
Oleh: Sagita Purnomo
Kesadaran mayoritas masyarakat Indonesia akan kelestarian lingkungan hidup masih sangat rendah. Berbagai sosialisasi tentang bahaya sampah/limbah plastik gencar dilakukan baik dalam lingkup nasional maupun internasional, semua itu belum mampu meningkatkan kepedulian akan kelestarian lingkungan di masa depan. Sampai saat ini, masih banyak masyarakat baik di kota maupun desa hobi membuang sampah secara sembarangan. Selokan/parit, sungai, lahan kosong, bahu jalan, lahan milik tetangga, merupakan tempat favorit kebanyakan orang Indonesia membuang sampah. Sungguh ironis melihat fakta banyaknya masyarakat yang membuang sampah sembarangan dibandingkan memasukkannya di tempat sampah yang tersedia.
Kompleksitas masalah sampah dalam negeri semakin diperparah dengan banjirnya sampah impor yang marak masuk ke Indonesia baru-baru ini. Sampah impor ke Idonesia semakin memperkuat stigma bahwa di mata internasioal, negara ini ibaratkan tong sampah raksasa yang siap menampung limbah dari berbagai penjuru dunia. Untuk urusan dalam negeri, Indonesia sudah sangat kualahan dalam pengelolaan limbah, terutama sampah plastik. Lantas dengan hadirnya sampah impor ini tentu akan semakin mempercepat “proyek pembangunan tong sampah raksasa di Indonesia”.
Kehadiran limbah plastik impor disebabkan oleh beberapa faktor, pertama negara-negara pengekspor sampah seperti Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Hong Kong dan Amerika Serikat telah kualahan dalam mengelolah sampah plastiknya sendiri. Kedua tingginya permintaan impor dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Ketiga kebijakan pemerintah Tiongkok di tahun 2017 yang menolak impor scrap kertas dan plastik yang bercampur limbah B3. Inilah yang mengakibatkan dalam beberapa waktu terakhir beberapa negara di Asean seperti Kamboja, Indonesia, Malaysia dan Filipina kebanjiran limbah plastik impor.
Mencengangkan
Belum lama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, mengirim kembali ratusan kontainer yang berisi limbah (mayoritas botol pelastik bekas) impor yang masuk ke pelabuhan Batam dan Kepulauan Riau ke negara asalnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi dampak pencemaran lingkungan akibat masuknya sampah plastik yang terkontaminasi B3 dalam kontainer sampah impor tersebut. Sampai saat ini, KLHK terus berkoordinasi dengan Bea dan Cukai untuk menyelesaikan ratusan kontainer limbah impor lainnya.
Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) dan Limbah non B3 KLHK, Ahmad Gunawan Widjaksono, mengatakan bahwa selama periode April hingga Agustus 2019, KLHK menemukan sebanyak 318 kontainer berisi sisa material plastik tercampur limbah B3. Ia menjelaskan ratusan kontainer berisi sampah plastik yang terkontaminasi limbah B3 tersebut diamankan petugas dari berbagai daerah yaitu Pelabuhan Batu Ampar, Batam sebanyak 186 kontainer dan di Kawasan Berikat Banten132 kontainer “Total ada 882 kontainer berisi skrap plastik dan skrap kertas, namun baru 772 yang diperiksa dan 318 di antaranya mengadung limbah B3,” katanya.
Ia menambahkan banyaknya importir di tanah air yang masih tergantung dengan limbah impor sebagai bahan baku. Padahal, di Indonesia sendiri sangat banyak bank sampah yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku. Hal tersebut jauh lebih efektif dan efesien karena selain menguntungkan masyarakat lokal, peredaran limbah B3 juga dapat diantisipasi dengan mudah.”Harusnya memaksimalkan sampah yang ada di dalam negeri sebagai contoh bank sampah. Jika terus seperti ini target zero impor sampah akan sulit dicapai dalam waktu singkat. Namun, tidak tertutup kemungkinan apabila importir tanah air mampu mandiri dan tidak tergantung dengan negara lain,” jelasnya. (republika.co.id).
Masuknya sampah (plastik) impor yang terkontaminasi limbah B3 tentu sangat mengejutkan, mengingat negara kita sudah memiliki aturan tegas jelas akan hal ini yaitu dalam Permendag Nomor 31/M DAG/PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun. Pada pokoknya Permendag ini menyebutkan bahwa impor limbah tetap diperbolehkan selama itu tidak mengandung B3. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana bisa ratusan kontainer limbah impor B3 dapat dengan mudahnya masuk dan lolos pemeriksaan di pelabuhan? Apakah pihak bea cukai tidak melakukan pemeriksaan secara selektif hingga kecolongan?
Swasembada Sampah?
Persoalan sampah impor sungguh sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, berdasarkan data di atas kertas dan fakta lapangan menunjukkan bahwa saat ini Indonesia telah mencapai swasembada sampah. Berdasarkan data KLHK tahun 2018, jumlah timbulan sampah secara nasional mencapai 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun. Jika diasumsikan setiap orang di Indonesia menghasilakan sebanyak 0,7 kg sampah per hari. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, menerangkan rata-rata timbulan sampah harian di kota metropolitan (jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa) dan kota besar (jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa) masing-masing adalah 1.300 ton dan 480 ton.
Dilihat dari komposisinya, jenis sampah yang paling dominan dihasilkan di Indonesia adalah organik (sisa makanan dan sisa tumbuhan) sebesar 50%, sampah plastik sebesar 15%, dan kertas sebesar 10%. Kemudian, sisa sampah lainnya adalah logam, karet, kain, kaca dan lain-lain. Sementara dari sisi sumbernya, yang paling dominan berasal dari rumah tangga (48%), pasar tradisional (24%), dan kawasan komersial (9%). Sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, jalan dan sebagainya. (Bisnis.com).
Sementara untuk tingkat internasional, Indonesia berada di peringkat yang sangat menjanjikan untuk urusan sampah. Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia sebagai penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina sebesar 262,9 juta ton. Berada di urutan ketiga adalah Filipina yang menghasilkan 83,4 juta ton sampah, diikuti Vietnam yang mencapai 55,9 juta ton, dan Sri Lanka sebanyak 14,6 juta ton per tahun.
Mengingat produksi sampah khususnya sampah plastik di Indonesia sangat tinggi dan subur, sebaiknya pemerintah membuat kebijakan tegas untuk menghentikan impor sampah plastik apapun jenisnya (walau tidak terkontaminasi B3). Jangan sampai kepentingan segelintir pengusaha yang mendatangkan sampah dari luar negeri justru memberi dampak buruk dan semakin memperparah masalah persampahan di Indonesia. Para pengusaha harus memanfaatkan potensi swasembada sampah Indonesia yang sangat berlimpah. Baik secara kualitas dan kwantitas, sampah plastik lokal tidak kalah dengan internasional. Lihat saja bagaimana buruknya kondisi sebagian laut kita yang tercemar akibat sampah plastik. Ini menjadi bukti autentik yang menunjukkan bahwa limbah plastik Indonesia sangat efektif dalam merusak lingkungan.***
Penulis adalah Alumni UMSU