Kantor Walikota Medan Digeledah 12 Jam

kantor-walikota-medan-digeledah-12-jam

Medan, (Analisa). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah Kantor Walikota Medan Jumat (18/10) mulai pukul 09.00 WIB hingga sekitar pukul 21.30 WIB atau sekitar 12 jam. Objek yang digeledah yakni ruang kerja Walikota Medan, Dzulmi Eldin yang berada di lantai dua.

Selain itu, KPK juga menggeledah ruangan subbag pro­tokoler di basement, serta ruang bagian umum di lantai satu.

Dari hasil penggeledahan itu penyi­dik KPK menyita empat koper besar berisi dokumen, barang-barang elektro­nik dan sejumlah dokumen lainnya.

Ketika ditanya seputar peng­gele­dah­an tersebut, penyidik KPK bung­kam. “Tunggu saja keterangan dari Ja­kar­ta, ujar mereka sembari berjalan menuju mobil yang siaga menunggu dengan pengawalan ketat kepolisian.

Penggeledahan didampingi Asisten Ekonomi Pemko Medan Medan, Khai­rul Syahnan. Sejumlah petugas kepo­lisian juga diperbantukan untuk berjaga-jaga.

Terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menye­butkan, dalam peng­geledahan itu KPK menyita sejumlah dokumen perjalanan ke Jepang dan mobil milik staf Pemko Medan.

"KPK menyita dokumen perjalanan ke Jepang, dokumen lain yang terkait, barang bukti elektronik serta ken­daraan salah satu staf pemerintahan Kota Me­dan yang digunakan untuk menerima uang," kata Febri kepada wartawan, di Jakarta Jumat (18/10).

Dibagi Dua

Pada saat bertugas di Kantor Wali­kota Medan, Tim KPK dipecah dua bagian yakni untuk melakukan pengge­ledahan di ruang walikota dan subbag protokoler. Begitu masuk ruangan, pintu kaca langsung dikunci Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Medan. "Sudah ya, sampai di sini saja," pinta mereka.

Tak berapa lama, Wakil Walikota Akh­yar Nasution yang mengenakan pa­kaian olahraga tiba di kantornya dan menemui wartawan. Dia mengaku ma­sih belum bisa berkomunikasi de­ngan walikota. "Sampai sekarang belum ada komunikasi dan kami pun belum bisa melakukan langkah-langkah yang di­per­lukan," katanya.

Disinggung pemeriksaan sejumlah ruangan, Akhyar memastikan pi­haknya siap memberikan data atau informasi diperlukan. "Soal pemerik­saan ruangan, silakan saja karena itu hak KPK," te­gasnya.

Terkait ASN yang terlibat dalam ka­sus ini, Akhyar memastikan akan me­nung­gu putusan pengadilan. "Se­telah ada keputusan inkrah dari pengadilan, baru kami bisa mengambil tindakan. Kita ikuti saja peraturan pemerintah (PP) Nomor 53, maaf saya tidak terlalu hafal. Kami juga belum berkomunikasi dengan Menteri Dalam Negeri (Men­dagri)," jelasnya.

Menjawab pertanyaan tentang ke­siapannya diperiksa KPK, Akhyar me­ngatakan siap mengikutinya jika diper­lukan. "Ya silakan, saya siap," tutup­nya seraya melangkah menuju lantai dua.

Andika Muncul

Sekitar pukul 13.30 WIB, ajudan wali­kota Andika Hartono yang me­larikan diri saat akan ditangkap penyidik KPK pada Rabu (16/10) muncul di Kantor Walikota Medan. Mengenakan baju kaos biru, celana dan topi hitam, kedatangannya di­kawal Ke­pala Satuan (Kasat) Pol PP, M Sofyan.

Tanpa berbicara sepatah pun, Andika langsung digelandang ke lantai dua. Diduga, kehadirannya untuk menambah data atau informasi yang dibutuhkan KPK. Sekitar 30 menit, Andika keluar dan berjalan menuju lantai satu, ruang subbag protokoler.

Beberapa saat di ruangan itu, Andika yang tetap dalam penjagaan ketat, digiring keluar dan masuk ke mobil Toyota Kijang Innova BM 1864 PI. Andika didudukkan di bagian tengah dikawal petugas KPK dan polisi bersenjata laras panjang.

Kemudian, sekitar pukul 15.30 WIB Andika muncul lagi di kantor wali­kota. Dia digiring masuk ke ruang asisten di lantai dua.

Pada saat yang sama, sebagian tim KPK masih melakukan pengge­ledahan di ruang kerja walikota dan ruang lainnya. Petugas KPK mening­galkan Kantor Walikota Medan sekitar pukul 21.30 WIB.

Seusai penggeledahan, Wakil Walikota Medan Akhyar Nasution  mengatakan doku­men yang dibawa penyidik KPK terkait su­rat keputusan (SK) pegawai dan sejenis­nya. Namun, laptop dan mobil tidak ada yang disita KPK.

Mengenai dokumen dari ruangan mana yang paling banyak dibawa, Akhyar tidak mengetahuinya, padahal petugas KPK sem­pat membacakan dokumen yang disita. "Sa­ya tidak ingat dari ruangan mana dokumen paling banyak dibawa saya juga tidak ingat," katanya.

Menurutnya, untuk Jumat (18/10) peng­ge­ledahan yang dilakukan aparat KPK di Pemko Medan sudah selesai. Akhyar juga sudah meneken berkas sebagai saksi atas barang yang disita KPK tersebut.

"Apakah mnasih ada pemeriksaan lagi belum diketahui. Tetapi untuk hari ini sudah selesai dan sudah bisa masuk ke ruangan, termasuk ruang kerja Walikota," ujarnya.

Untuk diketahui, penggeledahan dilaku­kan pasca-penetepan Walikota Medan Tengku Dzulmi Eldin sebagai tersangka dugaan kasus suap.

Bersama Tengku Dzulmi Eldin, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya yaitu pemberi IAN (Isa Ansyari) Kepala Dinas PUPR Kota Medan dan SFI (Syamsul Fitri Siregar) Kepala Bagian Protokoler Pemko Medan.

Sebagai pihak yang diduga pene­rima, Tengku Dzulmi dan Syamsul Fitri disangka­kan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah de­ngan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang me­ne­rima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar mela­kukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan ke­wa­jibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi Isa Ansyari disang­kakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Un­dang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ten­tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada PNS atau pe­nyelenggara negara dengan maksud supaya PNS tau penyelenggara negara ter­sebut ber­buat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan de­ngan kewajibannya diancam hukuman minimal setahun penjara dan mak­simal lima tahun penjara dan denda minimal Rp50 juta dan maksimal Rp250 juta. (hen/qq/Ant)

()

Baca Juga

Rekomendasi