
Sekali lagi, memainkan inovasi dan kreasi dalam kekuasaan tidak harus berada di lingkungan eksekutif. Hal ini perlu kita sadari, menjadi senator (lingkungan legsilatif) pun inovatif dan kreatif. Jika legsilator mampu memainkan fungsi legislasinya, fungsi budgetingnya, dan fungsi pengawasannya dengan inovatif tentu ini jadi sebuah kekuatan hebat. Dengan paradigma berpikir seperti ini tidak ada alasan bagi parpol yang sejak awal berbeda pendapat (beda capres) untuk jadi oposisi. DPR dibekali dengan berbagai hak yang memang dengan hak itu bisa punya inisiasi, ide, dan visi dalam memberikan kontribusi besar (make a big contribution) membangun bangsa ini.
Berangkat dari pemikiran seperti ini seharusnya parpol yang tidak mengusung Jokowi dan Maruf Amin sejak awal sebagai capres sudah saatnya berpikir bagaimana menjadi partai oposisi yang sehat dan membangun. Dengan memposisikan menjadi partai oposisi yang sehat dan membangun tentu ini akan jadi kekuatan demokrasi menuju demokrasi yang baik dan mampu menerjemahkan aspirasi masyarakat dalam demokrasi.
Masalahnya, mengapa untuk menjadi partai oposisi seringkali parpol malu-malu kucing? Bukankah publik tahu bahwa fasilitas yang diterima oleh semua anggota DPR (gaji plus tunjangan) apakah pendukung pemerintah dan parpol oposisi adalah sama. Masalahnya, bagaimana parpol oposisi menampilkan diri dengan perilaku membangun (constructive behavior), memberikan pendidikan politik, menampilkan diri dalam rekrutmen yang bagus, memberikan komunikasi politik yang bagus, dan mampu mendorong pemberantasan korupsi (encourage the eradication of corruption), ini semua akan jadi modal sosial yang cukup bagus dan investasi politik yang berprospek dalam merebut hati rakyat pada pemilu selanjutnya (2024).
Sejenak kita “flash back”. Sebagaimana yang kita pahami bersama dalam kajian literatur ilmu politik memberikan sebuah deskripsi bahwa koalisi dalam pemerintahan di negara-negara yang menganut paham demokrasi selalu bermuara pada upaya untuk bisa berkuasa, yaitu berbagi kepentingan. Upah dari pembentukan dari koalisi sebelum dan pasca-pemilu tentu kepentingan kolektif dan kepentingan individu tiap-tiap parpol sebagai anggota koalisi. Ketika kepentingan sudah dipenuhi, koalisi pun bisa berjalan dengan baik. Itulah tujuan awal dari koalisi yang dibangun. Parpol pada saat yang bersamaan akan menjadi aktor-aktor yang menerima jabatan (office-seeking actors). Adapun tujuan koalisi pada akhirnya akan mendistribusikan ”insentif” jabatan di antara sesama anggota koalisi. Koalisi seperti ini tentu akan menjaga stabilitas pemerintahan (government stability).
Kemudian, stabilitas koalisi menjadi arah kedua preferensi kebijakan. Tentu kesepakatan dalam koalisi selalu berdasar pada kepentingan yang sama dalam pilihan kebijakan. Konflik kepentingan yang kecil antar anggota koalisi menjamin kuatnya kerja sama dan stabilitas pemerintahan. Haluan preferensi kebijakan koalisi tampaknya lebih rasional ketimbang arah pertama di atas. Pada akhirnya pilihan kebijakan yang sama lebih kuat daripada motif kekuasaan di atas.
Kembali kepada sebuah pertanyaan, mengapa menjadi oposisi bisa jadi pilihan yang sulit? Apakah dengan berkoalisi menempatkan kadernya di kabinet ada sesuatu yang sangat istimewa? Tanpa malu –malu kucing, barangkali kecurigaan publik bisa terjawab. Benarkah dengan menempatkan kadernya di pemerintahan parpol akan beroleh “amunisi atau gizi politik” menghadapi pemilu selajutnya?
Jika ini adalah sebuah argumentasi, sekalipun parpol tidak akan mau jujur menjawabnya, berarti parpol akan menggerogoti uang negara dengan cara lebih elegan (tidak tertangkap KPK) agar punya dana untuk Pemilu 2024 misalnya. Ini tentu sebuah sesat pikir yang tidak mendidik. Sebagaimana yang kita ketahui saat ini era transparansi dan era kontrol publik sudah berjalan seriing dengan penguatan kelembagaan demokrasi, penguatan teknologi informasi. Cara pikir dengan menempatkan kader di Kementerian untuk beroleh dana menghadapi Pemilu 2024 harus kita singkirkan. Pada akhirnya, jika kader yang ditempatkan di kementerian tidak punya prestasi, tidak mampu berinovasi, dengan sendirinya akan di tinggalkan oleh rakyat (abandoned by the people)
Momentum
Di sinilah parpol nonkoalisi menjadikan opisisi sebagai momentum. Menjadi penyeimbang yang sehat. Mengontrol pemerintah, mengkritik pemerintah dengan memberikan solusi akan jadi kampanye alamiah (natural) bahwa mereka adalah partai yang masih memainkan nilai, ideologi dan visi kerakyatan. Pada akhirnya oposisi yang kreatif dan inovatif bisa jadi pilihan. Secara sederhana, mengapa nonkoalisi Jokowi perlu di dorong menjadi partai opisisi yang inovatif dan sehat (become an innovative and healthy opposition party)?
Pertama, dalam referensi politik yang ada di dunia ini seperti di negara Amerika Serikat capres dari partai yang kalah akan jadi opisisi. Bahkan di negara USA ketika jadi oposisi bisa jadi menjadi pemenang pada pemilu selanjutnya. Ingat Partai Republik yang dua periode jadi oposisi bagi Barack Obama. Tradisi ini cukup bagus mengingat menjadi oposisi akan jadi kekuatan jika memainkan inovasi dan oposisi yang sehat.
Kedua, demokrasi butuh penyeimbang sebagai kekuatan. Sebagai partai opisisi misalnya, partai nonkoalisi Jokowi akan mengawal pemerintah dan mengkritik pemerintah secara membangun. Tetapi dengan catatan buka kritik angin ribut yang hanya merecoki pemerintahan saja. Kritik yang diberikan dalam koridor mengawal kebijakan pemerintah itu agar kebijakan sebagai program pemerintah bisa berjalan dengan baik dan punya manfaat yang besar bagi rakyat. Dengan adanya kotrol yang baik, korupsi anggaran dalam program bisa diminimalisasi.
Ketiga, jumlah partai nonkoalisi Jokowi cukup lumayan besar dan signifikan di DPR. Tentu ini jadi sebuah kekuatan (a power) agar pemerintah selalu berhati-hati dalam mengeksekusi program. Tentu partai nonkoalisi Jokowi harus memanfaatkan momentum (take advantage of momentum) ini dengan baik agar mereka bisa melakukan investasi politik. Inilah saatnya Partai Gerindra menunjukkan kepada rakyat bahwa dengan menjadi opisisi inovatif dan sehat mereka adalah partai yang mampu menjadi partai berkategori “problem solving” untuk bangsa ini.
Penutup
Publik tahu fasilitas yang diterima oleh semua anggota DPR adalah sama. Tidak ada alasan takut untuk menjadi oposisi. Mendorong parpol nonkoalisi Jokowi jadi opisisi yang inovatif dan sehat adalah modal yang sangat bagus untuk kemajuan demokrasi kita. Dengan adanya oposisi yang sehat dan membangun ini bisa mendorong pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Ingat teori Lord Acton kekuasaan cenderung korupsi (power tend to corrupt). Jika negara minus oposisi (country minus opposition) barangkali mekanisme kontrol (control mechanism) tidak berjalan dengan baik. Ini adalah sebuah malapetaka politik bagi negeri ini. Dalam hal inilah aspirasi publik menginginkan parpol non koalisi Jokowi jadi partai opisisi yang inovatif, sehat, dan membangun demi kemaslahatan (public good) bagi bangsa yang kita cintai ini.***
Penulis adalah Pengajar Tetap Administrasi Publik FISIP Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan/ Mahasiswa S3 MP Unimed.