
Oleh: Roy Martin Simamora.
Dalam esai “Notes on Nationalism” karya George Orwell ditulis setelah Perang Dunia II pada 1940-an ia mengambarkan bahwa nasionalisme pada saat yang sama bisa jadi “baik” dan “buruk.” Orwell menuliskannya dengan cukup meyakinkan dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam kepala saya: Bagaimana kita secara sadar atau tidak sadar membodohi diri sendiri? Bagaimana kita mempertahankan ide-ide yang “buruk” atau berbicara tentang keburukan kita dengan memuji mereka sebagai kebajikan sementara mengutuk orang lain untuk hal yang sama?
Bagaimana kita memandang orang kulit putih lebih baik daripada warna kulit yang lain? Bagaimana kita melihat lelaki lebih baik daripada perempuan? Bagaimana kita terlalu mengagungkan budaya sendiri dan menganggap budaya orang lain lebih rendah? Saya pikir disitulah letak masalahnya. Ini adalah konsep usang bermasalah yang tertanam dalam kepala cukup lama dan harus segera ditinggalkan. Seharusnya kita bisa lebih baik dari itu. Melihat dari spektrum yang luas bahwa cara memandang atau berpikir kitalah yang barangkali harus dibenahi.
Esai Orwell, bagi saya, sangat universal dan tetap relevan sebagai cerminan peristiwa terkini pada masyarakat pascaperang atau pascakolonial, terutama bagi Indonesia dilanda krisis kemanusiaan. Dalam esai itu, Orwell mendedah pemikirannya tentang nasionalisme. Ia memisahkan sentimen nasionalisme menjadi tiga kelompok: positive nationalism (cinta seseorang terhadap negara), negative nationalism (kebencian seseorang terhadap "orang lain" yaitu ancaman dan entitas asing yang digerakkan oleh semangat nasionalisme), dan transferred nationalism (merasa nasionalistis terhadap yang lain bangsa, budaya, dan peradaban).
Orwell mencoba untuk mengisolasi dan mengidentifikasi dan memutarbalikkan pemikiran kita. Pertama-tama, seseorang tidak memiliki hak untuk berasumsi bahwa setiap orang, atau bahkan setiap intelektual, terinfeksi oleh nasionalisme. Kedua, nasionalisme dapat bersifat intermiten dan terbatas. Ketiga, kredo nasionalistis dapat diadopsi dengan itikad baik dari motif nonnasionalistik. Keempat, beberapa jenis nasionalisme, bahkan dapat hidup berdampingan pada orang yang sama.
Kemudian, hal pertama yang saya bayangkan tentang nasionalisme adalah ia sebuah konsep yang cukup sulit dipahami karena berbeda tiap Negara. Nasionalisme bergantung pada bagaimana komunitas mendefinisikan dirinya sendiri dan apa yang dianggap oleh mereka sebagai “nasional.” Orang Indonesia, misalnya, memandang nasionalisme adalah kesetiaan dan pengabdian terhadap bangsa dan negara. Rela mati demi bangsanya. Atau, dalam penekanan yang lain: meninggikan bangsa sendiri di atas yang lainnya dan menempatkan penekanan utama pada promosi budaya dan kepentingannya sebagai lawan dari bangsa lain atau kelompok supranasional.
Setelah menuntaskan esai itu, saya merasa nasionalisme adalah sesuatu yang agak ketinggalan zaman. Senada dengan Ariel Heryanto dalam sebuah esai berjudul “Pelesetan Nasionalisme” (21 Mei 1994) di Tempo. Ia mengatakan “Tanpa internasionalisme, nasionalisme menjadi chauvinism. Yakni nasionalisme sempit yang hanya membela bangsa sendiri dan bukan kedaulatan semua bangsa di dunia. Menganggap nasionalisme bangsa lain sebagai ancaman, separatisme, ekstrem, kiri-kanan merupakan pelecehan nasionalisme versi UUD 1945.”
Saya pikir, semua bentuk nasionalisme haruslah memiliki dua prinsip yang sama: pertama, bahwa anggota bangsa, dipahami sebagai sekelompok warga negara yang setara dengan sejarah bersama dan nasib politik masa depan, harus menguasai negara. Kedua, yang harus mereka lakukan demikian untuk kepentingan bangsa. Yang “berbahaya” bila nasionalisme mulai melibatkan ketidaktahuan akan fakta, dan juga penaklukan terhadap orang lain—itu menjadi alat kejahatan yang mengerikan. Atau, memaksa orang lain agar seragam dengan kita padahal setiap orang sangat beragam. Bukankah tiap orang punya cara sendiri mendefenisikan nasionalisme? Itu didasarkan pada memori dan pengalaman yang bersentuhan langsung dengannya.
Memang, secara konsep nasionalisme memang tidak sepenuhnya buruk, tetapi cenderung menghasilkan beberapa hasil yang cukup mengerikan di mana orang-orang biasa merasa terdorong untuk percaya pada hal-hal yang tidak sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah, banyak di antaranya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang melibatkan banyak penderitaan.
Bila Ariel Heryanto bilang “…nasionalisme menjadi chauvinism,” Orwell mengatakan nasionalisme bisa menciptakan tribalism. Dalam artian luas, Orwell berpendapat nasionalisme bisa termasuk gerakan dan kecenderungan seperti Komunisme, Katolik politik, Zionisme, Antisemitisme, Trotskisme, dan Pasifisme. Menurutnya, nasionalisme tidak selalu berarti kesetiaan kepada pemerintah atau negara, apalagi ke negara sendiri. Beberapa contoh nyata: Yahudi, Islam, Kristen, Proletariat dan ras kulit putih semuanya adalah “objek perasaan nasionalis” yang penuh gairah, tetapi keberadaan mereka dapat dipertanyakan secara serius, dan tidak ada definisi dari mereka yang akan menjadi diterima secara universal.
Orwell menegaskan kita bisa dengan mudah menemukan perilaku kelompok yang identik dalam lanskap kita saat ini terhadap model-model pemikiran yang berlawanan pada saat yang sama sangat mirip karena mereka semua mengikuti definisi persis yang disarankan Orwell. Ada tiga karakteristik prinsip pemikiran nasionalis: Obession: melihat keunggulan unit kekuasaannya tidak peduli seberapa jauh kelihatannya bagi seorang non-nasionalis, Instability: dukungan penuh untuk unit kekuasaan kuat, tetapi dapat dipindahtangankan, karena itu adalah keadaan pikiran absolut bahwa kaum nasionalis tetap loyal, bukan kepada objek pemujaan yang spesifik. Indifference to Reality: karena ada kebenaran yang lebih besar dalam ide nasionalis daripada bukti aktual, sejarah dapat ditafsirkan kembali atau ditulis ulang sesuai dengan kebutuhan saat ini, tanpa keraguan apa pun. Pendeknya: loyalitas yang "lebih besar" yang berkuasa.
Orwell menjelaskan dari awal: keprihatinannya jauh melampaui politik. Apa yang ia sebut “nasionalisme” adalah konsep yang sulit dipahami termasuk gereja, segala rasisme dan ekstremisme sosial, intelektualisme intoleran, bahkan pasifisme politik ketika mulai membedakan antara “baik” dan “buruk,” “musuh” dan “teman,” “kita” dan “mereka.” Kata “nasionalisme” semacam itu dapat mendukung maupun melawan apa pun; ia dapat mengambil arah apa pun yang dapat dibayangkan dan tanpa henti mengubah objek pemujaannya: "Apa yang tetap konstan dalam diri kaum nasionalis adalah keadaan pikirannya sendiri; objek perasaannya dapat berubah, dan mungkin imajiner."
Singkatnya, Orwell membayangkan nasionalisme adalah kebiasaan untuk menganggap bahwa manusia dapat digolongkan seperti serangga dan bahwa seluruh blok jutaan atau puluhan juta orang dapat dilabeli baik atau buruk dengan mudah. Ia juga mengatakan nasionalis akan menunjukkan sensitivitas yang luar biasa tentang hal-hal seperti tampilan bendera yang benar, ukuran relatif dari tajuk berita, dan cara-cara penyebutan nama Negara. Nasionalis, umumnya akan mengklaim bahwa negerinyalah yang paling unggul, tidak hanya dalam kekuatan militer dan kebajikan politik, tetapi dalam seni, sastra, olahraga, struktur bahasa, keindahan fisik penghuninya, dan mungkin dalam hal yang paling konyol: iklim, pemandangan, dan memasak.
Saya nukil perkataan Orwell yang layak direnungkan: "Nasionalis tidak hanya menyetujui kekejaman yang dilakukan oleh pihaknya sendiri, tetapi dia memiliki kapasitas yang luar biasa bahkan tidak mendengar tentang mereka." Saya akhirnya mengerti jika seorang nasionalis yang buta dan fanatik, akan lebih mudah mengendalikan emosinya dan membuatnya mengikuti aturan meskipun dengan cara-cara kejam. Salah satu contoh negative nationalism dari pemimpin buruk, yaitu: Hitler, Mussolini Italia dan pemimpin-pemimpin kejam lainnya. Seorang nasionalis akan mulai berpikir bahwa orang-orang di sekitarnya jauh lebih buruk daripada yang lain dan kehidupan orang lain tidak begitu penting dan akan melakukan apa pun yang diinginkan oleh pemerintahnya.
Mengarah ke Fasisme
Sejarah telah membuktikan bahwa nasionalisme berlebihan menyebabkan perang dan dapat mengarah ke fasisme. Orwell mengatakan bahwa nasionalisme adalah “the worst enemy of peace.” Menurutnya, nasionalisme adalah perasaan bahwa satu negara lebih unggul dari yang lain dalam segala hal, sementara patriotisme hanyalah perasaan kekaguman terhadap cara hidup. Konsep-konsep ini menunjukkan bahwa patriotisme bersifat pasif dan nasionalisme dapat menjadi sedikit agresif.
“Nationalism is not to be confused with patriotism,” tambahnya. Orwell dengan fasih menjelaskan konsep nasionalisme yang berbahaya, tentang bagaimana ia tidak harus disamakan dengan patriotisme. Dia menganalisis karakteristik utama pemikiran nasionalis, berbagai bentuknya dan pada saat yang sama, mengadvokasi gagasan patriotisme, cinta murni dan tulus dari negara atau ide seseorang. Menurutnya, setiap orang harus menarik garis perbedaan di antara keduanya, karena dua ide yang berbeda dan bahkan berlawanan seringkali dilibatkan.
Orwell berpendapat “patriotisme” adalah pengabdian pada tempat tertentu dan cara hidup tertentu, yang diyakini orang sebagai yang terbaik di dunia tetapi tidak memiliki keinginan untuk memaksakan pada orang lain. Patriotisme bersifat defensif, baik secara militer maupun budaya. Sedangkan nasionalisme, di sisi lain, tidak dapat dipisahkan dari keinginan akan kekuasaan. Tujuan tetap dari setiap nasionalis adalah untuk mendapatkan lebih banyak kekuatan dan prestise, bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk bangsa atau unit lain di mana ia telah memilih untuk menenggelamkan individualitasnya sendiri.
Sejatinya, orang patriotik cenderung mentolerir kritik dan mencoba mempelajari sesuatu yang baru darinya, tetapi seorang nasionalis tidak dapat mentolerir kritik apa pun dan menganggapnya sebagai penghinaan. Seorang patriot percaya bahwa negaranya adalah yang terbaik dan dapat meningkatkan diri dengan banyak cara tanpa memandang sepele bangsa lain. Bukan pula dengan menghembuskan kebencian ras, xenophobia, etnosentris, dan semacamnya.
Pada akhirnya, patriotisme adalah kepercayaan bahwa bangsa harus merasa bahagia menjadi anggota bangsa tersebut, dan tidak harus bersifat politis. Patriotisme sejati sebagai bentuk cinta untuk negara, tetapi pada saat yang sama menghargai orang-orang antar bangsa, berbeda latarbelakang, status dan semua budaya yang ada di dalamnya.***
Penulis adalah dosen PSP ISI Yogyakarta.