Radikal Melawan Korupsi

radikal-melawan-korupsi

Oleh: Jones Gultom. Tertangkapnya Walikota Medan Dzulmi Eldin menambah catatan buruk kota ini. Eldin menjadi Walikota Medan ketiga yang diseko­lah­kan KPK. Sebelumnya, dua se­nior­an Eldin, masing-masing Abdillah dan Rahudman Harahap juga dise­ko­lah­­kan KPK. Bukan hanya walikota, dua Gubernur Sumatera Utara juga ter­ciduk kasus yang sama. Antara lain, Syamsul Arifin dan Gatot Pudjo Nu­groho. Keduanya mendekam di ta­ha­nan KPK mengenakan seragam oranye khas tahanan KPK.

Jika dirunut lebih luas lagi, sejum­lah pejabat daerah di Sumatera Utara banyak yang mengalami masalah serupa. Mereka memanfaatkan jaba­tan­nya untuk kepentingan pribadi. Sedi­kitnya dari catatan KPK per Juli 2018 ada 9 kepala daerah di Sumatera Utara yang terkena kasus korupsi. Ditangkapnya Eldin semakin me­nam­b­ah daftar dosa para pejabat di provinsi ini. Berbagai cara pun sudah dilakukan untuk mengatasi kejahatan ini. Mulai dari hal-hal yang bersifat pencegahan sampai penindakan. Namun bak kata pepatah, semakin dibabat (kok) semakin merambat.

Dalam konteks yang lebih luas, selain ancaman korupsi Indonesia juga terancam mewabahnya paham-paham ra­dikalisme yang berujung pada ke­kerasan. Radikalisme ini secara khu­sus menyasar kepada anak-anak muda. Di kota maupun di desa. Mereka ter­provokasi paham yang belum tentu me­reka pahami. Kemudian memak­sa­kan pandangan ideologisnya itu de­ngan cara-cara yang radikal. Padahal su­dah jelas, ideologi bangsa ini adalah Pan­casila. Pancasila merupakan harga mati bangsa ini sejak dulu tumbuh dan berkembang dengan kebera­ga­man­­­nya.

Semangat radikalisme itu sayang kerap berujung kekerasaan. Kekera­san yang tidak hanya dilakukan dalam ruang privat, tapi juga diumbar di depan umum. Dalam situasi seperti ini, apa yang pernah disampaikan no­velis Agatha Christhy menemukan ke­benarannya. Bahwa kekerasan pada ma­syarakat di satu negara yang gagal adalah “The Daily History”. Ia tak ubah­nya rutinitas dalam sebuah rumah tangga. Bahkan dalam kondisi itu, kematian tak lagi dinilai sebagai peristiwa transdental. Ia hanya sekedar peristiwa biasa yang tak ada nilainya.

Sudah pasti salah satu faktor yang membuat berkembangnya kelompok-kelompok radikal di Indonesia adalah rapuhnya nilai-nilai pluralisme di jiwa mereka. Sehingga kelompok-kelom­pok ini tak sanggup menerima per­bedaan yang ada di sekelilingnya.

Padahal para pendiri bangsa ini juga terdiri dari bermacam-macam identitas. Baik suku, agama sampai pan­dangan politik bernegara. Namun per­bedaan itu disatukan oleh ke­inginan dan cita-cita luhur yang me­ngatasnamakan kepentingan bangsa dan negera. Di sisi lain, perbedaan itu justru memperkaya khasanah ber­ne­gara. Namun tidak semua menyadari keindahan itu. Gerakan fundamentalis terus tumbuh dan tetap terpelihara.

Karena itulah saya membayangkan bila semangat radikal itu diarahkan un­tuk hal-hal positif. Misalnya mem­berantas korupsi yang telah membuat negeri ini terpuruk dan akhirnya ter­lunta-lunta. Saya sebut terlunta-lunta, karena untuk melak­sana­kan pem­ba­ngu­nan, bangsa ini tidak lagi memiliki kemampuan selain mengandalkan utang.

Memilih Pemimpin Korup

Sebagai negara demokratis, bangsa ini juga harus mengeluarkan triliunan da­na untuk menggelar Pemilu. Ter­masuk untuk Pilkada 2020 men­datang, dimana Medan ikut ambil bagian. Apa boleh buat, semua ini harus ditang­gung negara yang konon sedang be­lajar berdemokrasi ini. Tidak perduli apakah masyarakatnya masih miskin atau tidak, Pilkada mesti tetap digelar. Barangkali inilah negeri yang paling royal sekaligus produktif dalam urusan politik.

Seluruh energi bangsa ini telah terkuras demi politik. Namun masya­ra­kat yang sebenarnya sudah teramat lelah dalam politik, mau tidak mau mes­ti memberikan hak politiknya. Maka kini, politik seakan menjadi satu-satunya jalan hidup masyarakat. Men­jadi keseharian hidup masyarakat Indonesia. Politik telah menyusup di hampir semua dimensi kehidupan ma­syarakat. Baik dalam konteks ber­bangsa maupun bernegara. Bahkan yang paling miris, politik telah me­nyusup ke dalam wilayah privat masyarakat, termasuk agama.

Tetapi hasil Pemilu itu pun tak me­muaskan. Tak lama terpilih, satu-per­satu para pemimpin itu pun masuk bui. Mereka terjerat skandal korupsi. Su­ng­guh miris hati kita melihat perilaku pa­ra pemimpin ini. Mereka mena­war­kan diri dan menghabiskan uang ne­ga­ra, hanya untuk menjadi penghuni bui.

Sebaliknya, kita sebagai ma­syara­kat terus saja dijajah. Bayangkan ne­ga­ra mesti menghabiskan uang triliu­nan rupiah hanya untuk memilih se­jumlah pemimpin yang bermental korup. Dengan kata lain, uang triliunan ru­piah itu kita habiskan untuk meng­hantarkan para pemimpin yang kita pilih untuk masuk bui.

Sementara masyarakat yang hidup dalam kesengsaraan ekonomi, kesim­pang­siuran politik, serta korban mafia-mafia pasar, tak habis-habis diperas energinya. Dijajah secara politik, ekonomi dan hukum oleh para politisi busuk itu.

Jangan heran jika kini masyarakat menjadi defensif melihat realita dan membayangkan masa depannya. Masyarakat selama ini hidup dalam kepalsuan dan trauma dalam ber­ba­ngsa. Kepalsuan yang dilakukan pe­mimpinnya sendiri. Dengan korupsi, kolusi dan nepotisme itulah, sesung­guh­nya pikiran dan jiwa masyarakat telah dipalsukan.

Kini tidak terbayang berapa juta generasi muda yang masa depannya telah dipalsukan oleh pemimpinnya sendiri. Maka dalam kondisi bangsa yang tengah sekarat ini, masyarakat pun hidup saling curiga. Saling me­ngintai satu sama lain. Pada satu ke­sem­patan saling mangsa-me­ma­ngsa. homo homini lupus, kata Plautus, 23 abad yang lalu.

Karena itulah semangat radi­kalisme yang berkembang di ma­sya­ra­kat itu harus didorong untuk mem­berantas korupsi. Bukan seba­liknya meng­gelo­rakan intoleransi. Ba­ngsa ini sudah c­ukup letih. Sejak ko­lonial menjajah 3,5 abad lalu, kini giliran kita sendiri yang menjajah di negeri sendiri. ***

Penulis adalah, warga Sumatera Utara, Indonesia.

()

Baca Juga

Rekomendasi