumiliki ini.”
“Rara, umurmu sudah 22 tahun. Bagaimana kau bisa mengatakan kalau kau ingin kuliah lagi? Apa tidak cukup sarjana itu? Perempuan pamali Nak, belum menikah di usia dua puluhan, apa kau mau jadi perawan tua?”
“Emak! Aku masih muda. Masih berhak melanjutkan hidupku, ke arah yang lebih baik Masa depanku, aku ingin Bahasa Inggrisku lebih berkembang Emak.” Rara sedikit menggertak Ibunya dengan nada frustasi. Saat Rara semester IV, Ibunya sudah gencar-gencamya menjodohkannya dengan lelaki anak teman Ibunya, seorang juragan sate kambing. Namanya Hamid. Bagi Rara, Hamid hanya seorang anak muda pasrah. Tidak punya mimpi melihat dunia luar seperti dirinya.
“Kau ini sudah terpengaruh pergaulan Rara! Kau ini sudah menyalahi aturan. Ingat Rara, seorang gadis pada akhimya akan ke dapur mengurusi suami dan anak-anak. Sungguh baik bagi seorang wanita mengerti untungnya. Sukses bagi seorang wanita adalah saat dia berhasil menjadi istri dan Ibu yang baik bagi anak-anaknya.”
Kuping Rara semakin panas mendengar nasehat Ibunya, dia tinggalkan Ibunya dengan wajah merah padam menahan amarah. Dia tidak ingin bersitegang lagi, karena dia takut akan membentak Ibunya, daripada itu terjadi, lebih baik menghindar saja, pikir Rara.
Rara duduk di pendopo, di tengah kebun sayuran mereka. Rara hendak memanen sayuran yang sudah waktunya untuk dipetik dan dijual ke pasar. Dia melamun, sebelum melakukan itu semua. Lamunan Rara dia keluar dari kampungnya yang sempit, desa Aek Tinga, Sosa. Pokoknya dia harus keluar negeri untuk melanjutkan kuliahnya. Dia tidak mau hanya sampai Padangsidimpuan saja langkahnya.
Dalam lamunan itu, seseorang menepuk pundaknya.
“Haa!” Rara, terkejut Hamid sudah ada di hadapannya.
“Makanya, jangan melamun terus-menerus Ra. Gimana kabarmu?” , !
“Baik” jawab Rara acuh.
“Aku ingin ngobrol serius sama kamu Ra.”
“Apa? Kau mau menikah denganku begitu? Kau mau dijodohkan denganku begitu?” Rara menembak langsung ke inti percakapan. Yang sudah dipikirkannya sejak lama dan dia yakin, Hamid juga sudah tahu rencana kedua orangtua mereka itu.
“Ra, kita bicara baik-baik yah. Apa kau mau menikah denganku?” Hamid menatap Rara serius, dengan tepat ke retina mata gadis itu.” Rara heran melihat keseriusan seorang Hamid. Dia tidak menyangka, teman kecilnya itu sudah menjadi lelaki yang bersuara besar dan berwibawa. Suara Hamid, membangkitkan getar aneh di hati Rara. Kalau dilihat-lihat, Hamid tidaklah seburuk yang Rara pikirkan tentangnya. Dahulu, memang Rara anti berteman dengannya, dia ingusan, pendek, dan kurus. Sekarang lelaki itu sudah tamat dari salah satu universitas di Medan dan baru pulang kampung sama seperti dirinya. Rara baru kali ini berbicara kembali dengan Hamid setelah sekian lama. Rara merasakan banyak yang berubah.
“Aku tidak mau menikah denganmu. Aku tidak mau dijodohkan. Aku mau melanjut kuliah ke luar negeri, ke Australia, negeri kanguru. Di sana aku baca di internet banyak beasiswa. Aku ingin mengubah hidupku Hamid. Aku tidak ingin menjadi Ibu rumah tangga yang baik seperti Ibuku, aku ingin memiliki suatu skill yang bisa kubanggakan kelak pada anak dan cucuku nantinya.”
“Kau perempuan hebat Ra. Kalau begitu, lakukanlah. Aku tidak akan menghalangimu. Mungkin kita tidak berjodoh.” Hamid menunduk.
“Ah yang benar Mid, kau mendukungku?” Hamid mengangguk.
“Terimakasih!” Rara berseru, sembari melompat kegirangan dari pendopo perkebunan itu. Setelah dapat menguasai emosinya, Rara kembali bertanya pada Hamid. Ada satu pertanyaan yang mengganjal di hatinya
“Hamid, kau juga sarjana bukan? Apa kamu tidak ingin melanjut ke jenjang yang lebih tinggi lagi? Apalagi kau laki-laki, kau yang akan bertanggung-jawab nanti pada keluargamu.” Hamid tersenyum simpul.
“Yah, aku akan melanjutkan pendidikanku, tapi di sini, di kampung ini. Membuat kampung ini menjadi lebih baik adalah cita-citaku. Tidak ingin aku ke luar kota lagi, sudah cukup aku tahu kelebihan di sana, aku akan terapkan di kampung ini, membuat kampung ini jadi lebih baik, karena ini rumahku.” Jawab Hamid mantap. Rara terdiam mendengar pernyataan Hamid.
“Mahasiswa yang bodoh!’ pikir Rara dalam hati. Kalau hal itu, Rara tidak berani menyuarakannya.
“Jadi kau akan melanjutkan bisnis sate orangtua begitu?”
“Yah, selain itu aku akan memberi pelatihan orang-orang kampung untuk mau berusaha membangun kampung ini menjadi lebih baik, membuat pelatihan tentang bagaimana membuka usaha, memberi kursus matematika dan bahasa Inggris, juga pengajian. Aku ingin membuka sekolah untuk anak, juga para orangtua agar mereka bisa sukses dan mendapat kehidupan yang lebih baik. Aku ingin berguna untuk kampung ini.”
“Buat apa kau melakukan semua itu? Tak ada gunanya bagimu.”
“Ada, Rara. Selalu ada saja untung untuk orang yang berbuat demi memakmurkan dan membahagiakan orang lain. Bukankah hidup lebih berarti jika mampu berbagi?” pernyataan Hamid tetap saja tidak bisa dimengerti Rara. Yang Rara mengerti saat ini adalah, ada rasa baru di hatinya untuk Hamid, yang entahlah sulit dia pahami.
“Jadi, kau akan membantuku meyakinkan Emak? Aku ingin kuliah di luar negeri?” Hamid mengangguk pasti. Dengan bersemangat, Rara memetik sayur-sayuran yang ditugaskan Ibunya dan menyelesaikan semua dengan cepat. Dia ingin segera malam tiba, agar Hamid datang ke rumahnya dan menjelaskan duduk perkaranya. Menjelaskan keinginan hatinya untuk kuliah di luar negeri.
*
Setelah mendapat penjelasan dari Hamid, barulah Santi mengerti keinginan putri satu-satunya yang ingin kuliah ke luar negeri itu, yang bermimpi besar itu.
“Demi masa depan yang lebih baik, Bu. Izinkan Rara.” Pinta Rara memelas.
“Ayahmu saja tamatan SD, bisa makan kok! Mengapa harus S2 lagi?” Santi mengomel pada putrinya, tapi demi didengarnya nasehat Hamid, akhimya Ibu paruh baya itupun luluh sudah. Pada akhirnya, dia mengizinkan putrinya itu untuk kuliah di luar negeri.
“Tapi ada syarat yang harus kau penuhi untuk itu semua Ra.”
“Apa itu Bu?” Tanya Rara penasaran, kali ini apa lagi syaratnya.
“Setelah kau menyelesaikan kuliahmu, kau harus menikah dengan Hamid titik. Tidak ada pembantahan lagi!” kalimat itu ditekankan oleh Santi. Putrinya itu harus mengerti kalau Hamidlah yang terbaik untuk putri keras kepala itu, Rara.
“Apa?” terkejutlah Rara mendengar syarat itu.
“Apa maksud semua ini Hamid?” tanya Rara memandang Hamid tak percaya. Rara berpikir, Hamid telah mengambil kesempatan karena situasi Rara yang terjepit. Hamid mengajak Rara keluar, dia menggenggam tangan gadis itu. Pipi Rara sudah dipenuhi air mata tak percaya. Hamid menghapus air mata itu, berusaha memberi pengertian pada gadis itu.
“Ra, katakan saja ‘ Ya’ pada Ibumu saat ini. Kau harus mengerti, beliau sangat mengkhawatirkanmu, anak gadis satu-satunya yang dia miliki. Aku mengatakan itu, supaya Ibumu tenang, aku bilang aku mau menikahimu saat kau sudah selesai kuliah dari sana nantinya. Itu semua agar memudahkan jalanmu kuliah ke sana. Aku berbohong, aku tidak serius dengan semua itu. Itu kukatakan agar Ibumu mudah memberi izin bagimu. Setelahnya, itu keputusanmu. Kalau kau tidak mau menikah denganku, tinggallah di sana untuk waktu yang lama, hingga aku menikah dengan gadis lain, dan kau menerima kebebasanmu.” Rara terpekur mendengamya, dia tidak menyangka pertaruhan yang diberi Hamid begitu besar, demi impiannya dia rela menjual dirinya sendiri, memberi janji akan menikah dengan Rara yang tidak dia cintai.
“Terimakasih sahabat, kau begitu baik. Begitu baik, terimakasih atas semua. Kupikir dulu kau...”
“Sudahlah Ra, tidak usah ucapkan berlebihan seperti itu. Semoga kau bahagia di sana dan mendapat sukses seperti yang kau inginkan.” Begitulah Hamid dan Rara berpisah malam itu, malam dimana kehidupan baru bagi Rara akan dimulai. Impian Rara untuk melihat dunia luar semakin nyata di depan mata.
*
Rara sampai di desa Aek Tinga, Sosa. Desa itu masih sama, hanya terdapat sedikit
perubahan pada kondisi jalan yang sudah semakin bagus. Rara berlari mendapati rumahnya. Dia ingin melihat Ibunya. Bukan main senangnya hati Sinta melihat putrinya datang dan ada di hadapannya saat ini.
Sinta tiadalah dapat menahan air matanya, diapun menangis. Banyak orang tetangga yang melihat kedatangan Rara, kabar itu segera saja sampai pada Hamid dan Hamid yang mengajar di masjid saat itu tergopoh-gopoh pergi ke rumah Rara. Sudah enam tahun, enam tahun yang lama berlalu. Tidak ada yang bisa melunturkan betapa khawatirnya dia pada Rara saat dahulu hingga sekarang. Sesungguhnya Hamidlah yang paling khawatir saat Rara memutuskan untuk untuk kuliah di luar negeri. Tapi demi cintanya pada gadis itu, dia pasrah melihat gadis itu bahagia dan mengejar impiannya. Hamid rela memendam cinta itu begitu lama. Tiada yang dia harapkan selain melihat bahagia di mata Rara.
Kini, enam tahun sudah berlalu, ada euforia tersendiri untuk bertemu dengan teman lama itu kembali, apalagi dahulu sebuah janji pernah terucap kala Rara akan pergi ke Australia. Janji akan sebuah pernikahan dengannya. Impian Hamid yang disembunyikannya pada Rara dari dulu hingga sekarang. Enam tahun, waktu yang lama, Hamid pikir cinta itu akan luntur segera, setelah kepergian Rara, tapi temyata dia tipe lelaki yang sulit mencintai gadis lain jika sudah jatuh cinta. Rara tetap di hatinya. Dia tetap menunggu untuk kepulangan gadis itu. Tidak akan menyerah sebelum melihat Rara bahagia dengan lelaki lain dan memiliki anak.
“Rara, kau pulang.” Hamid mengalihkan perhatian dua insan yang saling melepas rindu itu. Waktu terasa berhenti saat Rara menatap Hamid. Hamid masih seperti dahulu, hanya saja janggut tipis telah dipeliharanya dan wajah yang semakin matang karena usia yang hampir mencapai tiga puluh. Rara menatap Hamid tanpa bergeming, ada banyak hal yang ingin dia sampaikan pada lelaki itu.
“Apa kau sudah menikah?” itulah pertanyaan Rara saat dia sudah bicara empat mata dengan Hamid. Hamid menggeleng.
“Bagaimana denganmu? Apa yang kau dapat di Australia? Kau sudah mendapatkan yang kau cari di sana? Maksudku hidup yang lebih baik?”
“Di sana, aku mendapat banyak kesenangan. Aku memperoleh rumah yang bagus, fasilitas yang tidak pernah kulihat sebelumnya tapi di sana, aku tidak menemukan rumah. Aku baru mengerti kata yang kau ucapkan enam tahun lalu. Lalu, maksud kedatanganku kemari adalah menepati janjiku.” Hamid terdiam, memikirkan perkataan Rara barusan.
“Maksudmu Ra?” tanya Hamid memperjelas maksud Rara.
“Aku akan menuruti nasehat Ibuku. Aku...” Rara tidak sanggup menyatakan maksudnya pada Hamid. Dia mengatakan itu, bukan karena ingin menjadikan Hamid sebagai pelariannya karena baru saja dikhianati Michael, tapi dia sadar benar kalau dia sudah jatuh cinta sejak dahulu pada Hamid. Hanya saja, pemuda itu terlalu pasif, tidak menahannya, juga tidak merayunya. Membiarkannya pergi begitu saja, mengikuti gairah mudanya waktu itu.
“Aku belum menikah.” Hamid menyambung perkataan Rara
“Aku juga” jawab Rara. Gelap sudah menyelimuti setengah dari langit. Dua insan itu saling bertukar pandang. Melebur perasaan di antara keduanya.
“Rara, aku senang akhimya kau menemukan rumahmu setelah enam tahun berlalu kau baru mengerti untuk pulang.”
“Yah Hamid. Aku memang pintar tapi tidak sepintar dirimu, yang untuk menyadari hal sesederhana ini perlu enam tahun bagiku. Maaf atas segala keras-kepalaku.” Kedua insan itu saling memandang. Masih di pendopo dahulu, dimana mereka saling bernegosiasi untuk masa depan Rara. Dan ternyata masa depan Rara itu dekat dengannya, hanya saja butuh waktu enam tahun untuk menyadari gajah di pelupuk mata.
***