Oleh: Jan Roi A Sinaga.
“Setelah kekalahan ISIS di Timur Tengah, maka ribuan militan-nya akan kembali ke negara asalnya, termasuk Asia Tenggara. Ini yang menjadi ancaman utama, ada sekitar 700 orang Indonesia yang menjadi militan ISIS” Ryamizard Ryacudu (Menteri Pertahanan).
Seketika Indonesia heboh, disaat Menkopolhukam, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto mendapat serangan teroris di Pandeglang, Banten beberapa hari lalu. Tidak ada yang menduga, bahwa Syahrial Alamsyah atau Abu Rara beserta Istrinya akan menyerang Wiranto dengan membabi buta, sesaat setelah turun dari mobil dinas RI 16 yang ditumpanginya untuk menyapa beberapa tokoh dan Kapolsek Menes.
Sontak kejadian tersebut menjadi headline seluruh media tanah air karena aksi terorisme tersebut, telah menyasar pejabat negara. Wiranto sebenarnya sudah menjadi sasaran beberapa kelompok radikal, seperti yang diberitakan beberapa media beberapa waktu yang lalu, dengan menyebutkan bahwa Wiranto menjadi target penyerangan pada aksi kerusuhan 22 Mei 2019, yang memiliki agenda menolak hasil Pemilu pasca pengumuman KPU.
Kenapa harus Wiranto, tentu menjadi tanda tanya besar bagi kita semua. Akan tetapi, pertanyaannya bukan tentang kenapa beliau, dan kenapa bukan pejabat negara lainnya. Akan tetapi, kenapa sampai tindakan terorisme masih bisa leluasa terjadi di negara kita ini? Bukankah ada BNPT, BIN, Densus 88 yang bekerja siang malam untuk meminimalisir pergerakan dan aksi terorisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia? Lalu, bagaimana sebenarnya prosedur pengamanan para pejabat negara yang sedang melakukan tugas kunjungan ke masyarakat?
Ada satu pernyataan dari pihak Badan Intelijen Negara (BIN), yang membuat saya dan masyarakat yang awam tentang pengamanan, intelijen, dan Terorisme. Isi pernyataan itu menjelaskan bahwa, pihak BIN telah mengawasi keberadaan Syahrial Alamsyah di Banten selama beberapa bulan ! Jika benar demikian, kenapa tindakan keji Abu Rara yang disinyalir telah terpapar paham radikalisme tersebut, bisa lolos dan melukai pejabat negara serta tokoh masyarakat?
Apakah pada saat kejadian, para tim pemantau sedang asyik di kedai kopi, dan lalai terhadap gerak-gerik Syahrial? Bukankah protokoler pengamanan atas kunjungan pejabat negara ke suatu daerah begitu jelas, dan ada parameter pengamanannya, jika memang benar Syarial Alamsyah sudah “di mata-matai”? Sekelumit pertanyaan itu tentu saja ada di benak setiap warga negara Indonesia, mempertanyakan kinerja para aparatur negara yang bertugas terhadap pemberantasan teroris di negara kita.
Ancaman Radikalisme !
Ma’arif institut pernah merilis hasil survey, yang secara umum bisa digambarkan bahwa paham radikalisme sudah begitu berkembang di negara kita, menyasar para pelajar, lewat dunia pendidikan dan ekstrakurikuler. Bagaimana proses pengajarannya? Dibalut dengan ajaran Agama. Ajaran Agama yang pada hakikatnya adalah ajaran kasih, kedamaian dan persaudaraan, diplintir sekelompok orang sebagai sarana untuk mengajarkan tindakan radikal dalam menyampaikan kehendak.
Kelompok ini ingin agar kehidupan diatur sesuai syariat Agama, namun salah dalam hal pengaplikasian dimana tindakan mereka kerap dilakukan dengan kekerasan. Yang berseberangan pandangan, harus disingkirkan, apapun caranya. Hingga tidak jarang, para kaum radikal ini kerap menjalankan aksi teror untuk menimbulkan efek takut kepada masyarakat, sehingga harapan mereka untuk menarik masyarakat mau bergabung dengan kelompok tersebut, lebih mudah dilakukan.
Bom bunuh diri, penyerangan sporadis dengan senjata tajam, kerap mereka lakukan dalam menjalankan aksi teror nya. Dan aksi seperti ini akan terus mereka lakukan, hingga tujuan mereka tercapai. Siapa saja mereka manfaatkan untuk menjalankan aksinya, mulai dari sebuah keluarga yang berhasil mereka “cuci” otaknya, para pelajar, bahkan sampai kepada cendekiawan.
Selain memang dimusuhi seluruh negara didunia, tindakan terorisme ini juga aktif diperangi oleh Indonesia. Hampir setiap hari, para anggota Densus 88 dan BNPT berjibaku dalam hal pengawasan serta pengintaian seseorang yang terduga teroris. Meski sudah melakukan pengawasan yang ketat, tetap saja “kita” kecolongan. Kasus Wiranto menjadi salah satu bukti teranyar, betapa sistem keamanan yang kita bangun, masih memiliki celah bagi para kaum radikalisme menjalankan aksinya.
Jika memang hasil penelitian Ma'arif Institut tersebut sahih, maka bisa dipastikan bahwa negara kita berada dalam ancaman radikalisme yang sangat serius. Dunia pendidikan yang sejatinya mencerahkan pola pikir, kritis dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan, berhasil dimanfaatkan oleh para teroris untuk menanamkan paham radikal nya. Bisa kita bayangkan, bahwa kaum muda sebagai generasi penerus bangsa ini sudah terpapar paham radikal, maka tinggal menghitung waktu Negara kita akan bernasib sama seperti Afghanistan, Suriah, Libya, dan Irak. Hanya ada kehancuran, peperangan, tangisan dan ratapan.
Apa Tindakan Kita?
Pertama, pemerintah harus lebih jeli lagi dalam hal contra-terrorism. Jaringan-jaringan teroris saat ini tidak mudah lagi terendus layaknya jaman Nurdin M. Top dan Dr. Azhari. Mereka juga tidak lagi berkelompok dalam menjalankan aksinya seperti kelompok Santoso di Poso, ataupun berada di bawah garis Komando Abu Bakar Ba'asyir. Teroris sekarang bergerak secara sendiri-sendiri, namun memiliki tujuan yang sama. Dan kenyataannya, pergerakan secara sendiri-sendiri ini jauh lebih beringas daripada pergerakan yang terorganisir, karena mereka beraksi tanpa kontrol.
Apa saja akan mereka lakukan untuk memastikan aksinya berjalan sukses. Saat terendus oleh tim Densus 88, mereka tidak segan-segan melakukan perlawanan. Kasus penangkapan teroris di Sibolga, Sumatera Utara menjadi contoh nyata, dimana setelah suami tertangkap, istri terduga teroris tersebut meledakkan diri bersama dengan anggota keluarganya. Dan kejadian terbaru, penyerangan terhadap Menkopolhukam Wiranto, menunjukkan bahwa aksi mereka tidak lagi menggunakan bahan peledak, tapi apa saja yang bisa melukai target mereka.
Karena itulah, Pemerintah dan aparatur terkait harus lebih bijak dalam hal pemberantasan teroris di negara kita. Harus ada tindakan tegas terhadap mereka para terdakwa teroris, dan penanganan yang lebih intens lagi terhadap para terduga teroris. Deradikalisasi belum memberikan jawaban atas upaya pemerintah dalam upaya penanggulangan teroris di negara kita. Bahkan menurut Ali Abdullah Wibisono, Pengamat Teroris dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa keberhasilan Deradikalisasi hanya mampu memulihkan 30% dari para terpidana teroris untuk kembali setia kepada Pancasila dan tidak kembali menjadi teroris atau re-engagement. Sisanya? Malah semakin radikal, dan membentuk jaringan baru.
Me-restrukturisasi ulang program deradikalisasi agar lebih efektif adalah suatu keharusan, untuk meningkatkan keberhasilan dari program ini sebagai upaya dari bahagian pemberantasan terorisme.
Yang kedua, kepedulian masyarakat serta para pemuka Agama dalam memberantas paham-paham radikal yang berkembang saat ini. Selama masyarakat abai terhadap pengajaran radikal di lingkungan nya, maka paham ini akan tumbuh subur dan menyasar siapa saja di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dan selama para pemuka agama tidak sigap dalam pengajaran, dan nyaman mengajarkan paham radikal, maka bibit-bibit baru teroris akan terus bermunculan. Para pemuka agama harus kembali kepada dasar dari pengertian agama itu sendiri, yakni ajaran kasih dan cinta damai. Bukan provokasi, mengajarkan permusuhan, dan membangun tembok perpecahan lewat perbedaan.
Kita harus sadar, bahwa benteng utama pencegahan pengajaran paham radikal di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berawal dari kepedulian masyarakat itu sendiri, serta ajaran yang diajarkan para pemuka agama.
John Mc Cone (mantan direktur CIA) pernah berkata, bahwa bom penghancur paling dahsyat itu sebenarnya bukanlah Bom atom. Akan tetapi, agama. Kita yang salah memaknai ajaran agama, jauh lebih berbahaya daripada bom yang pernah menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tersebut. Karena itu, selama ujaran kebencian akan perbedaan, kotbah-kotbah provokatif masih dikumandangkan, sama saja dengan menyemai benih teroris di kalangan masyarakat.
Ketiga, evaluasi kinerja BIN. Sebenarnya, negara kita memiliki BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang bertanggungjawab penuh terhadap upaya pemberantasan teroris di Indonesia. Akan tetapi, keberadaan BIN sebagai “eagle eyes” yang mengawasi gerak-gerik kaum radikalisme yang sedang bergerilya ditengah masyarakat, begitu vital untuk mencegah terjadinya tindakan radikalis dan anarkis.
Bukan hanya kasus yang menimpa Wiranto, kapasitas BIN dalam mempelajari situasi di Papua, khususnya kerusuhan di Wamena beberapa waktu lalu, wajar untuk dievaluasi. Kenapa, BIN yang berisikan para ahli strategi, analisis, dan pengintaian itu bisa kecolongan yang menyebabkan ketidak kondusifan terjadi di negara kita, sehingga berdampak buruk terhadap iklim investasi, yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak.
Jika tidak ada evaluasi, maka bukan tidak mungkin, akan ada aksi yang lebih besar terjadi di negara yang kita cintai ini. BIN, BNPT dan pihak Kepolisian bersama dengan TNI harus benar-benar ”awas” dan siap dalam menghadapi segala kemungkinan, akan perang terhadap teroris dan para sindikat anarkistis. Kita harus paham, bahwa kelompok radikal ini tidak lagi bergerilya di darat, tetapi juga memanfaatkan media sosial sebagai “ladang” penyemaian paham radikalnya.
Tengoklah, bagaimana respon beberapa netizen atas kasus penyerangan Wiranto. Mulai dari masyarakat biasa, hingga beberapa tokoh menanggapi dengan sinis, dan penggiringan opini sesat atas peristiwa tersebut. Inilah bukti, bahwa Indonesia saat ini berada dalam bahaya radikalisme. Tidak cukup hanya seruan dan imbauan semata dari Presiden untuk memerangi radikalisme di negara kita. Harus ada tindakan tegas dan terukur, dalam upaya pemberantasannya. Karena pencegahan, jauh lebih baik daripada berjuang melalui medan peperangan. Mari, lawan Radikalisme dan Anarkisme bersama-sama. ***
Penulis adalah, pemerhati sosial, pendidikan dan budaya.