Wiliam Toren III

Warisan Belanda di Pulau Aceh

warisan-belanda-di-pulau-aceh

Oleh: Iranda Novandi.

Rasa mendebarkan menyeberang lautan luas selama 1,5 jam dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh terasa hilang seketika menginjakan kaki di Pulau Breueh, Kecamatan Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar. Mata langsung disuguhkan pesona pulau yang masih asri nan perawan tersebut.

Begitulah kesan pertama yang muncul saat menjajakan kaki di Pulau Breueh, salah satu pulau dari beberapa pulau yang ada di Pulau Aceh. Selain Pulau Breueh, Pulau Aceh juga memiliki beberapa pulau lainnya, yakni Pulau Nasi, Pulau Benggala, Pulau Keureusek, Pulau Batee, Pulau Bunta, Pulau U dan Pulau Sidom. Sebagian pulau-pulau ini tanpa penghuni atau tidak didiami oleh manusia.

Pulau Aceh banyak menyimpan ribuan pesona alam, dengan pantainya yang indah serta memiliki saksi sejarah yang kini masih berdiri kokoh di puncak bukit di Desa Meulingge, Kemukiman Pulo (Pulau) Breueh Utara, yakni Mercusuar Wiliam Toren III.

Dalam catatan sejarah, mercusuar William Toren ini hanya ada tiga di dunia yang dibangun Belanda pada masa penjajahan dahulu. William Toren I berada di negeri Belanda, William II berada di Pulau Karibia dan William Toren III berada di Pulau Breueh, Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar.

William Toren ini, sejak beberapa tahun terakhir sudah terbuka untuk umum dan dijadikan situs sejarah dan objek wisata. Dimana, sejak 2015, mercusiar ini dikelola oleh Kementerian Perhubungan lewat Direktorat Jenderal Hubungan Laut, Distrik Navigasi Kelas II Sabang. Sejak saat itu pula, setiap harinya ada puluhan orang yang datang dan menaiki menara mercusuar tersebut.

Rasanya, jika kita berkunjung ke Pulau Aceh, terutama di Pulau Breueh, belum sempurna bila belum menginjakan kaki di Mercusuar William Toren ini. Dan rasanya belum sah juga bila kita belum menaiki tangga demi tangga mercusiar hingga ke puncaknya.

Menurut Azhari, seorang penjaga mercusuar ini, William Toren ini memiliki tinggi 45 meter  dengan enam tingkat serta memiliki 168 anak tangga. Pada puncak menara, kita bisa menyaksikan lautan luas Samudera Hindia dan mata akan dimanjakan dengan keindahan bibir pantau yang berpasir putih serta melihat Kota Sabang, Pulau Weh.

Areal Willian Toren ini juga masih ada bangunan yang dibuat Belanda. Menurut ceritanya, bangun tersebut merupakan tempat para perwira Belanda saat itu. Ada 15 kamar yang saat ini masih terawat dengan baik.

Sekitar 100 meter disisi bangunan tempat peristirahatan para perwira Belanda ini, ada satu bangunan yang kini sudah rusak. Bangunan ini merupakan tempa hiburan (sejenis bar) tempat para serdadu Belanda melepas penat.

Dibagian bawah bar ini, terdapat penjara bawah tanah yang dijadikan para kolonial Belanda untuk menahan para pejuang atau warga pribumi yang tidak patuh pada perintah kolonial saat membangun Mercusuar William Toren tersebut, selain itu ada juga sebuah kolam yang konon tempat penyisaan.

Hanya saja, menurut Azhari, warga setempat belum mengetahui dimana pintu penjara bawah tanah tersebut. Sebab, keberadaan penjara bawah tanah itu merupakan tuturan turun-temurun dari saksi sejarah, warga Pulau Aceh yang sudah menetap pada saat penjajahan Belanda tersebut. 

Di sekitar areal William Toren ini juga terdapat rel kereta api atau tepatnya rel troli, yang konon menghubungkan antara lokasi menara dan Dermaga Ujung Pieneueng yang berjarak sekitar 200-300 meter. Rel troli ini guna menganggut logostik saat pembangunan mercusuar tersebut.

Dari prasasti yang ditulis dalam Bahasa Belanda yang terdapat di lantai lima Mercusuar William Toren ini, bahwa menara ini resmi dibangun pada November 1875 kala Raja William III berkuasa (1817-1890).

Maka tak salah jika nama mercusuar ini diambil dari nama raja yang lebih dikenal dengan Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk, penguasa Luxemburg. Dimana, dalam catatan sejarah Willem saat memerintah memang terkenal giat membangun ekonomi dan infrastruktur di wilayah Hindia Belanda, termasuk Pulo Aceh.

Cara ke Pulau Aceh

Bagi anda yang hobi traveling atau bertualang, tentu ingin menjelajahi pulau Aceh ini. Ada beberapa cara untuk bisa menginjakan kaki ke Pulau Aceh ini. Bisa melalui pelabuhan lama Ulee Lhueu, Banda Aceh untuk menuju Pulau Nasi. BIla melalui Pelabuhan Lampulo di Banda Aceh kita biasanya untuk berpergian ke Pulau Breueh.

Tidak transportasi khusus, seperti feri atau kapal cepat layaknya kita berpergian ke Sabang, Pulau Weh. Namun, satu-satunya transportasi hanya menggunakan boat nelayan yang dirancang khusus untuk penyeberangan ke Pulau Breueh atau ke Pulau Nasi. Jadwal keberangkatanpun sangat tentatif, biasanya setiap harinya pukul 14.00 wib dari Pulau Aceh dan dari Pulau Breueh pukul 08.00 wib dengan harga tiket (ongkos) Rp25.000 sampai Rp.30.000 per orang.

Namun, menurut Andi, seorang warga Sabang yang kerab berpergian ke Pulau Aceh saat di temukan di Pelabuhan Lampuyang, kalau mau menyewa secara khusus (carter) kita bisa pergi sesuai dengan selera kita. Untuk carteran bisa mencapai Rp6 juta pulang pergi dengan kapasitas boat sekitar 60 orang tanpa barang, kecuali tas atau ransel.

Jika boat tersebut kita sewa biasanya kita akan bersandar melalui pelabuhan Lampuyang, di Pulau Breueh, namun jika menggunakan boat regular biasanya kita masuk melalui pelabuhan darurat di Desa Gugop.

Sesampai di Pulau Breueh, banyak alternatif untuk menginap. Satu-satunya penginapan berkelas hotel hanya milik Mess BPKS yang memiliki 7 kamar dengan tarif yang masih sangat terjangkau.

Plt Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) Sabang, Ir Razuardi MT yang juga membawahi wilayah Pulau Aceh ini, mengaku belum ada tariff resmi yang diberlakukan untuk wisatawan yang ingin menginap di mess BPKS tersebut. Namun, jika ada yang mau menginap tarifnya masih sangat terjankau meski fasilitas mess sudah layaknya hotel. Dimana, setiap kamar memiliki televisi, pendingin ruangan (AC) dan kamar mandi di setiap kamar serta memiliki ruang terpemuan (meeting room).

Alternatif lainnya, bagi yang mau merasakan kehidupan masyarakat pulau, bisa juga menginap di rumah warga dengan sewa berkisar Rp200 per malam atau bagi yang mau merasakan petualangan, bisa juga berkemah di sejumlah areal di pinggir pantai. Kalau mau berkemah, tinggal lapor ke aparat desa setempat dan Polsek yang ada di Palau Breueh tersebut.

Karena minimnya transportasi roda empat di Pulau Breueh tersebut, kita bisa menyewa sepeda motor untuk berkeliling menjelajahi keindahan di Pulau Aceh ini. Sepeda motor milik warga setempat di sewa Rp100.000 sampai Rp150.000 per hari.

Nah.. apakah tertarik untuk memcoba menjelajahi Pulau Aceh ini?. Perlu di ingat, menjelajah pulau Aceh terutama Pulau Breuen, layaknya kita bertualang sambil belajar hidup mandiri. Pasalnya, disini nyaris tidak ada sinyal handphone (HP), jauh dari kehidupan di kota yang bisa berselancar di dunia maya kapanpun kita mau. Spot sinyal HP hanya bisa didapat di kawasan Lamgugop dan sekiatrnya saja.

Begitu juga daya listrik juga terbatas, makanya kalau cahaya lampu listrik terlihat agak remang-remang jadi satu kewajaran, karena memang kurang daya. Tapi itulah sensasinya bertualang di Pulau Aceh, dengan tidak ada sinyal HP, maka saling membutuhkan sesama kita sangat terasa. Tidak seperti di kota-kota, terkadang kita larut dengan smartphone kita dibandingkan kawan di samping.

Bagaimana, ada yang mau merasakan sensasi bertualang ke Pulau Aceh dengan segala ketebatasan. Ayo siapkan diri untuk berlibur kesana dan rasakan sensasinya.

()

Baca Juga

Rekomendasi