Hari Ulos yang Spesial

hari-ulos-yang-spesial

Oleh: Thompson Hs

Hari ulos sudah ada secara nasional sejak Ulos Batak Toba ditetapkan oleh Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA, Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta pada 17 Oktober 2014 sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB) dengan Nomor Registrasi: 15382 G/MPK.A/D. Penetapan dilaksanakan di Museum Nasional Jakarta dengan 6 objek budaya lainnya dari Sumatera Utara, yaitu: Merdang-merdem (Karo), Huda-huda (Simalungun), Berahoi & Serampang 12 (Melayu), Omo Hada (Nias), dan Bola Nufo (Nias).

Penetapan itu juga merupakan hasil sidang dari Tim Ahli WBTB yang selalu berlangsung setiap penetapan objek-objek budaya yang akan lolos dan berpeluang untuk disertifikasi tahun-tahun selanjut­nya. Tentu saja sebelum semua dokumen terkait tersedia di meja tim ahli, kordinasi untuk inventa­risasi dan pencatatan dilakukan oleh sejumlah Badan Pelestari Nilai Budaya (BPNB) sebagai Unit Pelaksana Teknis Ke­menterian Pendidikan dan Kebudayaan Repu­blik Indonesia. Sebuah objek yang lolos untuk disertifikasi memiliki faktor-faktor urgensinya; misalnya rentan menjadi punah, dikenal secara luas, dan lain-lain.

Ulos mungkin sudah dikenal secara luas, khususnya bagi orang Batak. Tiga sub-etnik yang menggu­nakan kata ulos adalah Batak Toba, Angkola, dan Mandailing. Sedang­kan di Karo ada sebutan uis, di Si­ma­lungun disebut hiou, dan di Pakpak – Dairi disebut oles. Namun jenis dan ragam ulos kelihatan lebih banyak pada masyarakat Batak Toba, termasuk penggunaannya secara massif dalam adat dan ritual/upacara. Sedangkan penggunaan ulos secara keseharian hanya bagian dari kecenderungan masa lalu setelah tekstil lebih praktis diguna­kan sebagai penutup tubuh serta perlindungan saat cuaca dingin.

Perayaan Hari Ulos

Setelah mendapat sertifikasi pada tahun 2014 ada sekelompok pen­cinta dan pelestari ulos di Medan mencoba mendeklarasikan Hari Ulos berda­sarkan tanggal penetapan itu. Perayaan pertama dicoba dilak­sana­kan di sebuah hotel di Medan pada tahun 2016 dengan berbagai mata acara seperti pame­ran, loka­kar­ya, stand/merchandise, dan meng­hadir­kan praktik bertenun se­cara langsung dari petenun yang didatangkan dari sekitar Danau Toba.

Pameran menghadirkan sejum­lah koleksi ulos tenunan asli (ge­dhokan) dan kolektornya menjadi salah satu narasumber dalam loka­karya. Loka­karya juga diwarnai de­ngan pertun­jukan playback. Berba­gai stand/merchandise seperti me­ngelilingi suasana di dalam ruangan besar berkapasitas 1.500 orang itu. Ruangan itu adalah Convention Hotel Danau Toba International (HDTI) Medan. Sedang­kan praktik bertenun dapat kita lihat di luar, sebelum masuk ke dalam ge­dung. Empat orang petenun di­tempat­kan di luar gedung dengan bantuan pendingin kipas angin. Me­reka berhenti karena kepanasan dan kipas angin dimatikan oleh operator!

Perayaan Hari Ulos 2016 ber­lang­sung beberapa hari kemudian dengan sebuah seminar di kota lain, tepatnya di kampus Sekolah Tinggi Teologia HKBP dengan mengha­dirkan 2 pembicara utama, yakni: Monang Naipospos dan Sandra Niessen. Melalui dua pembicara ini ulos melalui makna filosofi, keas­lian, dan peran petenun menjadi perhatian utama. Banyak peserta yang hadir dari lingkungan kampus tersebut mendapat pengetahuan khusus tentang ulos yang sesung­guhnya.

Di tahun berikutnya peraaan Hari Ulos tidak ada sama sekali. Namun terkait dengan Program Indone­siana, ulos kembali menjadi perha­tian untuk konstruksi tematiknya di Sumatera Utara. Beberapa kali per­temuan terkait tematik ulos untuk Program Indonesiana dilangsung­kan di Jakarta, Medan, Siborong­borong, dan Tarutung dari tahun 2017. Sehingga terbentuklah sebuah Tim Kuratorial yang akan melak­sanakan Festival Tenun Nusantara dengan kabupaten pelaksananya Tapanuli Utara.

Acara Festival Tenun Nusantara dengan tema Ahu Partonun (Aku Petenun) berlangsung di Tarutung dan Muara, Tapanuli Utara pada 13 – 17 Oktober 2018, dengan berbagai materi (pameran tenun, workshop pengenalan ulos, simposiun nasio­nal tenun nusantara, pelatihan bertenun, opera batak terkait ulos dan petenun, fashion show berbasis ulos, pelatihan warna alami untuk ulos, dan acara pendukung lainnya).

 Melihat dan mengikuti acara Festival Tenun Nusantara di Tapa­nuli Utara pada 2018, perayaan Hari Ulos kelihatannya semakin menjadi perhatian dan memberikan manfaat kepada publik dan pengunjung. Namun Program Indonesiana yang seyogyanya dilaksanakan untuk tiga tahun ternyata terhenti. Sayangnya materi-materi yang terlanjur dinik­mati publik dan pengunjung tinggal ditingkatkan kerapiannya kalau dilangsungkan untuk dua tahun berikutnya. Tapanuli Utara memang satu-satunya kabupaten yang siap menjadi tuan rumah Indonesiana setelah dua kabupaten (Karo dan Samosir) menyatakan tidak siap sebelum pelaksanaan Program Indo­nesiana 2018.

 Dari Samosir ke Medan

Memasuki tahun 2019 ingatan tentang ulos tidak dapat lagi di­abai­kan begitu saja, meskipun setiap hari dalam pesta adat (kelahiran, per­ni­kahan, kematian) selalu digu­na­kan orang Batak dan pada saat se­remonial penyambutan (tamu, pejabat, dll) tidak akan lengkap tan­pa pemberian dan penerimaan ulos.

Gebyar Budaya Nusantara ber­lang­sung di Samosir, tepatnya di kota Pangururan pada 23 – 26 April 2019 lalu, sekaligus sebagai perte­muan 11 BPNB se-Indonesia. Tentu saja dengan judul itu ada penampilan setiap perwakilan propinsi yang dibawahi oleh setiap BPNB dan tuan rumahnya adalah BPNB Aceh – Sumut (wilayah kerjanya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussa­lan dan Sumatera Utara). Berbagai objek budaya dapat terlihat di stand-stand dan pameran.

Secara khusus pameran ulos berlangsung di Aula Gereja Katolik Pangururan dengan jenis/variasi ulos tenunan yang asli dan menarik. Sayangnya pameran ulos di sana belum meluas informasinya. Se­hing­ga pameran yang spesial itu hanya bisa dinikmati pengunjung yang ingin menikmati koleksi-koleksi ulos lama dan terdahulu. Kom­petisi bertenun ulos juga men­jadi informasi yang bagus dalam kesempatan itu. Namun, lagi-lagi karena kurang informasi, ba­nyak peminat hanya mengetahui mata acara Gebyar Budaya Nu­san­tara itu hanya dari sekitar Samosir.

Di Medan muncul informasi Hari Ulos akan diadakan lagi, meskipun panitianya bukan lagi kelompok pen­cinta dan pelestari yang mela­kukan perayaaan 2016. Pelaksa­naannya juga akan pada 17 Oktober 2019. Dari dua rencana tempat pe­laksanaan Hari Ulos 2018, akhirnya berlangsung di Lapangan Merdeka Medan.

Sebelum acara dimulai ada pro­duk-produk berbahan dan ber­mo­tif ulos seperti tas, baju, dan lain-lain ditempatkan di sudut kiri Alun-alun Lapangan Merdeka Medan dan lima foto jenis ulos (sekaligus de­ngan nama donatur) digantung dengan ukuran sederhana dan cetakan. Sete­lah beberapa saat Gubernur Edi Rah­mayani di tempat, iring-iringan “kar­naval ulos” datang dari arah Wis­ma Benteng. Satu per satu foto cetakan ulos itu diperke­nalkan ke hadapan gubernur dan nama-nama donaturnya tercantum di dalam ceta­kan yang gampang di­bawa dalam “karnval ulos” itu.

Ulos terpanjang yang pernah ditunjukan pada Hari Ulos 2016 juga dibanggakan. Ulos sepanjang 500 Meter itu seperti misterius sejak 2016. Motifnya meniru ulos yang massif, yakni motif ulos sadum. Siapakah pembuat ulos sepanjang itu hingga disebut-sebut sudah men­dapat rekor MURI? Dapat diba­yangkan ulos sepanjang itu tak mung­kin ditenun seperti ulos yang benar-benar ditenun oleh tangan petenun.

Ada tiga jenis alat tenun untuk ulos yang dikenal sebagai alat tenun tradisi (gedhokan), alat tenun bukan mesin (ATBM), dan alat tenun me­sin. Yang terakhir sudah ada di Bali­ge, kabupaten Tobasa sejak tahun 1930-an bersamaan dengan mun­culnya percetakan di sekitar­nya.

Dengan hadirnya mesin, ulos dan sarung sudah dapat dicetak di Balige dan sekitarnya. Kadang ulos dari Ba­li­ge sekitarnya ada yang meru­pakan gabungan hasil tenunan tangan asli dengan hasil mesin. Misalnya pinggiran ditenun oleh mesin dan bagian dalam sudah ada yang khusus dari petenun tradisi yang masih menggunakan alat manualnya atau ATBM.

Dari Tarutung ke Siantar

Para petenun tradisi masih dapat dijumpai juga di Balige sekitarnya, selain di Muara, Pulau Sibandang, Samosir, dan Tarutung, Namun Tarutung dengan spesifikasi ulos­nya cenderung kepada modifikasi (motif ulos Batak dengan suji Palembang) dan pasarnya tidak kalah bersaing sampai ke kota-kota besar di Indonesia. Mengingat kekhasan tenun dari Tarutung kadang pembeli dan pengguna ulos tradisi akan sia-sia datang ke Tarutung pada hari pekan atau ke toko-toko ulos di sana. Citra Petenun ulos tradisi cenderung di Muara, Pulau Sibandang, dan Silalahi-Paropo (Dairi).

Ulos-ulos juga mulai menyala warnanya di toko-toko ulos di Tarutung dengan asesori-asesori tambahan. Kadang semua ulos itu katanya bukan produk dari Tarutung Namun datang dari Siantar. Di Siantar banyak ditemukan petenun dengan ATBM dan sehari pete­nunnya dapat memroduksi ulos bermotif masif dan yang menyala itu untuk 10 helai. Kemudian diantar ke toko grosirnya. Ulos-ulos ber­motif masif dan menyala itu dijual untuk para pelaku adat dan dapat dijual kembali seusai pesta dengan harga yang ditentukan pengumpul.

Di dunia entertainer juga ulos merupakan bahan yang bisa digun­ting untuk mode. Semangat kebang­kitan penggunaan ulos sesung­guhnya bukan hanya karena adanya Hari Ulos. Namun tergan­tung ke­butuhan penggunanya untuk kon­teks bisnis dan eksperimen juga. Jenis ulos yang awalnya banyak di­gunting untuk mode adalah yang bemorif massif dan menyala. Kemudian berkembang menggu­nakan jenis lainnya.

Ulos yang bermotif massif dan menyala itu juga menandai kese­marakan pada Hari Ulos 2019. Ulos yang benar-benar ditenun belum menjadi sesuatu yang spesial di Hari Ulos, karena pemiliknya sudah mulai langka, harganya semakin mahal, dan petenunnya kemung­kinan besar lebih tertarik memenuhi pesanan desainer dan kolektor. Ulos juga ternyata masih sulit difung­si­kan kembali untuk keseharian, adat, ritual, dan upacara karena nilai tak benda (intangible)-nya sudah mustahil lagi tergantung pada cara-cara tradisional. Namun tergantung teori pragmatisnya saja.

Suatu saat ulos akan semakin mendunia dan diakui Unesco se­bagai warisan dunia. Sehingga ulos bisa seperti batik. ***

Penulis adalah Direktur PLOt Siantar dan Pendiri Toba Writers Forum (TWF)

()

Baca Juga

Rekomendasi