
Oleh: J Anto
JACOB Soemardjo pernah mengatakan, “Benda-benda budaya warisan masa lampau sebenarnya sudah menceritakan dirinya sendiri. Benda-benda itu punya struktur luar yang unsur-unsurnya hanya bisa dipahami melalui pola pikir tertentu. Namun pola berpikir benda-benda itu masih tersembunyi, masih bisu, tugas kita membuatnya bicara.”
Lai sudah berumur 70 tahun, namun kedua orang tuanya masih hidup dan ia harus merawat mereka. Lai tak pernah menolak keinginan mereka. Saat orangtuanya memanggil ia bergegas datang. Terkadang saat ayah dan ibunya merasa bosan dalam hidup mereka, Lai mengenakan pakaian badut warna-warni dan melucu untuk mereka. Ayah dan ibunya terhibur dan dibuat tertawa melihat tingkah jenaka anaknya.
Lalu ada Chu, seorang anak kecil, tinggal di Tian Chang semasa Dinasti Song berkuasa. Ibunda Cu, Nyonya Liu adalah seorang selir kesayangan ayahnya. Hal itu membuat istri sah ayahnya cemburu dan merancang rencana jahat. Selir Liu lalu dipaksa menikah lagi dengan pria lain dan tinggal di Provinsi Shanxy.
Chu berusia 7 tahun ketika ibunya direngut paksa dari sisinya. Meski dipisahkan sejak kecil, Chu tak pernah sekejap pun berhenti memikirkan ibunya. Chu lalu belajar sangat keras dan berhasil menjadi pejabat tinggi pada masa pemerintahan Shen Zong. Meski sudah 50 tahun berpisah, keinginan Chu untuk bersatu kembali dengan ibunya tidak pernah padam.
Suatu hari ia memutuskan meletakkan jabatan yang diperoleh dengan kerja keras. Ia ingin mencurahkan seluruh waktunya untuk mencari ibunya. Sebelum melakukan pencarian, Chu membuat sumpah, “Aku tidak akan kembali tanpa bertemu ibuku.”
Pencarian Chu membawanya ke berbagai tempat, sampai ia menemukan ibunya di Provinsi Thongzhu. Terjadilah reuni penuh air mata antara anak dan ibu yang telah terpisah sekian puluh tahun itu.
Kisah Lai dan Chu adalah kisah klasik Tiongkok kuno, kisah yang mengandung ajaran hao (bakti) dan nilai-nilai filosofi konfusian lain. Benda-benda budaya warisan masa lalu orang Tionghoa memang bukan sekadar ekspresi seni. Rumah perkumpulan marga (klan), kelenteng atau vihara adalah totalitas ekpresi seni yang sarat spiritualisme juga simbolisme kosmologi orang Tionghoa. Di sanalah aktivitas spiritual, sosial dan kultural berlangsung.
Bangunan budaya warisan masa lalu orang Tionghoa bisa dibilang merupakan satu kesatuan seni yang bertujuan membangun karakter hubungan manusia secara vertikal dan horizontal. Tak heran jika mitos, legenda dan nilai-nilai spiritualitas termanifestasi dalam seni bangunan yang ada.
Rumah perkumpulan marga Khoo dari klan Leong San (naga gunung) yang berasal dari Desa Sin Kang, Hokkian dan terletak di Cannon Square, George Town, adalah salah satu contohnya. Di dinding utama sebelah kiri dan kanan yang mengapit ruang sembahyang untuk Dewa Ong Soon Yah dan Tua Sai Yah, dua dewa penjaga klan Khoo, terdapat 24 ukiran atau mural.
Secara ikonografi ukiran-ukiran itu berisi ajaran kebajikan yang berasal dari abad 4.000 SM dan ajaran dari filsuf besar Tiongkok, Konfusius. Namun untuk mengerti cerita di balik ukiran-ukiran tersebut, seorang pelancong yang tak paham mitologi Tiongkok, sebaiknya bertandang ke toko suvenir di sekitar kompleks Khoo Kongsi. Di sana ada sebuah sebuah buku tipis, judulnya An Anthology of 24 Stories of Filial Piety. Buku itu bisa memandu untuk menyingkap ‘harta karun’ budaya dari seni mural tersebut.
Miniatur Klan Khoo
Rumah perkumpulan marga Khoo merupakan salah satu rumah perkumpulan klan dari komunitas Tionghoa yang telah meraih sukses ekonomi pada abad 18 di Semanjung Malaysia. Mereka juga membangun perkampungan marga menyerupai miniatur kampung mereka di Hokkian. Perkampungan itu memiliki sistem pemerintahan sendiri, organisasi pendidikan, keuangan, kesejahteraan, dan sosial.
Menurut Wang Gungfu (2000), sampai akhir abad 19, para imigran China, biasanya dan selalu laki-laki, diwajibkan untuk kembali ke masa lampau keluarga, desa, atau komunitas di China. Masa lalu ini digunakan para imigran sebagai rambu-rambu untuk hidup terhormat di tempat rantau. Di rantau mereka membentuk organisasi atas dasar tempat peziarahan religius, atau berkelompok atas dasar ikatan persaudaraan. Mereka juga memprktikkan adat istiadat yang berlaku di tanah leluhur.
Menurut Wang Gungfu, etnis Tionghoa di Asia Tenggara (Nanyang) memang menghadapi pilihan untuk menentukan orientasi sejarah mereka. Sejarah di sini dalam pengertian orientasi tindakan mereka di tanah rantau. Menurut Wang ada 4 macam pilihan orientasi, yakni memilih sejarah negara asalnya, sejarah lokal tempat ia bermukim, sejarah dunia dan piorientasi, keempat meramu sejarah hibrid. Artinya dalam diri etnis Tionghoa ada sejarah Tiongkok, lokal, dan sejarah lainnya.
Rumah Leong San Tong Khoo Kongsi dibangun 1851 saat klan Khoo tengah berada di puncak kekayaan dan kemasyhuran mereka di Pulau Pinang. Namun selain klan Khoo, ada juga 4 klan lain yang sukses secara ekonomi di sana. Mereka juga punya rumah perkumpulan dan perkampungan sendiri, yakni klan Cheah, Yeoh, Lim, dan Tan. Kelima klan ini dikenal sebagai Goh Tai She (Lima Marga Besar) yang menjadi tulang punggung komunitas Hokkian di masa-masa awal Pulau Pinang berdiri.
Pada masanya, rumah perkumpulan klan Khoo difungsikan sebagai tempat pertemuan, pemujaan leluhur dan dewa yang mereka percaya, pentas kesenian opera tio ciu pan, dan pernikahan. Pada 1901, bangunan megah itu terbakar karena terkena petir. Ada kepercayaan hal itu terjadi akibat kemiripan bangunan Leong San Tong dengan istana kaisar di Tiongkok, sehingga memicu kemarahan para dewa.
Pada 1906, Leong San Tong Khoo Kongsi rampung direnovasi dan skalanya lebih kecil dari sebelumnya. Saat Jepang menjajah Malaysia, termasuk Pulau Pinang, dan terlibat dalam Perang Dunia II, sebagian bangunan mengalami kerusakan terkena bom. Setelah Jepang menyerah ke Sekutu, dilakukan perbaikan lagi dan selesai 1958.
Ruang utama untuk sembahyang di bangunan Leong San Tong Khoo Kongsi berada di lantai dua. Di ruang tengah ada ruang sembahyang untuk Dewa Ong Soon Yah dan Tua Sai Yah, dua orang suci pelindung klan Khoo.
Cheah Aun (Ong Soon Yah) dan keponakannya Cheah Hean (Tua Sai Yah) adalah jenderal terkenal dari Dinasti Jin abad ke-4. Dalam pertempuran bersejarah di Sungai Fei, Jenderal Cheah Hean dengan pasukan kecil yang terdiri dari 80 ribu orang berhasil menghadapi satu juta pasukan musuh yang dipimpin Jenderal Fu Jian dari Dinasti Qin. Sementara Cheah Aun dengan menggunakan taktik perang psikologis menjebak musuh di antara rerumputan dan pepohonan.
Dari pertempuran inilah muncul pepatah terkenal China, “Baik Rumput dan Pohon Terlihat Seperti Tentara.” Pepatah itu menggambarkan tentang kegugupan dan ketakutan ekstrem yang terjadi pada musuh. Karena keberanian dan kecerdasan mereka dalam melindungi orang-orang klan Khoo, Jenderal Cheah Aun dan Cheah Hean didewakan.
Di sayap kanan terletak ruang Ee Kok Tong, ruang sembahyang untuk leluhur klan Khoo. Nisan leluhur (sin choo pai) ditempatkan sesuai hirarki klan. Lalu di sayap kiri terdapat ruang Hock Teik Soo, yang mengabadikan Tua Pek Kong (Dewa Kemakmuran) untuk melindungi rumah tangga orang Tionghoa yang melakukan sembahyang di kuil ini.
Keindahan dan kemegahan arsitektur Leong San Tong Khoo Kongsi, yang menggunakan arsitektur gaya Fujian Selatan, pernah dimanfaakan untuk shooting film Anna and The King yang dibintangi Jodie Foster dan Chow Yun Fat. Dalam gedung ini juga dipajang display sejumlah taipan marga Khoo dan riwayat singkat kerajaan bisnis mereka.
Misalnya Khoo Teung Por yang berasal dari Goh Pang. Ia merupakan seorang pengusaha sukses abad ke-19. Oleh Li Jun, yang menulis buku Sejarah Singkat Penang, Khoo Teung Por digambarkan sebagai orang Tionghoa perantauan yang luar biasa. Teung Por datang ke Penang ketika dia berusia 15 tahun dan tinggal di Asia Tenggara sampai mati.
Ia adalah orang Tiongkok pertama yang membeli kapal uap. Dia memiliki lebih dari 10 kapal untuk mengangkut produk bisnisnya, termasuk timah dari Perak. Ia juga memiliki bisnis penggilingan padi di Saigon dan Rangoon. Kapalnya melakukan perjalanan antara Sanghai, Ningpo, Amoy, Hong Kong ke Swatow dan Singapura, Penang dan Malaka di Asia Tenggara.
Khoo Teong Por juga dikenal sebagai seorang dermawan. Ia pernah menyumbang ke Tiongkok saat terjadi banjir dan membangun tembok penahan air.
Lalu ada Khoo Thean Tik (1818 - 1890), kelahiran Pinang, pemiik Hai Tooh Pang. Ia memiliki bisnis perkebunan tebu dan kelapa di Provinsi Wellesley. Pada akhir abad ke-19, ia berkongsi dengan Chung Keng Kwee, Kapitan China Perak. Keduanya memiliki banyak bisnis patungan di Perak, termasuk dalam bisnis industri penambangan timah.
Sekitar 1860, Khoo Thean Tik menggantikan Khoo Teng Pang sebagai pemimpin Kean Teik Hong, yang juga dikenal sebagai Tua Pek Kong Hoey. Pada 1867, terjadi kerusuhan di Penang ketika kelompok rahasia Tua Pek Kong dan Gee Hin saling bertarung. Setelah kerusuhan, Khoo Thean Tik ditangkap dan dihukum ke Singapura selama 7 tahun.
Khoo Thean Tik adalah salah satu pendiri Leong San Tong Khoo Kongsi. Banyak posisi penting pernah dijabatnya dalam organisasi Tionghoa setempat, termasuk Ketua Balai Kota CHina Penang. Namanya juga ditabalkan untuk nama jalan dan kawasan.
Sampai kini keturunan klan Khoo hanya sedikit yang tinggal di Pinang. Mereka tersebar ke berbagai kota lain di Malaysia, bahkan sampai ke Singapura, Medan, dan kota-kota lain. Secara rutin, keturunan klan Khoo menggelar acara pertemuan tahunan. Misalnya saat perayaan Imlek, sembahyang memeringati hari kelahiran Dewa Ong Soon Yah dan Tua Sai Yah dan perayan-perayaan lain.
Semua itu dilakukan untuk memupuk rasa persaudaraan dan mengingatkan keturunan klan Khoo yang masih ada terhadap pepatah, “Jika Minum Air, Jangan Lupa Sumbernya!”