Sartika Sari. Dalam esai “Pemasyarakatan Sastra di Indonesia” terbitan 1995, Jakob Sumardjo. Mendedahkan persoalan kedudukan sastra di masyarakat dan hal-hal selingkungnya. Salah satu fenomena yang disoroti kala itu, minimnya apresiasi terhadap karya sastra. Tidak semata-mata mengangkat satu bendera untuk menyebutkan sastra Indonesia secara keseluruhan. Ia menyoroti fenomena tersebut dengan cara yang lebih dekat.
Dalam hal ini, menurutnya, karya sastra dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Sastra modern atau sastra hiburan, sastra lama atau sastra sejati, dan beberapa jenis sastra lain yang mungkin belum terdeteksi. Apresiasi terhadap jenis-jenis sastra tersebut berbeda-beda. Untuk sastra berbahasa daerah misalnya, tentu sudah memiliki apresiator tersendiri.
Fenomena yang dipaparkan Jakob Sumardjo, telah dua puluhan tahun lalu. Agaknya masih relevan dengan kondisi saat ini. Sastra masih saja kesepian. Selain para pegiat yang meramaikan acara-acara sastra, aktivitas kesusastraan jarang sekali diisi pihak lain. Keadaan tersebut didukung minat baca masyarakat yang rendah. Buku-buku sastra, apalagi “sastra sejati”, tidak memiliki banyak peminat.
Lantas, siapakah yang perlu berbenah? Menanggapi situasi tersebut, Jakob Sumardjo memberi jalan keluar. Meningkatkan apresiasi sastra melalui pendidikan formal. Terutama dengan mengenalkan karya sastra di sekolah.
Menyediakan buku-buku sastra secara selektif sesuai dengan kualitas, usia, tema, dan sebagainya. Pendidikan apresiasi sastra ini secara intensif bertujuan untuk menyediakan calon pembaca sastra yang potensial baik dalam membaca sastra sejati ataupun sastra modern.
Pada ranah tersebut, menurut saya, berbagai upaya pun telah diwujudkan. Selain melalui gerakan Sastrawan Masuk Sekolah kini pemerintah menerapkan program Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan melalui berbagai aktivitas untuk mengenalkan sastra pada siswa di lingkungan sekolah. Di perguruan tinggi, terutama pada program studi sastra, khususnya di Sumatera Utara juga berbagai upaya menghidupkan sastra dilakukan. Walau masih saja terseok-seok karena beragam faktor yang katanya tak bisa diubah atau memang tak mau diperbaiki.
Peradaban kesusastraan di Sumut, dengan demikian, tak dapat ditopang oleh pendidikan formal yang senantiasa diagung-agungkan itu. Kesadaran ini menurut saya mendorong para aktivis, pegiat, dan penyuka sastra. Bersama-sama sepakat untuk menjaga nyala sastra melalui berbagai aktivitas di luar lingkungan pendidikan formal. Misalnya melalui komunitas atau dengan menyelenggarakan kegiatan sastra di ruang terbuka yang melibatkan masyarakat luas.
Misi itulah tampaknya juga diusung para penyelenggara acara Hari Puisi Indonesia. Dengan mengusung tema “Puisi untuk Rakyat: Ledakan Detik Menyentuh Nurani”. Sebagaimana yang dipaparkan Ketua Panitia Suyadi San. Acara tersebut tidak sekadar bernilai anjangsana, sekaligus bertujuan menambah geliat sastra di Sumut.
Tsi Taura, penulis buku Ledakan Detik, dalam kata sambutannya pun tidak hanya memaparkan proses kreatifnya menulis puisi. Lebih dari itu, sebagai putra daerah, Ledakan Detik dia persembahkan sebagai salah satu bakti pada kampung halaman. Meski dijerat kesibukan sebagai insan adhyaksa, dosen, dan berbagai jabatan lain. Kecintaannya pada sastra menjadi motivasi terbesar. Ia turut menghidupkan peradaban sastra di Kota Binjai dan Sumut.
Dalam acara yang mempertemukan para aktivis dan penikmat sastra dari berbagai kalangan itu, visi misi untuk menggairahkan kembali kesusastraan di Binjai turut disampaikan Walikota Binjai. Salah satu upaya kini sedang digiatkan, menyelenggarakan berbagai aktivitas seni/sastra berbasis komunitas-komunitas pemuda dan masyarakat umum.
Dasar pemikiran keduanya, seni/sastra, menjadi bagian penting dalam kehidupan. Segala sendi kehidupan tak lepas dari campur tangan kesenian. Dengan demikian, seni, sastra pun dapat menjadi medium yang efektif dalam membangun bangsa. Terutama dalam menyebarluaskan pembelajaran moral pada generasi muda.
Problematika sosial mengepung generasi muda. Karya sastra mengandung nilai-nilai dan norma kehidupan, sudah seharusnya menjadi bagian dalam perkembangan pemuda-pemudi. Atas dasar itu, kegiatan-kegiatan seni/sastra penting untuk dikembangkan dan didukung pemerintah.
Perhelatan digelar di Pendopo Umar Baki, Binjai, dihadiri berbagai kalangan. Di antaranya Walikota Binjai dan wakilnya serta Setdako Binjai, Ketua DPRD Binjai, Kajari Binjai, Dandim 0203/Langkat, Kapolres Binjai, Kepala Balai Bahasa Sumut, dan sejumlah pejabat lainnya. Hadir juga dari unsur sanggar seni, Sanggar Rumput Hijau SMA 2 Binjai, Sanggar Techno’s SMK 1 Percut Sei Tuan Deli Serdang, Sanggar Bianglala SMA Negeri 1 Binjai, Sanggar Generasi, dan lainnya.
Juga para seniman, penyair, dan budayawan seperti Tsi Taura,. Damiri Mahmud, Suyadi San, Adi Mariadi, M Yunus Tampubolon, Umar Zein, Tanita Liasna, KBKC, Emi Jupiolistia br Surbakti, Siamir Marulafau, Agus Susilo, Amran SD, Juhendry Chaniago, Asnidar, Porman Wilson Manalu, Saripuddin Lubis, Nevatuhella, Idris Pasaribu, dan Eva Susanti.
Khusus untuk para seniman dari Medan, penyelenggara menyediakan transportasi ke lokasi acara. Tentu, walau tak begitu jauh, tapi pengadaan transportasi ini sangat efektif dan memudahkan para undangan yang berminat hadir. Layaknya kegiatan-kegiatan sastra berkelas nasional.
Acara dibuka dengan pertunjukan dari Sanggar Generasi Medan sekaligus peluncuran buku Ledakan Detik. Bak gayung bersambut, pembacaan puisi, visualisasi puisi, dan musikalisasi puisi turut ditampilkan para seniman dan undangan, baik dari Medan, Binjai, dan Deli Serdang.
Buah Tangan
Puisi telah dibacakan dengan berbagai bentuk pertunjukan, diiringi beragam jamuan yang menenangkan lambung. Keakraban tumbuh dari seluruh sudut pendopo. Lantas, buah tangan apa yang paling ingin dibawa?
Sepanjang perjalanan pulang, peserta menikmati pemandangan kota. Sore itu tampak teduh, pertanyaan di atas mengusik saya. Setelah kegiatan itu, apakah pertemuan para pegiat sastra akan berakhir begitu saja? Ataukah pertemuan dalam kegiatan itu justru memantik munculnya kegiatan-kegiatan lain?
Bagi saya, tak ada buah tangan lebih nikmat ketimbang semangat. Bertambah kuatnya untuk menjaga nyala sastra di Sumut. Pertemuan para pegiat sastra antarkota seperti ini berpotensi besar untuk meningkatkan produktivitas karya melalui kolaborasi antarpegiat sastra.
Tentu saja kegiatan semacam ini, perlahan-lahan dapat mengikis patogen-patogen dalam hubungan kekerabatan antara seniman. Antarwilayah yang kerap muncul akibat adanya sinisme dan primodialisme. Ya, rasanya begitu.