Wajah Akulturasi Peranakan Pinang

wajah-akulturasi-peranakan-pinang

APA yang membuat museum rumah taipan babah-nyonya atau Peranakan Pinang Mansion yang terletak di Kawasan George Town Pinang, laris manis disambangi turis?

Bayangkan, pada hari biasa saja, begitu informasi dari petugas penjual tiket, jumlah pengunjung bisa mencapai 500 orang. Tarif masuk ke mansion dibandrol 25 ringgit (setara Rp80 ribu) per orang. Jika benar klaim penjual tiket itu, maka dalam sehari, pihak museum bisa meraup penghasilan kurang lebih Rp40 juta.

Nah, masih kata petugas tiket lagi, jumlah pengunjung bisa bisa melonjak 2 kali lipat, bahkan lebih saat musim liburan tiba. Tak di­pung­kiri, Mansion Chung Keng Kwee, memang bisa dibilang feno­menal. Mansion ini dibangun pada 1896. Memiliki koleksi sekitar 1.000 barang antik Tiongkok dan Eropa abad 19.

Museum ini juga memiliki galeri yang memajang aneka hasil bor­diran manik-manik pada aneka sepatu perempuan, gaun pengantin, tas tangan, dan permadani. Hasil bordiran itu merupakan karya nyo­nya, yang sekaligus memer­lihatkan penguasaan seni bordir Tiongkok.

Selain itu di mansion ini juga ada museum yang memajang berbagai koleksi perhiasan berlian langka, mulai perhiasan yang dipakai untuk sehari-hari, hingga perhiasan khu­sus pernikahan dan hari berkabung. Juga koleksi aneka barang yang terbuat dari emas, seperti tas tangan emas, replika kapal dari gading gajah, tempat sirih, topi pangeran, kipas dari kulit kura-kura, dsb.

Berbagai vas bunga antik pada masa Ratu Victoria berkuasa diko­lek­si mansion ini. Konon sebuah museum di Inggris pernah berniat untuk membelinya dengan harga fantastis, namun tak dilepas pemilik mansion.

Bangunan Peranakan Pinang Mansion terdiri dua lantai. Arsitek­tur bangunannya merupakan akul­tu­rasi dari seni ukir dan estetika gaya Tiongkok, Melayu, dan Ero­pa. Representasi multikultur da­lam bangunan Mansion Chung Keng Kwee terlihat dari bangunan rumah yang menggunakan panel-panel kayu berukiran gaya Tiong­kok. Juga perabot rumah tangga seperti kursi, lemari, tempat tidur, dan busana khusus pemberian dari Dinasti Qing.

Sementara ukiran gaya Eropa terlihat dari penggunaan 4 tiang besi utama yang nenyangga bangu­n­an. Tiang itu memiliki ukiran ukiran gaya Skotlandia, Inggris. Termasuk penggunaan ubin untuk lantai rumah. Bahkan jendela kamar tidur juga memadu antara gaya Eropa dan Tiongkok. Jendela Eropa yang dikenal tinggi, di te­ngah berisi lukisan gaya Tiong­kok.

Sedangkan akulturasi dengan budaya Melayu terlihat dari koleksi kebaya nyonya, masakan nyonya, dan bahasa Melayu. Kaum Tiong­hoa peranakan Pinang memang telah menciptakan gaya hidup dan kebiasaan yang unik. Mereka tidak hanya meninggalkan warisan ba­rang antik yang kaya tetapi penga­ruh budayanya seperti masakan dan bahasa yang masih terlihat jelas di Penang sampai hari ini.

Nyonya Tok Panjang

Ada beberapa galeri dalam mansion yang memiliki cerita menarik. Pertama galeri Nyonya Tok Pan­jang. Atau meja makan panjang di ruang makan keluarga. Letaknya di belakang ruang tengah, yang memi­liki plafon transparan agar sinar matahari leluasa menembus dan menerangi ruang makan.

Di dinding sisi kiri dan kanan selain penuh ukiran dari panel kayu artistik, juga dipasang dua cermin besar. Saat menjamu makan tamu-tamunya, Chung Keng Kwee, sang tuan rumah akan duduk di kursi tengah pada ujung meja. Posisi itu membuat Chung Keng Kwee lelu­asa melihat tamu yang datang lewat ruang tengah. Ibaratnya cermin besar itu bak sebuah kamera CCTV yang membuat bisa waspada setiap saat.

Siapa sesungguhnya Chung Keng Kwee? Ia memang bukan seorang Tionghoa peranakan. Chung Keng Kwee merupakan pemimpin Hai San, atau kongsi gelap. Ia kelahiran Hunan, Tiong­kok. Salah seorang imigran Tiong­hoa yang sukses berbisnis di Tai­ping, Perak. Di sana ia memiliki usa­ha penambangan timah yang dikirim ke Penang untuk dilebur oleh sebuah perusahaan menjadi timah batangan sebelum diekspor ke London.

Suatu hari Chung Keng Kwee berkunjung ke Penang, ingin meli­hat pabrik peleburan timah. Rupa­nya ia terpukau melihat keindahan alam Pulau Pinang. Lalu ia mem­beli tanah dan mendirikan rumah di sana pada 1896.

Petak tanah itu diperolehnya lewat pertarungan dengan pemim­pin kongsi gelap lain, Ghee Hin. Se­la­ma lima tahun tinggal di Pe­nang sampai meninggal pada 1901, Chung Keng Kwee konon menge­lo­la usaha seperti perjudian dan candu. Saat itu, bisnis seperti itu tergolong legal. Bisnis seperti itu membuatnya punya banyak musuh.

Galeri lain yang cukup menarik terletak di sebelah kiri ruang makam atau Nyoya Tok Panjang. Satu ruang untuk tamu barat, ada kursi panjang, juga ada bantal kecil untuk meletakkan kepala sembari mengisap candu.

Konon bangku kecil itu hadiah dari kaisar keempat dari Dinasti Qing. Cirinya ada lukisan naga ku­ning dengan empat kaki di atas bangku kecil itu. Lukisan itu menandakan bahwa hanya seorang kaisar yang bisa memberikan bangku dengan lukisan naga ku­ning berkaki empat. Di galeri itu ada juga ranjang yang juga diguna­kan untuk tamu khusus saat mengi­sap madat.

Teritori Perempuan

Galeri lain yang menarik adalah dapur nyonya, tempat makanan nyonya diproduksi untuk keluarga besar Chung Keng Kwee sekaligus anak buah mereka. Dapur adalah sebuah teritori khusus bagi kaum perempuan Tionghoa. Umumnya rumah keluarga Tionghoa kaya saat itu dihuni empat bahkan lima generasi. Dapur karena itu jadi sumber bagi kaum perempuan yang berbeda generasi untuk menurun­kan ilmu memasak, cara mendidik anak, dan kiat mengelola rumah tangga.

Antara 1941 - 1946, rumah kediaman yang pernah dijadikan Chung Keng Kwee sebagai kantor dalam kedudukannya sebagai Ka­pi­ten Perak, dijadikan markas kepa­la tentara Jepang. Saat diserahkan kembali kepada keturunan Chung, kondisinya sudah rusak berat. Selama 60 tahun rumah itu dibiar­kan tak diurus. Pada 2000 rumah itu dibeli Peter Soon dari generasi kelima Chung.

Bangunan itu lalu direnovasi untuk mengembalikan kejayaan­nya. Setelah selesai pada 2004, man­sion itu lalu dibuka untuk umum. 

Pinang Peranakan Mansion atau Mansion Kapitan Chung Keng Kwee, di George Town, sejatinya tak jauh berbeda dengan Mansion Tjong A Fie di Medan. Masing-masing pemiliknya punya legenda­nya sendiri. Namun soal merawat, mengembangan dan membungkus hingga memasarkan sebagai desti­nasi wisata budaya, masing-masing pemilik mansion punya resep sendiri. (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi