Mencermati Logika Berbahasa Kita

mencermati-logika-berbahasa-kita

PADA 30 September 2019 lalu, pre­si­den Joko Widodo meneken Perpres Nomor 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres mengatur ke­wajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidato resmi, baik di dalam maupun luar negeri. Baik oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejan­bat-pejabat negara lain. Indonesia ju­ga wajib digunakan dalam pera­turan per­undang-undangan dan berbagai dokumen resmi negara, hingga penamaan geografi, bangunan atau gedung, permukiman, apartemen, hingga perkantoran.

Kita mengerti perpres tersebut diteken sebagai upaya negara me­nguat­kan eksistensi bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional, sudah semestinya bahasa Indonesia kita jaga bersama. Sayangnya, belaka­ngan tak sedikit orang yang dengan ‘ge­nit’ mudah menyisipkan kata-kata dari bahasa Inggris, meski sedang ber­bicara dalam bahasa Indonesia. Jika terus dibiarkan, ini tentu akan mengikis posisi bahasa Indonesia itu sendiri di masyarakat. Hal tersebut masih ditambah dengan masih ba­nyak­nya orang yang dalam menulis mau­pun melafalkan bahasa Indonsia masih tak sesuai dengan kaidah.

Persoalan tentang bahasa Indonesia ternyata tak berhenti pada soal ancaman dari bahasa lain dan peng­gu­naannya yang masih belum sesuai kaidah. Di buku terbaru berjudul Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira (Diva Press: 2019) ini, kita akan melihat bahwa persoalan ke­ba­hasaan di masyarakat juga me­nyangkut soal kelogisan. Penulisnya, Iq­bal Aji Daryono mengajak kita le­bih mencermati dan “merasakan” sisi logika kita dalam berbahasa. Dari sana, Iqbal menemukan begitu banyak kekeliruan dan kerancuan logika berbahasa yang terjadi di tengah masyarakat kita.

Di awal, Iqbal menyinggung soal bagaimana seharusnya kita menyi­kapi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Selama ini, tak sedikit orang menyalahkan penggunaan se­buah kata karena dianggap tak sesuai KBBI. Padahal, kebenaran dalam ber­bahasa Indonesia bukan ditentu­kan oleh KBBI, melainkan dari ke­sep­akatan masyarakat penutur baha­sa Indonesia. Tugas Badan Bahasa ada­lah merangkum kesepakatan-ke­sepa­ka­tan itu dan membuat stan­dar-standar, sehingga muncul apa yang kita kenal dengan KBBI. “Pen­dek kata, KBBI bertugas me­nam­pung, bu­kan menen­tukan,” tulis Iqbal (hlm 37).

Di buku ini, Iqbal mencermati berbagai kerancuan berbahasa yang kerap terjadi di masyarakat. Misal­nya, dari tulisan atau judul berita di media massa, ucapan atau ungkapan langsung di masyarakat, juga dari me­ngamati tulisan-tulisan yang ter­tera di ruang-ruang publik. Dalam sebuah tulisan, penulis memper­soalkan ungkapan: “Kepada Bapak Kepala Dusun, waktu dan tempat kami persilahkan” yang sering diucapkan seorang pembawa acara ketika mempersilakan seseorang yang hendak berbicara atau memberi sambutan dalam sebuah acara.

Penulis melihat, jika kita cermati ungkapan tersebut bermasalah. Sebab, “waktu dan tempat” tidak ber­ada dalam posisi disilakan. Sebe­narnya, yang dipersilakan adalah Bapak Kepala Dusun. Menurut Iqbal, contoh kalimat yang lebih baik adalah, “Bapak Kepala Dusun, kami silakan naik ke mimbar” atau “Kami silakan Bapak Kepala Dusun untuk naik ke mimbar.

Iqbal juga mencermati istilah-is­tilah yang muncul di ruang publik dan media massa. Tanpa terkecuali istilah-istilah yang pernah populer di media sosial. Misalnya, tentang istilah #GantiPresiden yang pernah memanaskan dunia maya jelang Pe­milu beberapa waktu lalu. Kita tahu, ada pihak yang mengatakan bahwa tagar tersebut merupakan bentuk upaya makar, bukan hanya meng­ganti Jokowi, namun juga mengganti lembaga kepresidenan. Namun, menurut Iqbal meski ia mengaku pendukung Jokowi ia tak setuju dengan pendapat tersebut.

Iqbal menilai ungkapan “ganti pre­siden” sesederhana bermakna me­ngganti presiden yang lama de­ngan yang baru. Menurutnya, itu sama dengan ketika seorang ibu ber­kata, “Dimas, ayo sana ganti baju!”, yang bermakna bahwa Dimas harus mengganti baju yang sedang dipakai dengan baju yang lain. “Tidak ada makna dalam kalimat itu bahwa Dimas harus mengganti bajunya dengan sesuatu non-baju, seperti karung goni atau kulit domba,” tulis Iqbal dengan usil (hlm 90).

Saat melihat sebuah spanduk di sta­siun Lempuyungan Yogyakarta yang bertuliskan “Barangsiapa me­la­ku­kan praktik calo maka akan dike­na­kan sangsi”, Iqbal melihat frasa “praktik calo” tak tepat. “Calo” adalah orang­nya, bukan praktik atau tinda­kannya. Jadi, jelas Iqbal, yang tepat adalah “praktik percaloan”. Sedang­kan kata “sang­si” (ragu-ragu) yang te­pat sebe­narnya adalah “san­ksi” (hu­ku­man).

Tulisan-tulisan Iqbal di buku ini memang tidak berangkat dari teori akademis kebahasaan atau aturan ketertiban penulisan ejaan. Penulis lebih cenderung mengedepankan penalaran dan perasaan, serta penga­la­man sebagai editor, redaktur maja­lah, dan penulis artikel populer di me­dia. Renungan-renungan yang di­ha­dirkan Iqbal kadang bernada ber­canda, namun seringkali can­daannya justru memantik kesadaran kita akan pentingnya penalaran dan kelogisan dalam berbahasa Indonesia.***

Al-Mahfud menulis artikel dan ulasan buku di berbagai media massa.

()

Baca Juga

Rekomendasi