
Oleh: Jones Gultom
PRESIDEN Jokowi didampingi Wakil Presiden Ma’aruf Amin resmi mengumumkan nama-nama menteri yang akan membantunya menjalankan pemerintahan untuk periode keduanya. Nama-nama itu dibacakan Presiden Jokowi, Rabu 23 Oktober lalu. Terjawablah teka-teki dan rasa penasaran publik, terrmasuk kepastian Partai Gerindra berkoalisi dengan pemerintah.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto didapuk menjadi menteri pertahanan. Prabowo menggantikan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu. Sedangkan wakilnya di partai itu, Edhy Prabowo, menjadi menteri kelautan dan perikanan menggantikan Susi Pudjiastuti.
Bergabungnya Partai Gerindra dalam kabinet Indonesia Maju itu, menciptakan konstelasi politik baru di tanah air. Selama ini Partai Gerindra merupakan pemimpin koalisi partai yang beroposisi dengan pemerintah. Dalam perjalanannya sebagai partai oposisi itu, Partai Gerindra dikenal getol mengkritik pemerintahan. Kader-kadernya, salah satunya Fadli Zon, cukup populer mengkritisi pemerintahan Jokowi. Dan kini, Partai ini pun memutuskan bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Dalam politik, merubah haluan merupakan hal biasa dilakukan parta-partai. Adalah sesuatu yang lumrah partai oposisi berubah menjadi partai koalisi pemerintah. Tidak ada yang istimewa. Semata-mata hal itu merupakan strategi untuk mendapatkan kekuasaan sebagaimana tujuan politik itu sendiri.
Menjadi oposisi sekalipun sebenarnya juga untuk memperoleh kekuasaan. Kekuasaan untuk mengkritik pemerintah secara legitimate. Oposisi dan koalisi dalam terminologi kekuasaan sebenarnya sama saja. Sama-sama untuk mendapatkan posisi yang orientasinya kekuasaan.
Dalam negeri demokrasi seperti Indonesia, kelompok oposisi punya kekuatan politik yang besar. Di parlemen mereka punya peranan “mengendalikan” jalannya pemerintahan. Malah terkadang, peran kelompok oposisi ini terasa lebih nyata. Karenanya, saya merasa keputusan Prabowo menerima jabatan itu merupakan sesuatu yang lumrah.
Apalagi Gerindra, sejak didirikan pada 2008 lalu, belum pernah merasakan kursi di pemerintahan. Di sisi lain, sebagai pendiri dan Ketua Umum Gerindra, Prabowo juga sudah 3 kali gagal menjadi RI 1, realitas ini harus dibayar mahal. Partai Gerindra harus tetap berdiri. Salah satunya dengan menghirup udara baru, dengan menjadi koalisi pemerintah.
Menjadi koalisi di pemerintahan Jokowi jilid II adalah pilihan yang sangat rasional untuk Gerindra. Gerindra memerlukan suasana baru setelah 11 tahun mengambil peran yang kontra. Jika pilihan itu diteruskan, bukan tidak mungkin hanya akan blunder. Lagipula, realitas politik yang dibangun partai-partai dewasa ini, tidak terlalu memperlihatkan oposisi yang hitam-putih.
Oposisi dan Pemilu 2024
Begitu Partai Gerinda menyatakan berkoalisi dengan pemerintah, pertanyaan sederhana publik adalah siapa yang akan menjadi oposisi. Memang, sejauh ini partai PKS yang telah menyatakan kukuh di posisinya. Sebagai partai solid, PKS sangat diperhitungkan dalam konstelasi politik Indonesia. Sejak kelahirannya 1998 lalu, partai ini mencuri perhatian karena setahun sesudah berdiri, PKS yang masih menggunakan Partai Keadilan sudah mampu meraup kurang lebih 1,5 juta suara di Pileg 1999. Partai ini dikenal militan dengan sistem pengkaderannya yang rapi.
Namun agaknya PKS tidak sendiri. Analisis sederhananya, partai-partai yang nantinya beroposisi itu sangat memungkinkan adalah partai-partai yang kadernya tidak masuk dalam kabinet Jokowi jilid II. Antara lain dua partai besar, yakni Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Bisa saja kedua partai ini menggaet partai-partai lain yang juga tidak dilibatkan dalam kabinet. Mereka akan merebut posisi di Pemilu 2024 mendatang.
Seperti kita tahu bersam, Pemilu 2024 adalah sejarah baru di Indonesia. Pemilu ini akan berlangsung secara serentak di hari yang sama, mulai dari Aceh sampai Papua. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan pada Pemilu 2024 adalah realitas pemilih itu sendiri. Seperti kita tahu, pada kurun waktu itu, Indonesia akan memasuki bonus demografi. Pemilih-pemilih tua yang selama ini diikat dalam fanatisme tertentu itu, akan pensiun. Mereka digantikan oleh pemilih-pemilih muda yang progresif dan tak punya beban sejarah.
Pemilih muda ini adalah mereka yang kini kita kenal sebagai generasi Z, kelanjutan dari generasi millenial. Mereka adalah generasi yang sepenuhnya hidup di alam teknologi informasi tanpa batas. Mereka adalah “generasi langit” yang sering terasa tak berpijak di bumi. Mereka adalah orang-orang cerdas yang tak suka memelihara hal-hal sentimentil dan melankolis. Mereka hidup di zaman percepatan mengimbangi laju mesin dan kerja-kerja robotik.
Citra itu pula yang kemarin coba didesain Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sayang mereka juga tidak mampu menangkap fenomena itu sepenuhnya. Meski berusaha mencitrakan diri sebagai partainya anak muda, anak-anak millenial, namun kenyataannya mereka masih terjebak dengan memori-memori lama. Misalnya, dari sisi pemilihan nama yang kurang mencerminkan konstruksi politik yang coba mereka bangun.
Pada 2024 nanti, generasi millenial sekarang bergeser menjadi pemilih dewasa yang sebagian di antaranya berusia 40 tahun. Sebaliknya, generasi Z yang sekarang ini berusia kurang lebih 17 tahun akan mengisi panggung utama. Jika dirangkul serius, mereka tidak lagi dalam posisi swing voters, namun penentu arah politik sesungguhnya. Realitas itulah yang mengharuskan partai-partai harus melebarkan sayapnya.
Saya membayangkan kontestasi politik 2024 dan setelahnya akan sangat dinamis. Mulai dari kampanye sampai adu gagasan. Saya membayangkan ada kegembiraan politik dalam berbagai ekspresi. Saya pun membayangkan para kontestan akan ditinggalkan bila ia masih menggunakan pola-pola lama dalam memobilisasi massa. Sebaliknya, kontestan yang tahu bergaul dalam bahasa dan pola pikir anak muda, akan banjir dukungan.
Mereka adalah orang-orang yang mampu memformulasikan keinginan anak-anak muda. Mereka adalah orang-orang yang menyadari bahwa anak-anak muda bukanlah orang yang gampang dijanjikan. Mereka adalah orang-orang yang sadar betul dengan kristisme anak-anak muda.
Mereka adalah orang-orang yang menyadari kekuatan anak-anak muda. Intinya, pada 2024 mendatang, siapapun kontestannya harus berhadapan dengan generasi yang kritis, imajinatif dan inovatif, namun tetap rasional. ***
Penulis adalah, jurnalis dan pekerja seni.