Negara Kesatuan dan Polemik Perda Syariah

negara-kesatuan-dan-polemik-perda-syariah

Oleh: A.P. Edi Atmaja. Polemik terkait peraturan da­erah (perda) syariah yang meruyak belakangan ini me­nunjukkan bahwa kon­sepsi negara kesatuan yang diperjuangkan para pendiri Republik perlahan mulai terabaikan.

Polemik bermula dari pidato Ketua Umum Partai Soli­daritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, dalam perayaan hari ulang tahun PSI. Dalam orasinya, Grace menya­takan secara lantang: “PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa. PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindak intoleran di negeri ini.”

Tak lama seusai pidatonya tersebar luas di media sosial, Grace dilaporkan ke kepolisian oleh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) melalui kuasa hu­kumnya, Eggi Sudjana. PPMI menilai pidato Grace Natalie mengandung unsur ung­kapan permusuhan dan kebencian terhadap agama.

Beberapa tokoh pun turut berkomentar. Ma’ruf Amin, cawapres nomor urut 1 yang didukung PSI, menyatakan bah­wa perda syariah dibentuk oleh daerah masing-ma­sing. Jika suatu daerah menghendaki ada­nya perda syariah, Ma’ruf tak memperma­salahkannya, termasuk jika ada perda Injil yang dibuat di daerah tertentu.

Senada dengan Ma’ruf, cawapres nomor urut 2, Sandiaga Salahuddin Uno, me­nyatakan bahwa perda syariah merupa­kan bagian dari kearifan lokal yang tidak perlu diganggu gugat lagi.

Dalam perspektif berbeda, pakar hukum tata negara, Mohammad Mahfud MD, mengatakan bahwa hukum agama dan sejenisnya merupakan hukum perdata yang tak perlu dirancang menjadi perda. Perda, kata Mahfud, tak seharusnya me­­muat peraturan keagamaan yang sa­ngat pribadi, misalnya tentang tata cara beriba­dah. Sebab di era yang sudah bebas beribadah seperti sekarang, tata cara orang sem­bahyang tak perlu lagi diatur.

Bukan perda syariah “an sich”

Menanggapi polemik terkait perda syariah tersebut, advokat dan politikus Yusril Ih­za Mahendra menulis esai berjudul “Perda Syariah: Ada atau Tidak Ada” di Tribunnews.com (22/11/2018). Saya ki­ra, hanya tokoh yang disebut belakangan inilah yang paling otoritatif secara keilmuan karena menyatakan argumen dalam bentuk tulisan.

Meskipun banyak sekali kesalahan eja­an, penulisan, dan hal-hal redaksional lain dalam esainya itu-sehingga saya sangsi apakah esai itu benar-benar ditulis olehnya-Yusril menjabarkan argumen-argumennya dengan cukup jernih dan gamblang.

Dalam tulisannya, Yusril secara kritis mempertanyakan definisi dari frasa “perda syariah”. Menurut Yusril, bila yang dimaksud adalah perda yang secara khusus diberi judul syariah, misalnya Perda Pro­vin­si Banten Nomor 10 Tahun 2018 ten­tang Syariah, di daerah manapun di In­do­nesia tidak ada perda semacam itu.

Namun, lanjut Yusril, jika yang dipersoalkan adalah perda yang mengandung anasir keagamaan, tentu hal itu tidak bisa dihindari. Norma-norma agama merupakan salah satu sumber pembentukan hukum positif di Indonesia. Sebab, ma­sya­rakat Indonesia adalah masyarakat beraga­ma dan hukum positif wajib mengindahkan dan mengadopsi nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

Dengan mempertanyakan definisi frasa “perda syariah”, rupanya Yusril sedang menantang Grace Natalie untuk menjelaskan lebih lanjut seperti apa perda syariah yang ditolaknya itu. Dan orasi Grace yang menggebu-gebu itu memang tidak menjelaskan apa pun. Semacam slogan men­tah tanpa referensi sehingga memang ren­tan disalahpahami.

Laporan Tempo (22/11/2018) barangkali bisa membantu menjelaskan lebih jauh pidato Grace. Disebutkan, ber­dasarkan catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dari 1999 hingga 2006 ada 421 regulasi yang diskriminatif, dari per­aturan daerah hingga surat edaran, yang seba­gian bersandar pada anasir keagamaan. Se­banyak 333 peraturan mengarah pada perempuan dengan membatasi aktivitas atau pe­nampilan mereka.

Kata “sebagian” dalam laporan Tempo itu menarik karena menunjukkan bahwa tidak semua regulasi daerah yang diskrimi­natif itu berlandaskan agama dan tidak semua regulasi daerah yang berlandaskan agama pasti diskriminatif. Dengan demikian, seharusnya perda diskriminatiflah yang dipersoalkan, bukan perda syariah an sich.

Kewenangan pemerintah pusat

Lalu, bagaimana sesungguhnya status perda syariah alias perda yang bermuatan anasir keagamaan jika diteropong dalam optik yuridis? Menjawab pertanyaan ini, kita dapat membaca ulang esai Yusril Ihza Mahendra tadi.

Tulisan Yusril itu memang terkesan net­ral, ilmiah, dan sepertinya berusaha meredakan polemik. Namun sebetulnya ada hal yang coba disembunyikan dalam untaian paragraf-paragrafnya.

Enam paragraf pertama esainya berbi­cara tentang perda. Paragraf berikutnya menjelaskan tentang makna luas syariah se­bagai salah satu sumber hukum. Lalu di paragraf kedua belas, Yusril menulis: “Dalam konteks negara, syariah da­pat dijadikan sebagai sumber hukum, yakni rujukan dalam proses pembentukan hukum di pusat maupun di daerah.”

Kalimat di paragraf kedua belas itulah yang menjadi titik belok bahasan yang awal­nya tentang perda berubah menjadi ka­jian atas pembentukan regulasi yang domain kewenang­annya berada pada pemerintah pusat. Beberapa tamsil yang Yus­ril sebutkan memperjelas hal itu: undang-undang tentang lalu lintas, undang-undang tentang kewarisan, dan undang-undang tentang perkawinan. Saya rasa, pembentukan regu­lasi oleh pemerintah daerah tidak dapat begitu saja dipersa­makan de­ngan pembentukan regulasi oleh pemerin­tah pusat.

Berdasarkan konstitusi, Indonesia ada­lah negara kesatuan yang berbentuk republik. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa pemerintahan daerah-yang terdiri atas provinsi, kabupaten, dan kota-menjalankan otonomi seluas-luas­nya, kecuali da­lam hal urusan yang oleh un­dang-undang ditentukan sebagai urusan pe­merintah pusat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Peme­rintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir de­ngan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015-yang merupakan turunan dari Pasal 18 UUD NRI 1945-pada Pasal 10 menyebutkan bahwa agama adalah satu dari enam urusan pemerintahan absolut yang sepenuh­nya men­jadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam Pasal 250 UU 23/2014, dijelaskan bahwa perda dan peraturan kepala da­erah dilarang bertentangan dengan kepen­tingan umum yang, antara lain, berupa diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, dan gender.

Dari kutipan-kutipan pasal tersebut, da­pat disimpulkan dua gagasan pokok. Pertama, dalam negara kesatuan, urusan yang bertungkus lumus dengan agama adalah urusan peme­rintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pu­sat. De­ngan begitu, munculnya regulasi terbitan peme­rintah daerah yang mengatur hal ihwal yang berkait paut dengan agama menjadi nihil landasan yuridisnya.

Kedua, kendati pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membentuk regulasi, regulasi yang terbentuk itu, sekalipun ber­asal dari nilai-nilai yang hidup di ma­sya­rakat yang antara lain berupa norma agama, tidak boleh diskri­minatif dan meng­abai­kan keragaman masyarakat serta ke­pen­tingan umum. ***

Penulis adalah Alumnus Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.

()

Baca Juga

Rekomendasi