
Oleh: Jones Gultom
Memasuki petang, jarum jam terasa bergerak cepat menuju angka 6. Langit di Bukit Singgolom, Balige, Tobasa, Sumatera Utara pun mulai berwana jingga. Sebuah benda bulat raksasa, perlahan mulai jatuh ke Danau Toba. Permukaan danau yang tadinya biru kehitaman, berubah menjadi kuning keemasan. Danau Toba seperti mendidih oleh pancaran sinar matahari senja. Detik-detik peristiwa itu pun menjadi tontonan ratusan pengunjung yang berwisata ke tempat itu pada pertengahan Juni 2019 lalu. Dari bibir jurang, mata mereka tak berkedip memandang. Menyaksikan detik demi detik tenggelamnya matahari ke dasar danau. Semilir angin senja yang bertiup landai, ikut menyempurnakan suasana sunset di surga tersembunyi di sudut Danau Toba itu.
Rasa decak kagum pun tak berhenti mengucur dari bibir sejumlah pengunjung. Salah satunya Emy Pardede. Meski Emy lahir dan besar di Balige, tapi Emy mengaku tak pernah bosan untuk menyaksikan fenomena sunset dari Bukit Singgolom. “Ini kampungku. Aku lahir dan besar di Desa Meat,” katanya sembari menunjuk ke bawah. Tapi sampai sekarang tak pernah aku bosan melihat pemandangannya, kata Emy yang berprofesi sebagai pendidik ini.
Ya, Bukit Singgolom merupakan sebuah dataran tinggi yang berada di Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) Sumatera Utara (Sumut). Ada sejumlah desa yang berada di gugusan pebukitan ini. Antara lain, Lintong Ni Huta, Meat dan Tara Bunga. Keindahan alam dari Bukit Singgolom sudah tak terbantahkan lagi. Dari bukit ini pengunjung bisa melihat nyaris 360 derajat view Danau Toba. Hal itu dikarenakan selain posisinya yang berada di ketinggian, hamparan Danau Toba juga terlihat “lapang” dan luas. Apalagi tidak ada bukit-bukit yang menghalangi mata memandang.
Dari Bukit Singgolom kita bisa menyaksikan gugusan pulau-pulau kecil di permukaan danau, tepat di bawah jurang. Rimbunan hutan dan perkampungan di bawahnya semakin menambah eksotika alam. Selain itu juga tampak siluet bukit-bukit biru nun jauh di sana. Bukit-bukit biru yang berkabut seolah menjadi backdrop keajaiban alam ini. Tidak heran, karena keindahannya, sejak dulu Bukit Singgolom menjadi incaran pengunjung yang datang berwisata ke Tobasa maupaun Sumatera Utara pada umumnya.
Penulis sendiri berkunjung ke tempat ini dalam kesempatan menyaksikan perhelatan Toba Caldera World Music Festival 2019 yang digelar di Bukit Singgolom, 14-16 Juni lalu. Menyaksikan keindahan alam dengan iringan lantunan musik dari berbagai negara itu, rasanya sukar untuk dijelaskan. Yang pasti, meski sudah beberapa kali penulis berkunjung ke Singgolom, tak pernah ada rasa bosan. Hati terasa lebih tentram dan damai.
Tidak hanya itu, Bukit Singgolom juga dikenal karena jejak-jejak sejarah dan budaya yang ada di sekitarnya. Di pebukitan ini kita bisa melihat sejumlah makam tua berdiri gagah menantang zaman. Makam itu sebagian besar, belum memiliki prasati yang menandakan agama apa yang dianut orang yang dikuburkan di makam itu. Itu menunjukkan makam itu agaknya telah berusia setidaknya ratusan tahun. Selain itu, masih satu gugusan dengan Bukit Singgolom, ada sebuah bukit yang tingginya mencolok. Bukit itu merupakan dataran yang paling tinggi di pebukitan Singgolom. Bukit itu dikenal dengan nama Dolok (bukit) Tolong. Dolok Tolong merupakan salah satu bukit yang dikeramatkan oleh orang Batak, selain Pusuk Buhit di Samosir. Bila di Samosir orang mengenal Pusuk Buhit sebagai gunung suci, secara khusus orang Tobasa, khususnya Balige mengenal Dolok Tolong sebagai bukit sakral.
Cerita sejarah tentang Dolok Tolong memang belum banyak diekspos hingga kini. Namun menurut sejumlah literatur, serta kesaksian orang-orang yang pernah mendaki bukit ini, di atas bukit terdapat sejumlah peninggalan Raja Sisingamangaraja XII. Antara lain berupa mata air (sumur) yang airnya konon tidak pernah kering.. “Di sekitar Dolo Tolong, terutama di puncak, banyak prasasti Sisingamangaraja XII, tapi belum semua terungkap. Jadi sebenarnya lokasi ini tempat yang sakral. Sudah sejak lama dihormati masyarakat secara turun-temurun,” terang Emy. Apalagi ada banyak makam tua di sini, makam leluhur orang Batak yang mungkin perintis daerah ini.
Ada juga sebuah literatur yang mengatakan bahwa di Bukit Tolong tersimpan kisah di masa kerajaan Nusantara. Yakni tentang ekspansi pasukan Majapahit di tanah Batak pada akhir abad ke-14 M. Namun, sayangnya, cerita ini belum tergali dengan maksimal, dikarenakan minimnya literatur yang sifatnya tulisan sebagai sumber data awalnya. Meski begitu, bagi masyarakat Balige maupun Tobasa, Dolok Tolong sudah begitu familiar dan mereka sangat menjaga kesakralannya.
Petikan Guzheng di Danau Toba
Seperti disinggung di atas, penulis berkunjung ke Bukit Singgolom bertepatan dengan Toba Caldera World Music Festival 2019. Di perhelatanyang berlangsung tiga hari itu, tampil sejumlah pemusik dari berbagai negara. Antara lain, Indonesia, Malaysia, Tiongkok dan Meksiko. Panggung utama berdiri di tengah padang rumput Bukit Singgolom. Panggung-panggung kecil lainnya, termasuk yang digunakan untuk workshop, menyebar di sejumlah titik. Termasuk panggung workshop guzheng yang dalam perhelatan itu berhasil mencuri perhatian pengunjung.
Saat pemusik dari Tiongkok, Prof Qin Ciao Ning, mulai memainkan guzheng (kecapi China) dengan backdrop panggung view Danau Toba, terasa seperti ada kesatuan antara nada dengan alam. Apalagi nada-nada dari petikan senar guzheng identik dengan harmonisasi alam. Tambah lagi kala itu, pemusik Qin Ciao Ning, memainkan sejumlah reportoar yang merepresentasikan air, udara dan pegunungan. “Guzheng itu musik yang membuat kita damai. Filosofinya seperti air, mengalir dan mendamaikan jiwa,” kata Qin.
Dengan jemarinya yang lentik, Qin membawakan sejumlah reportoar yang membuat pengunjung terkesima. Salah seorang di antaranya, Benny Simanjuntak. Warga Desa Lintong Ni Huta ini sampai beberapa kali memberikan aplaus. “Kayak main-main kulihat dia metik, tapi enak kali kurasa suaranya, merdu,” kata Benny. Mengakhiri performnya, Qin mengajak sejumlah warga menyayikan lagu “Indonesia Pusaka” diiringi petikan guzheng. Seketika Bukit Singgolom dengan pemandangan Danau Toba-nya yang menawan itu, terasa seperti di satu tempat di dataran tinggi pegunungan Tiongkok. Elaburasi nada dan alam menyatu menembus ruang dan waktu. Tidak ada jarak antara pemusik, musik yang dihasilkan dengan pendengarnya. Semua itu terasa sempurna dengan keindahan alam yang begitu luar biasa. (Penulis adalah jurnalis penyuka traveling)