
SETELAH wafatnya Nabi Muhammad, umat Islam mengangkat pemimpin yang akan meneruskan perjuangan Rasulullah Saw. yang masih panjang. Mereka memercayakan kepemimpinan tersebut kepada salah seorang sahabat Nabi yang dikenal sangat loyal dan setia terhadap Rasulullah. Perjuangannya saat Nabi Muhammad masih hidup tak diragukan lagi. Bahkan, dialah orang yang pertama kali percaya akan kenabian Muhammad saat pertama kali mendapatkan wahyu dari Allah Swt.
Dialah Abu Bakar al-Shiddiq, sahabat dekat Rasulullah yang paling awal masuk Islam (al-sabiqun al-awwalun). Dia dikenal sebagai orang yang jujur sehingga, karena kejujurannya, dia dijuluki al-shiddiq yang berarti “membenarkan”. Abu Bakar lahir di Kota Makkah pada 573 M, dari keluarga kaya Bani Taim. Ayahnya bernama Uthman Abu Quhafa (panggilan Abu Quhafa) dan ibunya bernama Salma binti Sakhar (panggilan Ummu Al-Khair).
Buku karya El-Sabil berjudul Abu Bakar al-Shiddiq ini memuat 55 hikmah menggugah dari kehidupan sang khalifah. Hikmah-hikmah yang akan membuat pembaca terinspirasi sehingga kelak bisa meneladani sifat dan perangainya yang tak bisa diragukan lagi.
Dalam sebuat hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dermawan kepadaku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengambil khalil (kekasih) selain Raab-ku, aku akan mengambil Abu Bakar.”.
Dari hadist tersebut jelas bahwa Abu Bakar terkenal sebagai seorang yang dermawan. Tak hanya loyal harta, tetapi juga dalam persahabatan. Dia sangat setia kepada sang Nabi, dan mengikuti beberapa perang yang pernah terjadi. Tak heran jika Rasulullah Saw., sampai mengatakan ingin menjadikannya seorang “kekasih” (hlm. 8).
Abu Bakar termasuk pemimpin yang selalu mengingatkan bahwa sesama Muslim itu bersaudara. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum Al-Din dijelaskan, bahwa tidak boleh seorang Muslim menghina Muslim yang lain. Sebab, sesuatu yang kecil dan sepele pada kaum Muslim adalah berpahala besar di sisi Allah.
Bersama saudara sesama Muslim kita berharap meraih syafaat di surga. Tak heran jika Nabi Muhammad menggambarkan seorang mukmin yang satu dengan yang lainnya seperti satu tubuh dalam hal saling mencintai dan menyayangi. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, semua anggota tubuh lainnya juga merasakan sakit yang sama (hlm. 13).
Pemimpin pertama dari Khalifah al-Rasyidin ini juga dikenal sebagai orang yang senantiasa rendah hati. Menurutnya, tak ada manusia di muka bumi ini yang luput dari kesalahan. Maka, kerendahan hati menjadi perhiasan terindah bagi setiap insan. Karena itu, Abu Bakar selalu berkata, sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah, “Aku adalah manusia biasa dan bukan manusia terbaik di antara kamu. Apabila kalian melihat perbuatanku benar, ikutilah aku. Tapi, bila kalian melihat perbuatanku salah, maka perbaikilah.”.
Pernyataan khalifah Abu Bakar ini bisa jadi cermin sekaligus teladan bagi pemimpin masa kini. Bahwa pemimpin itu bukan malaikat, melainkan manusia biasa yang tak pernah luput dari salah. Menjadi pemimpin itu jangan sampai antikritik. Kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kemaslahatan umat haruslah dikritik dan diperbaiki demi perkembangan dan kemajuan sebuah negeri. Sebaliknya, rakyat juga harus bisa bersikap adil terhadap pemimpinnya. Kerja yang baik serta keberhasilan yang menyertainya haruslah diakui dan diapresiasi. Rakyat tidak dengan serta merta menutup mata atas kerja baik pemimpinnya. Sebaliknya, pemimpin yang kinerjanya kurang baik harus dikritisi dan diberi masukan membangun. Bukan memuja dan mendewakannya karena pemimpin juga manusia biasa (hlm. 26).
Ada banyak kisah dan hikmah yang ditulis El-Sabil dalam buku 120 halaman ini. Membaca buku ini mengantarkan kita untuk kembali mengenal sosok seorang sahabat sejati Nabi Saw. dengan keistimewaan yang mungkin tak akan pernah ada lagi orang sepertinya pada zaman kita. (*)
Peresensi: Untung Wahyudi, penggiat literasi tinggal di Sumenep, Madura