Oleh: Djoko Subinarto. Korupsi masih menjadi salah satu problem besar bagi negara kita. Pemerintahan yang benar-benar bersih dari korupsi menjadi impian kita bersama. Mungkinkah negeri ini akhirnya dapat bebas dari belenggu virus korupsi?
United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang publik untuk kepentingan pribadi melalui cara-cara penyuapan, pemerasan, kolusi, nepotisme, penipuan dan penggelapan.
Di negeri ini, boleh dibilang godaan untuk melakukan korupsi demikian besar. Siapa pun orangnya, apa pun latar belakang, gelar maupun jabatannya, memiliki peluang untuk tergelincir menjadi koruptor. Di sisi lain, pelaku korupsi pun kian beragam, dari mulai anggota legislatif, pejabat pemerintahan, petinggi parpol, akademisi, pengusaha hingga aparatur penegak hukum.
Korupsi merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional. Secara demikian, korupsi bukan hanya bisa dilihat sebagai masalah struktur politik dan kekuasaan semata, tetapi juga bisa dilihat sebagai masalah struktur ekonomi, budaya, sosial atau pun moral kelompok dan moral perseorangan.
Ada yang berkeyakinan, seperti halnya penyakit infeksi, korupsi juga menular. Artinya, virus korupsi bisa menyebar dari satu individu ke individu lainnya atau dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Menurut Jaderick Pabico, yang menulis makalah bertajuk Modeling Corruption as a Contagious Disease (2018), penularan korupsi dimungkinkan dari adanya interaksi antara para koruptor dengan mereka yang -- karena sejumlah kondisi -- rawan berperilaku korup.
Dalam konteks Indonesia, contoh nyata kasus penularan korupsi ini salah satunya adalah praktik suap yang melibatkan para terpidana korupsi dengan para petugas lembaga pemasyarakatan (lapas). Alih-alih mampu ikut menegakkan hukum dan keadilan, sebagian petugas lapas kita justru asyik berkolusi dengan para koruptor dengan jalan menerima suap dari para koruptor. Sebagai imbalannya, mereka kemudian memberi kemudahan dan keistimewaan bagi para terpidana korupsi selama menjalani hukuman bui di lapas. Maka, tidak sedikit kalangan menilai bahwa penjara kita bukan hanya tidak mampu membuat efek jera bagi para koruptor dan calon koruptor, tetapi juga malah menjadi lahan penularan virus korupsi sehingga menciptakan para koruptor baru.
Saya percaya tak ada seorangpun yang dilahirkan untuk menjadi koruptor. Artinya, koruptor itu diciptakan, bukan dilahirkan. Saya percaya pula tak ada seorang pun bercita-cita untuk menjadi koruptor. Sama halnya tak ada seorang perempuan pun yang bercita-cita menjadi pekerja seks komersial (PSK). Tak ada pula orangtua yang memimpikan anaknya menjadi koruptor atau mendapat mantu koruptor.
Di samping merongrong fondasi tata kelola pemerintahan yang baik, korupsi juga menghambat terciptanya pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan. Ratusan penelitian yang dilakukan di berbagai negara menyimpulkan bahwa korupsi berdampak negatif pada investasi dan perdagangan, mengurangi pertumbuhan ekonomi serta menciptakan distorsi dalam pengeluaran anggaran pemerintah untuk sektor publik, yang pada gilirannya dapat menaikkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat.
Khusus untuk negara-negara yang sedang berkembang, korupsi juga menjadi penghambat utama bagi sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Menurut Corruption Watch International, -- lembaga nirlaba yang berbasis di Braamfontein, Afrika Selatan -- akibat praktik korupsi, sektor UMKM harus mengeluarkan biaya operasional dua hingga tiga kali lebih besar dari biaya yang semestinya, sehingga membatasi kemampuan sektor ini untuk tumbuh dan membuka lapangan kerja.
Berbeda dengan penjahat biasa, seperti pencopet, penjambret maupun perampok, aksi para koruptor sama sekali tak terkait dengan soal kesejahteraan dan keharmonisan keluarga. Level kesejahteraan koruptor umumnya sudah berada pada level established alias mapan. Kebutuhan dasar mereka untuk soal pangan, sandang maupun papan sudah sangat tercukupi. Pemenuhan biaya pendidikan dan kesehatan anggota keluarga mereka juga sudah bukan lagi persoalan buat mereka. Tapi, kenapa mereka masih mau melakukan korupsi -- dengan, katakanlah, terima suap serta gratifikasi maupun melakukan mark-up biaya sebuahprojek?
Penyebab korupsi di Indonesia sama sekali bukan masalah kesejahteraan. Tapi, lebih karena faktor kerakusan, keserakahan. Corruption by greed, begitu kata para pakar.
Tentu saja, ikhtiar perlu terus diupayakan untuk mengatasi persoalan korupsi di negeri ini. Salah satunya dengan melakukan tindakan pencegahan. Sebuah pepatah kuna mengungkapkan, mencegah lebih baik daripada mengobati.Bentuk pencegahannya antara lain yaitu dengan meningkatkan taraf pendidikan antikorupsi masyarakat. Pendidikan antikorupsi perlu menjadi mata kuliah wajib di kampus-kampus kita. perguruan tinggi, dengan masyarakat terdidik di dalamnya, semestinya menjadi garda paling utama dalam gerakan antikorupsi di negeri ini. Bukan malah menjadi garda terdepan dalam hal memproduksi para koruptor.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan mayoritas koruptor di negeri ini adalah lulusan perguruan tinggi. Koruptor yang paling banyak ditangkap KPK sejauh ini adalah mereka yang bergelar S-2 (magister), lantas S-1 (sarjana) dan kemudian S-3 (doktor). Adapun koruptor yang lulusan sekolah menengah (SMA dan SMP) yang ditangkap KPK jumlahnya sangat minim.
Pelatihan, kursus singkat, lokakarya antikorupsi yang menyasar berbagai elemen masyarakat perlu pula digiatkan. Tak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan yang memberat pada metoda pendekatan kelompok yang dinilai sangat berisiko melakukan tindak korupsi. Metode analisis kelompok dapat dimanfaatkan guna memetakan kelompok-kelompok mana saja yang rentan terjangkiti virus korupsi. Setelah terpetakan dengan baik, barulah dirancang program dan bentuk pencegahannya.
Korupsi bukan sesuatu yang alamiah dan permanen.Kita harus tetap optimistik bahwa tidak ada kata mustahil untuk mencegah virus korupsi sehingga tidak semakin berkembang biak dan merajalela di Republik ini. ***
Penulis adalah kolumnis dan bloger.