Anomali Pendidikan

anomali-pendidikan

Oleh: Nevatuhella. 

Sekolah hingga petang merupakan jawa­ban atas keluhan guru yang menyatakan tidak berhasilnya pendidikan maksimum membentuk karakter siswa yang mumpuni, ternyata lebih ba­nyak berdampak negatif ketimbang positif. Terjadi berbagai anomali. Misal yang sederhana, tapi menyangkut syariah agama. Bukankah di sekolah-sekolah menengah pertama atau atas fasilitas untuk mandi siswa tidak ada. Misalnya seorang siswa yang sudah seharusnya bersih dari haidnya (melaksanakan mandi wajib) pada siang hari, seyogianya sudah bisa melaksanakan salat asar, namun sang siswa tidak mendapat kesem­patan ini. Berapa ratus ribu siswa perempuan yang menerima keadaan ini.

Selama ini memang tidak terpikirkan oleh pen­didik, guru serta pengambil kebijakan perihal ini. Apalagi yang terjadi di sekolah mayoritas siswa Islam atau sekolah madrasah. Ini anomali, secepatnya harus diatasi. Sekolahlah dengan cara konvensional. Jam setengah dua, sekolah telah bu­bar, siswa secepatnya sampai di rumah. Berso­sialisasi di rumah dan lingkungannya. Karena para pakar pendidikan sudah terlalu banyak me­ngatakan bahwa pendidikan kita tidak menyentuh realitas. Ini salah satu contohnya.

Anehnya para guru seringkali ikut memper­keruh suasana dengan berapologi bahwa lemahnya moralitas bangsa terjadi akibat kurangnya jam pelajaran yang yang diterima peserta didik. Tidak sedikit dari mereka secara gegabah mengasum­sikan bahwa satu-satunya obat mujarab bagi per­soalan defisit moralitas adalah dengan cara me­nam­bah dosis pelajaran tentang moral kepada peserta didik. Sebuah apologi yang kurang bijak. (Masdar Hilmy, “Pendidikan Berparadigma Induktif”, Kompas (17/12/2018).

Anamoli lainnya, adalah siswa selalu bau ke­ringat alias sudah tak bersih lagi tubuh dan pakai­annya, karena terlalu lama di kelas, pada siang hari pula. Sering di kendaraan umum, siswa yang pulang di jam lima atau setengah enam sore, me­reka mengeluarkan bau sangat tak sedap. Bisa dibayangkan mereka sejak jam enam pagi sudah memakai seragamnya sampai jam lima atau jam enam sore. Sudah sedikitnya tiga kali buang air kecil, sebab kalau dalam waktu 10 atau 11 jam orang dewasa atau katakanlah remaja hanya satu kali buang air kecil, adalah hal yang tidak sehat. Sementara kita mengetahui fasilitas air di sekolah-sekolah sangat minum, termasuk juga kebersihan­nya. Sekali lagi saya sebutkan, maka secepatnya sekolah mengambalikan jam akhir belajar meng­ajar pada tengah hari. Siswa tak perlu membawa bekal makanan ke sekolah. Selain membebani tas siswa yang sudah berat oleh buku-buku teks yang ampun-ampun tebalnya.

Anomali yang paling parah, apa yang diajarkan kepada anak didik di sekolah tidak menyentuh realitas dimasyarakat. Siswa gemar bercakap-ca­kap di ruang publik dengan suara keras dan ucapan-ucapan yang menor dan tak menunjukkan kepribadian yang baik sebagai seorang siswa. Selalu mereka menceritakan hal-hal sepele dan cerita-cerita pribadi yang norak dan memuakkan. Pokoknya tata tertib mereka di ruang-ruang publik, bahkan di kendaraan umum sudah tersesat ke jalan yang negatif.

Kalaupun mereka duduk manis di ruang-ruang publik, maka interaksi sosial pada sekitar tidak terjadi. Mereka lebih tertarik melototi ponsel cer­dasnya. Kalau menurut rating siswa Indonesia membaca di ponsel, dan apa yang dibacanya ada­lah pengetahuan, maka betapa sudah pintar-pintar dan cerdasnya siswa kita. Tapi nyatanya melalui ponsel cerdas itu, mereka memilih hal-hal sepele. Berchating ria dengan teman. Membaca kabar mutakhir artis dan lelucon-lelucon yang miris yang mematahkan kesungguhan.

Paradigma Baru

Sistem pendidikan kita memang tak menyentuh relitas. Guru memang mengajarkan pengetahuan yang benar. Misalnya mencuri atau berbohong adalah dilarang oleh agama. Dilarang juga oleh negara, dan diancam hukuman. Tetapi otak keba­nyakan siswa tidak seratus persen memegang pe­ngetahuan kognitif ini. Mereka dengan mudah bisa mencuri atau berbohong. Pertama oleh unsur adanya guru atau lingkungan hidup mereka yang suka mencuri dan berbohong. Penguasa mereka lihat mencuri (korupsi), pejabat publik suka ber­bohong, angka-angka statistik berakrobat. Tak usahlah kita melirik dunia perpolitikan kita yang sudah amat busuk. Guru menyelingkuhkan penge­tahuan atau ilmu. Di ujian-ujian nasional anak-anak yang mengikuti ujian diberi jawaban. Bahkan ada siswa yang harus membayar lewat joki dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sistem pendidikan kita saat ini benar-benar brengsek.

Kesadaran afektis (teknis) siswa tak bisa terea­lisasi akibat kendala ini. Mereka telah diselung­kupi budaya demikian. Bayangan mereka toh se­tinggi-tinggi bersekolah, mau bekerja harus me­nyogok juga. Untuk apa harus capek-capek belajar. Entah wilayah kehidupan mana lagi bisa dijamah oleh kebenaran dan nilai hakiki dari pen­didikan kita dan hasilnya.

Ada saya temui seorang siswa pesantren yang tak bisa betah hidup di Jakarta. Di dalam bus, ia melihat perempuan membuka aurat. Makanan pun tidak terjamin kehalalannya, maka ia menarik diri pulang kembali ke wilayah pesantren. Kehi­dupannya di pesantren dan lingkungan tempat ting­galnya yang bisa merealisasikan pengetahuan kognitifnya. Ia bisa masak sendiri, yang berarti kehalalan mankanannya terjamin. Ia bisa salat di mesjid setiap hari berjamaah, dia bisa membaca buku di kamar dengan santai, sampai ia bisa ber­silaturahmi dengan tetangga dan kerabat de­katnya. Ia bisa bertani atau beternak untuk me­me­nuhi kebutuhan hidupnya.

Ini hanya salah satu contoh kecil dalam ma­syarakat kita. Sebabnya menurut John Dewey dalam bukunya Experience and Education (1938) menyebutkan bahwa inti dari pendidikan adalah mengalami. Maka oleh sebab itu, pengalaman sehari-hari adalah salah satu laboratorium dalam pendidikan. Barangkali guru bisa melakukan ber­bagai uji nilai kognitif siswa, berurutan dengan nilai afektif. Guru bisa memberikan sejumlah uang pada siswa dengan berbagai alasan. Dari se­ratus orang siswa berapa orang yang jujur. Be­rapa orang yang berkilah dengan uang tersebut.

Mengukur parameter keberhasilan pendidikan saat ini dapat dilihat dari kejahatan moral yang kini berkelindan di sekitar kita. Masalah narkoba yang tak tuntas-tuntas belakangan ini. Sesudah tiga presiden berganti. Malah narkoba makin me­rajalela. Bukan saja mengenai (anak-anak) orang-orang kaya, berjabatan, tetapi merasuk ke ke­hidupan orang-orang miskin. Produk pendi­dikan macam apa ini? Lain lagi korupsi yang sudah menggurita. Pendidikan secara revolusioner sudah selayaknya beraksi memangkas ini semua. Apa yang direncanakan dalam pendidikan, baik kurikulum dan aksi lainnya, selalu teramat dangkal saat ini. Berbeda dengan masa-masa jaya belajar berhitung dan aljabar dulu. Siswa dan lulusannya bermental jujur dan mengetahui nilai hitam putih, benar salah menurut ukuran yang benar (agama).

Saat ini revolusi mental harus dilakukan dan digemakan, tidak sekadar sebagai penghias bibir belaka. Nilai-nilai agama ditegakkan. Moral Pan­casila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pendidkan berbasis keadilan dan kesenangan. Jangan siswa dibebani dengan sepuluh hingga lima belas mata pelajaran dalam satu semester. Ulang kembali pelajaran eksak yang membe­ratkan. Penemuan Rektor Universitas Syah Kuala Syamsul Rizal bisa jadi cerminan (“Masa Depan Indonesia 2045”, Kompas, 21/9/2016). Ditemu­kannya 75 persen siswa lulusan SMA tidak punya kompetensi untuk lulus SD. Ia telah mengetes hitungan pecahan sederhana untuk mereka, hanya 10 dari 40 siswa lulusan yang mampu me­nger­jakan. Untuk tes mencari akar persamaan kuadarat yang sangat sederhana, yakni persamaan x2-7x+12=0, bahkan hanya 2 siswa yang menjawab dengan benar.

Membanding hal itu, betapa ngawur kita mel­aksankan ujian nasional setiap tahunnya. Dengan biaya melambung. Soal-soal yang diajukan bah­kan sang guru pun tak sanggup mengerjakan da­lam waktu yang disediakan. Lapak pem­bohongan yang memojokkan para guru ke lem­b­ah nista. Dominasi pemikiran positivistik, yang melahirkan pola masyarakat yang materialistik dan kapitalistik, inilah paradigma pendidikan selama ini. Kembalilah ke khittah pendidikan yang berhulu pada moral dan berakhir di rasa keadilan. ***

*Penulis adalah esais, pengamat kebijakan publik.

()

Baca Juga

Rekomendasi