Urgensi Hutan Kota dan Kualitas Lingkungan Perkotaan

urgensi-hutan-kota-dan-kualitas-lingkungan-perkotaan

Oleh: Muhammad Hisyamsyah Dani. Apa yang terlintas di be­nak kita ketika mendengar wilayah perkotaan, terutama kondisi kota-kota besar di Indonesia, sebut saja Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain? Pasti­lah kebanyakan menja­wab, kota besar identik de­ngan polusinya yang ting­gi, lingkungan kumuh seba­gai tempat kaum marginal yang terka­dang memenuhi sudut sebuah kota.

Namun, dapat disimpul­kan bahwa kota besar lebih terkenal dengan kualitas uda­ranya yang jauh dari kata la­yak dan memberikan kenya­manan bagi para masyarakat. Indikator menurunnya kuali­tas udara di wilayah perko­taan di antaranya akibat ku­rangnya lahanter­bu­ka hijau dan wilayah hutan kota yang kurang, sehingga keterse­dia­an kantong-kantong udara yang bersih sulit dijumpai.

Indeks buruknya kualitas udara wilayah kota sebagai imbas dari kurangnya lahan terbuka hijau serta buruknya sistem emisi transportasi di­ungkapkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang melaporkan hasil evaluasi kualitas udara perkotaan yang dilaksanakan di 44 kota di Indonesia untuk tahun 2014. Di sana dijelas­kan bahwa sektor transportasi menyumbang masukan ter­besar sekitar 70 % serta di­su­sul dengan kurangnya la­han hutan kota sebagai pe­nyeimbang tatanan kualitas udara bersih perkotaan.

Hutan kota merupa­kan se­buah kawasan di­tu­tupi rim­bunan pepohon­an yang di­biarkan tumbuh seca­ra alami menyerupai wi­layah hutan, tidak tertata seperti layaknya taman, serta lokasi­nya yang berada di da­lam atau sekitar perkotaan.

Para ahli yang ter­gabung da­lam Society of American Foresters (dalam Priyono, 2007) mendefinisikan hutan kota (urban forest) merupa­kan sebidang lahan sekurang -kurangnya seluas 0.4 ha- untuk vegetasi pepohonan dengan kerapatan minimal 10 persen (jarak antar pohon terjauh 10 meter) dalam sua­tu komunitas yang utuh. Di dalamnya terdiri dari flora dan fauna dan unsur-unsur biotik lainnya, dengan lokasi yang terjangkau dari permu­kiman penduduk kota.

Jadi, hutan kota merupa­kan sebuah sistem. Odum (da­lam Irwan, 2005: 21) menye­butkan bahwa “jaringan dari komponen-komponen dan pro­ses yang terjadi pada ling­kungan merupakan sebuah ekosistem”. Sistem ling­kung­an hidup ini biasanya meli­puti hutan, danau, lautan, lo­ka­si pertanian, perkotaan, regional, desa dan biosfer.

Ekosistem hutan kota tumbuh secara ekologis se­suai dengan lingkungan per­kotaan, tetapi fungsinya me­niru hutan alami. Hutan kota haruslah mampu mencapai kondisi optimum seperti hu­tan yang terbentuk dari pe­ristiwa alam. Jadi, jika hanya terdiri dari kumpulan pohon yang berjejer atau tanaman yang ada di dalam pot, tidak dapat dikatakan sebagai hutan kota.

Hutan kota harus berin­ter­aksi langsung dengan ling­kungannya (tanah dan air). Tumbuhan yang ada di da­lam­nya membentuk suatu aso­siasi yang saling berinter­aksi langsung dalam menca­pai suatu keseimbangan.

Me­nurut Fakuara et. al. (dalam Irwan, 2005: 59), hu­tan kota merupakan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai tempat tumbuhnya berbagai macam vegetasi ber­kayu di kawasan perkotaan, dan dapat memberi manfaat kepada lingkungan dan pen­duduk kota dalam proteksi, estetika, rekreasi, dan seba­gainya.

Keberadaan hutan kota di­atur dalam Peraturan Peme­rintah No.63 tahun 2002 ten­tang Hutan kota. Berdasarkan peraturan tersebut sebuah ko­ta harus memiliki kawasan hutan kota setidaknya 10% dari luas wilayahnya.

Pengertian hutan kota me­nurut PP No.63 tahun 2002 dijelaskan bahwa, Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan ra­pat di dalam wilayah perko­taan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang di­tetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwe­nang.

Penanaman pohon secara teratur di pinggiran jalan mu­lai dilakukan sejak masa Pemerintah Hindia Belanda. Jejak-jejaknya bisa dilihat di jalan-jalan kota besar seperti Bandung, Bogor, Medan dan banyak kota lainnya. Di tem­pat-tempat tersebut ba­nyak ditemukan pohon peneduh jalan yang besar dan usianya mencapai ratusan tahun.

Di masa kemerdekaan, pe­nanam­an pohon di kota-kota mulai dilakukan saat Indonesia menjadi penye­lenggara Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pada tahun 1963. Saat itu, panitia menanami kawasan senayan di Ibukota Jakarta  dengan berbagai jenis pohon. Pohon-pohon yang ditanam masih bisa dilihat di sekitaran senayan hingga kini.

Nama hutan kota secara resmi mulai terdengar saat Indonesia menjadi panitia Kongres Kehutanan Sedunia Ke-7 pada tahun 1978 di Ja­karta. Saat itu, pemerintah mencanangkan pembangun­an hutan kota di daerah Se­nayan. Penanaman pohon di­lakukan peserta kong­res di atas lahan seluas 5 hek­tar, di halaman gedung Mang­gala Wanabakti tempat Kemente­rian Kehutanan berkantor.

Menurut Puryono dan Hastuti (1998) dalam Siba­rani (2003), hutan kota me­miliki manfaat yang sangat besar terhadap peningkatan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat kota, antara lain:

Pertama, manfaat estetika, yaitu hutan kota yang ditum­buhi oleh berbagai tanaman memberikan nilai estetika ka­rena hijaunya hutan terse­but dengan aneka bentuk daun, cabang, ranting dan ta­juk serta bunga yang terpadu menjadi suatu pemandangan yang menyejukkan.

Kedua, manfaat ekologis, yaitu tercapainya keserasian lingkungan antara tanaman, satwa maupun manusia dan sebagai habitat satwa, seperti burung-burung serta perlin­dungan plasma nutfah.

Ketiga, manfaat klimato­lo­gis, yaitu terciptanya iklim mikro, seperti kelembaban udara, suhu udara, dan curah hujan sehingga dapat me­nambah kesejukan dan ke­nyamanan serta tercapainya iklim yang stabil dan sehat.

Keempat, manfaat hidro­lo­gis, yaitu hutan kota de­ngan perakaran tanaman dan serasah mampu menyerap ke­lebihan air pada musim hujan sehingga dapat mence­gah terjadinya banjir dan men­jaga kestabilan air tanah, khususnya pada musim ke­ma­rau.

Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila jatuh di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai diba­sahi, maka asam seperti H2­SO4 akan bereaksi dengan Ca yang terdapat pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersifat netral. Dengan demikian air hujan yang me­ngandung pH asam melalui proses intersepsi oleh permu­kaan daun akan dapat me­naik­kan pH, sehingga air hu­jan tidak begitu berbahaya la­gi bagi lingkungan.

Kelima, manfaat protek­tif, yaitu pepohonan di hutan kota berfungsi sebagai pelin­dung dari pancaran sinar ma­tahari dan penahan angin.

Keenam, manfaat higie­nis, yaitu udara perkotaan se­makin tercemar oleh berba­gai polutan yang berdampak terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan mahluk hidup, khususnya manusia.

Ketujuh, manfaat eduka­tif, hutan kota dapat ber­man­faat sebagai laboratorium alam karena dapat mengenal berbagai jenis pepohonan dan satwa khususnya burung-burung yang sering dijumpai di kawasan tersebut.

Hutan kota, jelas merupa­kan salah satu solusi jitu men­cegah kerusakan ling­kungan. Namun konsep ini juga tidak akan terwujud jika tidak di­barengi dengan ko­mitmen dan upaya-upaya yang bersi­fat membangun  dari berbagai pihak. Di antaranya sanksi yang tegas dari pemerintah sebagai pusat kontrol dan masyarakat sebagai pemantau kondisi wilayah hutan perko­taan itu sendiri.

Bagaimanapun nasib hu­tan kota ke depan tergantung manusia saat ini, semakin ber­kurang lahan terbuka hi­jau di wilayah perkotaan ma­ka bukan tidak mungkin efek-efek negatif lingkungan akan menimpa manusia itu sendiri. Upaya apapun akan berhasil jika diiringi dengan komitmen yang sungguh-sungguh.

Kontrol dan tindak­an pe­merintah yang tepat, serta ke­terlibatan masyarakat dalam menangani kerusakan ling­kungan sangat dirindukan alam itu sendiri demi ke­mas­lahatan hidup umat manusia. Seluruh komponen masyara­kat perlu diingatkan bahwa hutan adalah ’rumah’ yang nyaman yang tidak pernah kehabisan sumber daya bagi kehidupan manusia, jika di­lestarikan.

Mari berbenah diri. Sudah saatnya peduli dengan ling­kungan sekitar. Let’s Save Our Urban Forest.

(Penulis adalah penikmat kajian lingkungan dan sosial perkotaan)

()

Baca Juga

Rekomendasi