Oleh: Jonson Rajagukguk.
Penusukan Menkopolhukam Jenderal (Purn) Wiranto oleh Abu Rara (SA) merupakan sebuah gambaran betapa masyarakat kita sedang sakit dan menunjukkan sebuah perilaku kanibal. Terlepas apa faktor pemicu masyarakat yang sakit dan frustrasi ini, tetapi oleh apapun dan alasan apapun tindaka Abu Rara tidak bisa dibenarkan.
Sebuah upaya untuk menghilangkan nyawa orang dengan sengaja tidak akan bisa dibenarkan dengan alasan apapun dan merupakan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Terpidana yang sudah terhukum mati saja jelas punya prosedural dalam mengeksekusinya, konon orang yang tidak bersalah.
Kita tidak tahu pasti apa alasan Abu Rara (SA) dalam melakukan aksinya. Tindakannya yang sudah viral ini merupakan sebuah bukti betapa negeri ini sudah sangat tidak nyaman dan aman lagi. Kenyamanan dan keamanan merupakan sebuah prasyarat (a prerequisite) dalam membangun sebuah bangsa.
Stabilitas politik adalah sebuah syarat dalam melakuka pembangunan. Saat ini bangsa kita terus bergumul dengan masalah –masalah yang seharusnya tidak terjadi. Berbagai gelombang aksi demonstrasi mahasiswa yang menolak pelemahan UU KPK melalui revisi UU KPK dan juga menolak RKUHP telah memakan korban jiwa.
Aksi ini merupakan sebuah aksi yang menurut mahasiswa murni untuk menyelamatkan bangsa ini dari perilaku korupsi sebagaimana yang dikemukakan oleh aliansi BEM Se Indonesia, tegas mereka. Konsekusnsi dari demonstrasi ini adalah banyak fasilitas yang rusak dan juga kepercayaan negara lain pada kita setidaknya sangat berpengaruh. Belum lagi nyawa manusia melayang. Masalahnya, mengapa energi bangsa kita terkuras habis hanya untuk mengurusi hal–hal seperti ini?
Sudah saatnya pemerintah, kita semua elemen bangsa untuk bisa memetik hikmah dari berbagai kejadian yang telah berlalu. Saat ini spekulasi liar pasca penusukan Menko Polhukam tentu akan berkembang. Mulai dari upaya terorislah, menguatnya radikalisme, gejala fanatisme agama dan lain sebagainya.
Saat ini bangsa kita sedang berjuang menghadapi gerakan intoleransi, radikalisme sebagai musuh negara. Gerakan radikalisme yang terus menggejala, bahkan kalau bisa di bilang sedang menguat dengan berbagai aktivitasnya tentu merupakan sebuah kondisi yang sangat membahayakan bangsa ini.
Oleh berbagai analis, gerakan mahasiswa yang kemarin murni hanya untuk menuntut penguatan KPK dan juga penolakan terhadap RKUHP telah disusupi oleh kaum radikal yang tidak pernah puas dengan kondisi bangsa ini bersendikan ideologi Pancasila. Kaum radikal ini sudah punya agenda khusus bagaimana memanfaatkan semua momentum agar mereka bisa melakukan penyusupan. Bahkan saat ini dalam paparan Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizadr Ryacudu 3 persen anggota TNI terpapar dengan paham radikalisme. Kemudian kampus juga banyak yang terpapar dengan radikalisme. Bahkan salah satu dosen IPB juga kedapatan menyimpan bom molotov yang juga terafiliasi dengan kaum radikalisme juga.
Artinya, harus kita akui bahwa gerakan radikalisme ini sangat nyata (very real) sebagai sebuah gerakan dan menjadi ancaman nyata bagi NKRI yang sudah punya ideologi final, Pancasila. Melindungi bangsa ini dari ancaman gerakan radikal adalah tugas dan tanggung jawab semua komponen bangsa. Kita sudah punya Pancasila sebagai sebuah ideologi yang sudah final dan tidak akan bisa tergantikan dengan ideologi apapun. Untuk itu, semua gerakan yang berbaur radikalisme harus ditentang dan itu adalah tugas bersama kita dalam menghempangnya.
Kembali pada kasus penikaman Menkopolhukam tadi, ini adalah sebuah wujud kanibalisme dan juga vandalisme sebagai sebuah gejala masyarakat yang sedang sakit. Bagaimana membangun konsep komunitas masyarakat yang sehat, jauh dari radikalisme, toleran, dan mampu menerima kekurangan orang lain (termasuk pemerintah) tentu harus dilakukan.
Tetapi kalau kita lihat kondisi negara kita saat ini yang terus berjuang melawan gerakan radikalisme agama, saatnya pemerintah bisa belajar dari kasus ini. Hal yang musti dilihat pemerintah adalah mengapa gerakan radikalisme ini cenderung mengalami penguatan, bahkan oleh sekelompok masyarakat diterima sebagai ideologi alternatif, bahkan dengan nada lantang mengatakan itu sebagai sebuah ideologi yang harus diformalkan.
Untuk itu, dalam rangka mengeliminir, meminimalisasi, bahkan kalau bisa menghempang gerakan radikalisme ini ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah:
Pertama, pengentasan kemiskinan dan mencegah ketimpangan ekonomi yang bisa jadi pemicu. Sebagaimana yang kita ketahui, saat ini ketimpangan ekonomi (economic inequality) sangat terasa. Ada perlakuan khusus yang memang membuat para pemilik modal mampu melakukan kendali atas negara (control of the country).
Untuk itu, strategi apa yang dilakukan oleh pemerintah agar ketimpangan ekonomi ini bisa dicegah dengan memperkuat basis ekonomi yang berkeadilan (strengthen a just economic base) tentu akan mampu meminimalisasi gerakan radikalisme. Kekecewaan pada pemerintah tentu sesuatu yang harus dilihat oleh pemerintah sebagai sebuah momen untuk melakukan intropeksi diri (self-intropection).
Ketimpangan ekonomi dan bertambahkan kaum miskin tentu bisa jadi salah satu pemicu. Dalam berbagai teori dan referensi dapat diambil sebuah hipotesa yang mungkin kebenarannya sudah bisa kita terima, yakni ketimpangan ekonomi dan kemiskinan adalah salah satu pemicu munculnya gerakan teroris dan juga radikalisme.
Kedua, saatnya penegakan hukum yang berkeadilan dilakukan. Hukum itu tumpul ke atas dan tajam ke bawah bukan hanya wacana, dan memang kenyataan. Mungkin hal yang sama bisa juga kita lihat di negara yang supremasi hukumnya sangat bagus, tetapi tidak senorak yang terjadi di negara kita ini. Bahkan penegakan hukum yang berkeadilan dalam semua hal, termasuk pada kaum yang cukup radikal ini harus dilakukan. Dengan menjadikan hukum sebagai panglima (law enforcement), tentu ini bisa mencegah gerakan radikalisme.
Ketiga, mengoptimalkan dan melembagakan budaya toleransi. Dalam hal inilah peran tokoh agama dinantikan ceramahnya untuk memberikan kotbah bahwa keberagaman bangsa ini adalah anugerah dari Tuhan. Dengan demikian, ruang gerak radikalisme yang berangkat dari pemahaman agama yang salah bisa diminimalisir. Saatnya semua anak bangsa ini memahami bahwa dengan beragam dalam banyak hal, kita sangat kaya. Kekayaan ini harus kita rawat untuk menjadi sebuah bangsa yang bermartabat (dignified nation).
Terlepas apakah penusukan Pak Wiranto terkai dengan gerakan radikalisme, apa yang dilakukan oleh Abu Rara adalah sebuah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan. Banyak cara atau saluran yang mungkin bisa ditempuh jika berseberangan dengan pemerintah. Kekecewaan kepada pemerintah tidak harus ditumpahkan dengan darah dan nyawa. Cara beradab, apakah dengan mengkritik, demosntarsi, menempuh ke MK adalah cara yang mungkin lebih beradab (more civilized), kalaupun temanya kecewa dengan pemerintah (disappointed with the goverment).
Penutup
Perbuatan Abu Rara dengan alasan apapun ketika menusuk Jenderal Wiranto tidak akan bisa dibenarkan. Ini adalah sebua perbuatan kriminal yang sangat tidak layak dilakukan oleh warga negara. Saatnya kita bisa menarik hikmah dari kasus ini, bahwa kekecewaan kepada pemerintah tidak harus seperti ini.
Apa yang dilakukan oleh Abu Rara sebuah gerakan vandal dan kanibal yang sangat tidak patut (very inappropriate) di lakukan. Kita harapkan hal seperti ini jangan terjadi lagi kedepan. Mari berbeda pendapat dengan cara beradab, bukan dengan cara menghilangkan nyawa orang atau melakukan kekerasan dan kriminal. Sekali lagi, mari melawan setiap gerakan radikalisme di negeri tercinta ini agar tidak jadi embrio, gerakan yang bisa menghancurkan NKRI.***
Penulis adalah: Pengajar Tetap FISIP Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan/ Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan UNIMED Medan.