Kue Mengenang Masa Kecil

kue-mengenang-masa-kecil

MENGONTRUKSI ingatan masa lalu bisa dilakukan lewat beragam cara. Salah satunya dengan menyan­tap kue masa kecil. Bagi mereka yang pada 1970-an berusia 10 tahun, tentu akrab dengan kue nyonya atau jajanan pasar seperti ang koo (angku), huat kuih, bengka, kuih lapis, kuih talam, sago lapis, dsb.

Kue nyonya penang seperti ini sejatinya juga terdapat di negara kita, bahkan masih mudah ditemui sampai kini. Mungkin dengan varian nama sedikit berbeda. Di negara kita kue nyonya dikenal juga sebagain kue basah.

Di Penang, salah satu kedai kue nyonya yang tergolong legendaris adalah Moh Teng Pheow, terletak di Jalan Mesjid (Chulia St), Kawasan George Town. Usaha kue nyonya itu dirintis Moh Teng Pheow sejak 1933. Saat itu ia berusia 27 tahun.

Menurut putra kedua Moh Teng Pheow, Mook Hian Beng (67), yang kini meneruskan usaha orang tuanya, ayahnya berasal dari Hainan, Tiong­kok Selatan. “Ayah saya datang ke Penang saat berumur 9 tahun, langsung bekerja membantu seorang nyonya pembuat kue nyonya,” tuturnya saat ditemui di kedainya, Jumat (20/9).

Moh Teng Pheuw membantu usaha dagang kue nyonya tersebut selama 18 tahun. Pada 1933, saat berumur 27 tahun, ia dipercaya si nyonya untuk meneruskan usaha itu. Maklum saat itu, nyonya majikannya sudah makin uzur, sedang Moh Teng Pheow masih muda dan bersemangat.

Pada masa jayanya sampai era 1980-an, ada 30 jenis lebih kue nyonya buatan Moh Teng Pheow yang digemari pelanggannya. Ia memiliki 50 - 60 pedagang kue keliling yang menjaja kue nyonya buatannya. Para pedagang ini membeli secara tunai kue-kue tersebut. Menggunakan keranjang kue, mereka memikul dagangan ke tempat-tempat keramaian dan dari rumah ke rumah.

Para pedagang pengecer itu adalah orang-orang India. Sejarah mereka terekam pada dua buah lukisan yang diabadikan di dinding kanan dan kiri pintu masuk kedai Moh Teng Pheow sejak 2013. Lukisan di sebelah kiri menggambarkan seorang pedagang India tengah berjalan memikul keranjang kue nyonya.

Pedagang itu mengenakan sandal jepit. Sedang lukisan di sebelah kanan menggambarkan si pedagang tengah jongkok dengan keranjang kue yang terbuka, memerlihatkan aneka kue nyonya. Si pedagang juga digambar­kan tengah mengaduk-aduk dandang yang mengeluarkan uap di atas tungku. Mungkin ia juga berjualan minuman khas peranakan.

Lukisan memang bukan sekadar gambar indah tentang sebuah objek yang dilukis seniman. Lukisan juga bisa mewakili penggalan narasi sejarah keberadaan kue nyonya di Penang. Sekaligus bisa merawat ingatan kolektif para pencinta kue nyonya Moh Teng Pheow pada zaman sebelum kereta angin meng­am­bil­alih teknik berdagang kue nyonya pada era berikutnya.

Aksara Sho

Ragam kue nyonya itu, menurut Mook, tak bakalan ditemukan di negri Tiongkok. Kue angku merupakan kue lokal yang telah mengalami akulturasi saat diolah nyonya peranakan Tionghoa. Semisal diberi variasi hiasan cetakan aksara Mandarin sho, artinya umur panjang.

Orang Tionghoa memang dikenal sebagai masyarakat yang sarat dan percaya dengan legenda, mitos, dan berbagai simbol. Kue itu awalnya digunakan keluarga peranakan Tionghoa untuk merayakan 1 bulan umur bayi mereka.

Saat itu biasanya para tetangga datang menjenguk ke rumah sembari memberi angpao. Sebagai tanda terima kasih, pihak tuan rumah memberi ang koo merah. Namun fungsi angku juga bisa diganti dengan nasi kunyit atau nasi kuning. Makna­nya sama, yakni harapan agar anak mereka kelak bisa berumur panjang.

“Bentuk kue angku yang diberikan ke tamu tergantung jenis kelamin bayi,” ujarnya. Jika bayi itu laki-laki, bentuk angku-nya bulat dan tak bergaris. Sedangkan jika bayi perempuan, bentuknya seperti bunga dan bergaris-garis. Namun tradisi memberi kue angku sudah tak berlaku lagi sekarang.

“Sekarang mungkin orang tua sudah kasih Kentucky atau McD,” ujarnya sembari tergelak. Kedai Moh Teng Pheow tak melulu menjaja kue nyonya. Juga menyediakan beberapa jenis masakan nyonya. Di samping berbagai jenis minuman.

Menyesuaikan tuntutan konsumen, kue angku kini juga ada yang hijau pandan. Mereka juga membuat piza vegetarian, khusus menyambut bulan kesembilan kalender Lunar. Pada bulan itu, umat Buddha selama 15 hari hanya menyantap kuliner vegetarian. Piza vegetarian diantar ke outlet vegetarian yang terdapat di sejumlah plaza di Penang.

Pada hari-hari biasa, turis yang datang ke kedai itu mencapai 100 orang. Namun saat Minggu, bisa melonjak 300 – 400 orang. Mereka umumnya turis Tionghoa dari Singapura, Hong Kong, dan Indonesia. Turis bule ada, namun tak banyak.

Uncle Liem

Kue nyonya lain yang cukup banyak diburu turis adalah popiah kulit uncle Liem yang terletak di Pasar Chowrasta, yang dulunya banyak dihuni komunitas Tamil. Chowrasta adalah pasar tradisional yang banyak diburu turis untuk membeli oleh-oleh kerajinan, kaus, sampai makanan jalanan.

Kue popiah adalah kulit dari adonan gandum yang setelah diaduk digoreng tanpa minyak di atas wajan. Proses pembuatannya mirip membuat kulit martabak telur. Isinya kacang tumbuk, bisa juga manisan. Tergan­tung selera pembeli.

Namun popiah juga bisa diisi cincangan sayur mayur seperti wortel, rebung, atau bahkan daging sapi. Kue ini ada yang digoreng, ada yang dikukus. Untuk menyantapnya, yang berisi sayur atau daging, biasanya diolesi saus cabai atau saus kacang hitam.

“Usaha kami sudah buka sejak 1954. Saat ini tak banyak lagi kue popiah handmade di Penang,” ujar Jeremy. Pria muda ini adalah menantu dari cucu anak pertama Uncle Liem. Nama asli uncle Liem sendiri adalah Liem Kim Ho. Namun masyarakat Penang lebih mengenalnya sebagai Uncle Liem. Sekarang ini diperkira­kan tinggal 3 - 4 pedagang yang menekuni bisnis tersebut.

Jeremy menjamin, popiah mereka berasal dari tepung gandum berkua­litas dan ekspor, juga kualitas kacang tumbuknya. “Juga tidak mengguna­kan bahan pengawet,” katanya. Sebuah spanduk dipajang di kedai itu. Isinya foto-foto turis bule dan Asia yang pernah mampir. Termasuk foto Ketua Mentri Pulau Pinang, Chow Kon Yeow.

Selain melayani pembeli secara eceran yang buka pukul 07.00 - 12.00, juga banyak menerima pesanan permintaan untuk pesta pernikahan dan pesta-pesta lain. Kue nyonya memang bukan sekadar kue masa kecil atau kue nostalgia. Melihat dan menyantap kue nyonya, sejatinya juga usaha untuk berdialog dengan masa lalu.

Mungkin di sana terselip sebuah ajaran, sebuah nilai yang bisa menjadi sumber inspirasi dalam hidup kekinian. Jika pun tak menjumpai hal seperti itu, bukankah kita juga sudah mendapat kenikmatan rasa dan sejumput memori masa kecil? (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi