Oleh: Meyarni. Walikota Medan Dzulmi Eldin kena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, Selasa (15/10). Dalam sekejap, berita itu langsung viral di semesta media sosial. Seperti biasa, warga net bereaksi macam-macam. Eldin pun mencatatkan posisi hattrick Walikota Medan yang “disekolahkan” KPK. Eldin menjadi Walikota Medan ketiga yang berakhir di dalam buih KPK. Dua Walikota Medan sebelumnya, Abdillah dan Rahudman Harahap juga terjerat masalah serupa.
Penangkapan Eldin ini terbilang ironis, karena di menit-menit terakhir menjelang jabatannya berakhir. Selain Eldin, seperti yang diberitakan media, ada 6 orang lainnya yang ikut terciduk. Termasuk salah seorang anggota DPRD Sumut (AH) yang baru sebulan lalu dilantik. Sedangkan uang yang diamankan dalam operasi tangkap tangan itu, besarnya Rp 200 juta.
Uang korupsi rupanya terlalu manis rasanya. Bak gula di sarang semut, semuanya berebut. Buktinya, sudah begitu banyak pejabat yang ditangkap, namun praktik korupsi tak juga surut. Di Sumatera Utara ini saja, selain ketiga walikota Medan, dua gubernur sebelumnya yakni Syamsul Arifin dan Gatot Pudjo Nugroho juga harus disekolahkan lagi oleh KPK. Belum lagi sejumlah walikota/bupati di berbagai kabupaten/kota. Eldin pun mengikuti jejak pendahulunya itu. Merasakan dinginnya udara di balik jeruji besi.
Krisis Malu
Saat ini, menyandang status koruptor di negeri ini mungkin bukan lagi sesuatu yang miring. Faktanya banyak pejabat yang pernah mendekam dalam tahanan KPK, bisa begitu saja wara-wiri di ruang publik. Seolah tidak ada beban moral atas kesalahan yang dilakukannya itu. Malah beberapa koruptor itu, ada yang kembali naik ke panggung politik, mengincar jabatan-jabatan publik. Padahal jelas-jelas wajah mereka telah tercoreng karena menjadi sorotan media massa.
Tapi rupanya itu anggapan saja. Faktanya, setelah mereka bebas dari buih, kehadiran mereka justru ada yang sampaikan dielu-elukan. Malah ada yang diundang kesana kemari untuk memberi nasehat dan ceramah dalam berbagai forum. Bukan bermaksud mendeskreditkan, tapi rasanya “ampunan” itu begitu gampangnya didapat dari masyarakat kita. Atau apakah karena nilai-nilai sosial berikut sanksinya itu memang sudah tidak melekat lagi dalam kehidupan masyarakat bangsa ini?
Terkait itu, sebagian ada yang menyebut penyebabnya dikarenakan ingatan masyarakat Indonesia yang pendek. Adapula yang menyebut karena karakter Indonesia yang cenderung pemaaf. Tapi adapula yang menyebut karena kejahatan-kejahatan semacam itu di masyarakat bukan termasuk kejahatan serius. Tidak heran, dalam pandangan kelompok masyarakat ini, koruptor tidak sama dengan pelaku kejahatan lain.
Karena itu, bisa saja pencuri seekor ayam, tampak lebih jahat di banding koruptor. Faktanya dalam banyak kasus, seringkali pencuri ayam dihakimi massa dan tak sedikit yang sampai meregang nyawa. Tapi hal yang sebaliknya dialami koruptor. Begitu seorang koruptor keluar dari tahanan, citranya belum tentu ambruk.
Sebenarnya saya tak ingin membanding-bandingkan tingkat kejahatan itu. Namun fenomena yang terjadi di masyarakat itu patut diteliti dalam ragam perspektif. Hal itu penting untuk melihat sejauh mana sebenarnya dampak hukuman yang diterima koruptor dalam konteks nilai-nilai sosial. Apalagi menurut data yang dikumpulkan oleh Kementerian Dalam Negeri sampai Desember 2015, terdapat 361 walikota, bupati, dan gubernur yang tersandung kasus korupsi sejak otonomi daerah.
Data itu merinci pada 2011, 40 kepala daerah terkena kasus, 2012 ada 41 kepala daerah, 2013 turun menjadi 23 kepala daerah, dan 2014 ada 56 kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Korupsi tak hanya dilakukan oleh kepala daerah, tapi juga oleh anggota DPR. Data yang dimiliki KPK pada periode 2004-2015 menyebutkan total 39 anggota DPR yang terjerat kasus korupsi.
Selain itu, berdasarkan data putusan pengadilan 2001-2015 terkait kasus korupsi, dari total 2.569 terpidana korupsi, jumlah terbanyak adalah PNS sebanyak 1.115 orang (43,40%), lainnya adalah sektor swasta sebanyak 670 orang (26,08%), dan politisi sebanyak 559 orang (21,76%). Kerugian negara akibat korupsi swasta menyentuh angka Rp47,1 triliun, sementara terpidana PNS merugikan negara sekitar Rp21,3 triliun. Jumlah kerugian yang dihasilkan oleh politikus merupakan yang paling kecil sekitar Rp3 triliun rupiah.
Warisan
Korupsi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia. Termasuk pula di Indonesia. Sejak zaman raja-raja praktik korupsi bisa disebut sudah mendarah daging. Tidak jarang, banyak kerajaan yang hancur karena salah urus dan pejabatnya yang korup. Salah satunya sistem upeti yang kerap diselewengkan. Begitu juga di masa kolonial Belanda. Terbukti, VOC, organisasi dagang mereka yang begitu kuat bubar karena korupsi yang tidak lagi terkendali.
Catatan sejarah itu seolah memaklumkan bahwa korupsi adalah bagian dari kultur bangsa ini. Bahwa korupsi adalah satu kebiasaan yang sudah turun-temurun dari generasi ke generasi. Tetapi korupsi sebagai satu bentuk kejahatan, baru dirasakan kurang lebih 17 tahun terakhir. Namun karena memiliki historis di masyarakat, kadar kejahatan seorang koruptor cenderung masih lebih baik dibanding seorang pencuri ayam.
Lantas bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi korupsi dan membuat orang tak korup. Hukuman seperti apa yang harus diberikan bila sanksi sosial saja sudah hilang dari masyarakat? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab karena memang menyangkut banyak hal terkait integritas seseorang.
Sementara ini, penegakan hukum masih satu-satunya formula yang paling ideal, selain upaya-upaya yang sifatnya pencegahan. Tapi semua itu berpulang kepada kemauan untuk menegakkan hukum sebagai panglima. Di zaman serba otomatis ini sebenarnya merupakan peluang untuk menutup ruang-ruang korupsi. Sistem digitalisasi akan membuat semua urusan sesuai dengan peraturan yang berlalu. Tidak ada lagi ditentukan dengan hubungan emosional dan sugukan.
Namun sekali lagi, semua itu tergantung oleh manusianya. Apakah negeri ini memang sudah siap untuk bersih, bila rakyat masih lapar dan mental birokratnya masih bobrok? Transaksi kewenangan akan terus terjadi bila kedua hal mendasar itu tak juga bisa dijawab. ***
Penulis adalah warga Medan.