
Oleh: Azmi TS.
BISA jadi karya senirupa mempunyai tingkat kesulitan tersendiri dalam hal material maupun teknik penggarapannya. Bagi perupa tentu akan mencoba memilih dan memilah ketika akan mulai penggarapan objeknya. Ada material yang kualitas bagus, tapi kesulitan dalam mengungkapkan ide kreatifnya. Sebaliknya ketika ide lagi sedang memuncak dengan alat yang sederhanapun bisa juga menghasilkan karya.
Hal-hal yang jarang jadi bahan pemikiran perupa adalah karya yang diciptakan dengan alat sederhana, tetapi menghasilkan banyak cara. Pelukis yang bergaya seperti ini juga termasuk langka. Dia gunakan medium yang satu untuk memandu karya berikutnya. Misalnya lukisan sketsa pinsil arang (charcoal) digunakan untuk melukis pastel.
Media pastel (kapur warna) berminyak dia gunakan untuk melukis dengan cat air. Bahkan media berbasis air dia cobakan ke cat minyak. Artinya dengan berbagai upaya coba-coba untuk menciptakan karya permanen harus berkali-kali butuh eksperimen. Tujuannya jelas untuk mendapatkan karya yang betul-betul matang dalam tema maupun medium yang dipakai.
Begitulah Lee Man Fong dalam proses berkaryanya terbilang unik dan langka. Coba perhatikan lukisan cat minyaknya bukan dibuat di kanvas, melainkan di papan (hardboard). Pada saat lain lukisan di atas papan itu padukan dengan teknik cukil sama seperti cara kerja seni grafis. Keberaniannya ini menghsilkan puluhan karya dalam setahun. Lee Man Fong termasuk cerdas dalam menyiasatinya.
Saat dia tengah produktif berkarya dengan keterbatasan medium pula justeru bisa menghasilkan karya mempesona dan kolosal. Pelukis Indonesia kelahiran Guangzhou, China, 14 November 1913, dijuluki sebagai perupa delapan jurus. Satu medium bisa dilukis di berbagai tempat baik yang keras (hardboard), hingga lembut (kanvas+kertas).
Kebanyakan lukisan yang berbahan keras dengan gaya’ western chines paintings’ atau kalau di atas kanvas dikenal ‘western paintings’. Berbekal pengalaman sebagai pelukis yang banyak variasi ditambah pelukis istana era Soekarno ini pantas diapresiasi. Keterampilan yang otodidak tetapi bisa menguasai berbagai medium ini telah banyak memperbesar catatan sejarah seni di nusantara.
Lukisan dengan media pinsil arang memang sudah langka dan jarang sekali digunakan perupa kita. Apalagi saat ini media ini sulit di jumpai dan kalaupun ada harganya mahal. Beberapa perupa mengakui media ini sulit menguasainya, apalagi tingkat kesabarannya kecil, pastilah bukan prioritas. Lebih banyak memakai krayon/pastel atau pinsil, spidol serta cat cair hingga cat minyak saja.
Tingkat ketelitian lukisan charcoal (pinsil arang) memang harus perhatian khusus, sebab goresan harus efektif dan efisien. Sedikit kesalahan saat menggores akan merusak harmoni warna lainnya terutama warna-warna gelap. Kelihaian dan konsistensi Lee Man Fong menerapkan charcoal hingga ke pencahayaan memang tak tertandingi. Lukisan charcoal memang mendominasi karya lukisan potret, penari dan pekerja wanita serta bunga.
Penguasaan anatomi memang kelebihan pelukis yang jenius dan tekun ini. Lukisan potret charcoal gaya Lee Man Fong membuktikan, medium itu bukan satu-satunya yang dihindari. Kemungkinan dari balik charcoal tersembul nilai tertentu bahkan menurut Agus Dermawan T, “seniman harus tahu cara mengekonomikan karyanya”.