Kursi

kursi

APA kesan pertama yang di­rasakan ke­tika melihat kur­si? Secara gamblang ja­waban­nya adalah fungsinya dan yang be­ri­kutnya adalah desainnya. Bisa saja ketika fisik sudah le­tih beraktivitas yang teringat ada­lah untuk beristirahat. Bia­sanya sasaran yang dicari ada­lah tempat duduk alias kursi. Kursi yang nyaman dan empuk pasti enak di­duduki ditambah sandaran yang pas di tubuh.

Tanpa disadari kursi juga pu­nya keunikan ter­sendiri yak­ni rancangan awal atau desain. Para produsen telah melaku­kan survey dan riset untuk me­menuhi selera konsumen, agar kursi berfungsi ganda. Selain dipakai juga bisa dijadikan hiasan dalam suatu ruang atau ka­wasan baik pribadi atau pub­lik. Kursi juga secara fungsio­nal bisa untuk memperindah sudut pandang dari dalam rua­ngan (interior).

Istilah kursipun menjadi bertambah orang menyebut­nya ada kursi taman, kursi ma­las, sofa dan seterusnya. Tam­pilan kursi yang beraneka ra­gam tersebut hadir sesuai di­per­untukkan ruang apa. Dari ide pemiki­ran mereka lahirlah konsep desain perabotan mu­lai dari klasik, hingga terkini. Ada kursi teras, kursi tamu, kursi ker­ja, kursi makan dan masih banyak lagi tak berdiri sendiri.

Kursi merupakan perabot tertua dan utama di tengah ma­syarakat. Sejak abad XVII kur­si mulai hangat diperbincang­kan. Era Mesir Kuno sekitar (3130-1070 SM) kursi diperla­ku­kan istimewa dihias mewah dan merupakan simbol kekua­saan dan martabat. Pada masa Romawi Kuno kursi dilam­bang­kan sebagai status strata so­sial bernama curule (biasa digunakan hakim).

Kini kursi tersebut hanya bisa disaksikan dalam sebuah museum yang terdapat di ne­gara asalnya masing-masing. Bagaimana para seniman men­­jadikan kursi tak hanya sekedar obyek untuk dilukis­kan? Beragam gaya mereka cip­takan, tapi intinya tetap lu­kisan kursi sensasional Gogh dan Gauguin itu belum tertan­dingi. Uniknya ide kursi mere­ka banyak ditiru oleh seniman berikut­nya di zaman moderen, namun belum bisa menggo­yahkan kreativitas keduanya.

Dalam perjalanan karir ke­dua pelukis ekspresionis ini per­sahabatan yang dijalin, be­­rantakan seketika hanya gara-gara sebuah kursi. Kursi itu pe­micu retaknya pertemanan sehingga menjadi konflik ber­kelanjutan. Menariknya perti­kai­an itu mereka tuangkan ke atas kanvas, lahirnya episode ba­bak baru se­­buah obsesi. Mi­nimal itu pernah menjadi per­bincangan, catatan sejarah seni dan tentunya lukisan itu jadi mas­terpiece dunia.

Kolektor pun terobsesi un­tuk men­da­patkan lukisan-lu­kisan tersebut, itupun ha­rus ber­saing dengan museum seni kelas dunia. Nilainya begitu me­lambungkan nama be­sar pelukis hingga nilainya men­ce­ngang­kan dan mustahil ada­nya. Begitu pula para kritikus, akademik dan pencinta seni ra­mai me­ngurai, meneliti dan membukukan hasil re­sume­nya. Kini sudah banyak yang bi­sa me­nikmatinya lewat lite­rasi maupun yang ter­sebar di du­nia maya yang begitu marak bisa diakses.

Ingatlah dua pelukis maestro dunia pada 1888 antara van Gogh dan Gauguin punya cerita menarik tentang kursi. Bentuk pe­lam­piasan kekesal­an mereka sempat terekam da­­lam lukisan berjudul kursi (chair). Lu­kisan yang mengi­sah­kan tentang hasrat van Gogh untuk berbagi studio lukis di Arles de­ngan Gauguin tak ada kata se­pa­kat. Polemik dan pertikaian berujung kon­flik yang me­m­anas, van Gogh melukis­kan se­buah kursi de­­ngan pipa. Pipa adalah se­jenis alat m­e­rokok miliknya sebagai simbol perlawan­an van Gogh atas sikap arogan Paul Gau­guin.

Kemudian sindiran itu di­balas oleh Gauguin dengan ben­tuk yang mirip tetapi di atas­nya ada lilin yang menyala. Lukisan ini menyiratkan, dia juga punya obsesi serupa, na­mun begitulah cara kedua se­niman ini berseteru. Secara obsesi kedua pe­lukis itu me­mang dipicu oleh emosi, tapi tak bentrok fisik, tapi perang urat syaraf.

Lewat lukisan itu oleh para pengamat mem­bumbui keter­ta­rikan kolektor untuk me­ngo­leksinya. Dari latar peristiwa itu bisa jadi nama kedua seni­man ini menjadi per­bincangan sehingga bisa membuat pena­sa­ran publik seni. Jadi kursi adalah suatu hal yang secara obyek sederhana namun pelu­kis bisa mengubah obsesinya. Lukisan kursi ke­dua maestro itu menunjukan kelihaian dalam mengolah ide kreatif­nya.

Kreativitas David Kockney (1988) me­ngolah kursi seakan membuktikan kursi bisa di­ma­jinasikan beragam sudut pan­dang. Bisa jadi keempat kursi itu adalah simbol ke­kua­tan yang menyatu ke satu arah. Di­aso­siasikan menjadi simbol sudut pandang arah mata angin. Beda lagi ketika menafsir lu­kisan kursi Gogh dibuat oleh Anthony D. Padt, “Vincent is Chair with His Pipe” (2017). Se­lain mengeskporasi keelo­kan kur­si dia juga menyusun komposisi simetris agar terli­hat harmonis warnanya.

Lain lagi kalau Pablo Pi­casso meng­ima­jinasikan kursi yang terlihat mungkin esensi semata itupun abstrak pula. Selain aneh secara visual kursi yang dilukiskan mirip pan­tulan bayangan cermin, kesan abs­trak­nya lebih nyata. Penguba­han beberapa hal dalam lukisan selain obyek adalah hal yang la­­zim, namun kalau urusan ide tentu urusan pe­lukisnya. Karya Ron Arad, obsesinya ten­tang kur­si goyang juga menunjukan ke­aneh­an secara visual tetapi fungsional masih te­tap ada.

()

Baca Juga

Rekomendasi