Menggagas Constituent Recall

menggagas-constituent-recall

Oleh: Januari Sihotang, S.H.,LL.M.

MASA bakti DPR periode 2014-2019 telah berakhir. Berbagai catatan dan kritik perlu dialamatkan atas ki­nerja mereka. Sebagaimana keten­tuan konstitusi, alat ukur kinerja DPR tentu harus sesuai dengan tiga fungsi utama yang mereka lakukan, yakni fungsi ang­garan, fungsi legislasi dan fungsi pengawasan.

Terkait fungsi legislasi yang sering di­­anggap sebagai fungsi utama DPR, lem­baga terhormat ini ternyata memulai sekaligus mengakhirinya de­ngan cerita yang kurang menge­san­kan. Di awal masa kerja mereka, DPR ber­hasil mengutak-atik UU MD3 hanya demi perebutan kursi pimpinan DPR. Partai pemenang pemilu yang selalu diberikan ‘hadiah’ menempati posisi Ketua DPR, berubah menjadi di­pilih melalui suara terbanyak. Akhir­nya sangat ironis, PDIP yang me­­menangi pemilu 2014 justru tidak men­­dapatkan satu posisi pimpinan pun, baik di DPR maupun MPR. Mu­dah dibaca, hal tersebut dilatar­be­la­kangi pertarungan Koalisi Merah Put­ih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang begitu sengit sebelum dan pasca Pilpres 2014.

Tidak hanya itu, akibat tawar me­nawar kepentingan yang begitu kental, fungsi legislasi DPR pun baru berjalan normal sekitar 4 (empat) bulan setelah pe­lantikan. Sederet catatan buruk itu­pun seakan terus mengiringi perja­la­nan fungsi legislasi DPR hingga lima tahun selanjutnya. Dari 189 RUU yang tercantum dalam Prolegnas, ternyata hanya 40 UU yang mampu dituntas­kan. Bahkan 14 diantaranya adalah UU yang berada di luar Prolegnas.

Ironisnya, kinerja DPR mendadak berubah di akhir periodenya. Bahkan tidak berlebihan jika disebut sebagai anomali.. Beberapa UU yang sangat vital keberadaannya justru dikebut dan tuntas hanya dalam hitungan hari. Sebut saja salah satu contohnya UU KPK. Secara ilmu perundang-un­dangan, UU ini dianggap bermasalah baik secara formil maupun materil.

Dianggap sebagai upaya mele­mahkan KPK dan pemberantasan ko­rup­si, persetujuan RUU KPK men­dapat penolakan yang sangat masif dari berbagai elemen masya­rakat, baik mahasiswa, akademisi dan civil society pemberantasan korupsi. Mulai dari talkshow di media, opini di surat ka­bar hingga demonstrasi besar-be­saran semakin memperlihat­kan betapa sengitnya diskursus yang terjadi. Anehnya, DPR dan Presiden begitu mesra dan dengan suara bulat menye­tujui UU KPK tersebut. Perlu di­ketahui, sepanjang 2019-2024, inilah proses tercepat pembentukan UU yang dilakukan Presiden dan DPR.

Aspirasi Publik

Fakta empiris ini menggelitik logi­ka penulis. Seironis itukah disparitas antara gagasan aspirasi publik dengan implementasi dan rumusan wakil rakyat di parlemen? Bukankah wakil rakyat itu seyogyanya menyampaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya? Apa gunanya masa reses dan dana aspirasi yang begitu banyak digelontorkan jika tidak mampu dirumuskan dalam se­buah UU yang baik? Realitas ini mem­buktikan, suara-suara rakyat itu seperti mendengung dan terbentur lalu me­ng­uap begitu saja di dinding tebing curam.

Melihat komposisi dan latar bela­kang anggota DPR 2019-2024, maka sepertinya publik tidak perlu berharap terlalu banyak. Tanpa bermaksud berburuk sangka, publik perlu mem­per­siap­kan diri lebih dini menghadapi anomali dan ironisme yang mungkin saja akan dipertontonkan oleh anggota DPR yang baru.

Dana besar untuk penyelenggaraan pemilu seharusnya berbuah manis untuk rakyat. Dinamika perbaikan desain pemilu yang dilakukan terus-menerus tidak ada gunanya jika wakil rakyat yang dihasilkan tidak semakin berkualitas. Hubungan antara rakyat dan wakilnya perlu ditata kembali. Alasannya sederhana, agar wakil rakyat tidak menjadi kacang yang lupa akan kulitnya. Pengawasan publik sangat penting untuk diperkuat dan diinstitusionalisasi.

Dalam teori, pengawasan hanya akan berhasil jika memenuhi dua hal. Pertama, pengawas memiliki bar­gai­ning position dalam melakukan pe­nga­wasan. Dan kedua, hasil penga­wa­san tidak menguap begitu saja. Na­mun, harus didesain adanya tindak lan­­jut akibat dari pengawasan ter­se­but. Denga kata lain, perlu adanya sank­si yang diberikan jika yang diawasi tidak berjalan sesuai koridor yang sudah disepakati.

Dalam sistem ketatanegaraan kita, hu­bungan antara wakil rakyat dan rak­yat seolah-olah selesai seiring dengan berakhirnya pemilu. Setelah itu, hubungan dengan konstituen terputus dan akan dijalin kembali menjelang pemilu berikutnya. Wakil rakyat jus­tru menjadi ‘hamba partai politik’ yang mencalonkannya. Praktik demi­ki­an menyebabkan wakil rakyat lebih mendengar arahan parpol daripada as­pirasi publik. Hal ini bisa terjadi karena parpol memiliki kewenangan penuh atas masa depan si wakil rakyat di parlemen, sedangkan publik hanya mampu berteriak tanpa memiliki daya eksekusi.

Constituent Recall

Jika membaca ketentuan Pasal 22B UUD NRI Tahun 1945, ditegaskan bahwa anggota DPR dapat diber­hen­tikan dari jabatannya, yang syarat dan ketentuannya diatur dengan Undang-Un­dang. Selanjutnya, ketentuan ter­sebut diperinci dalam UU MD3 dan UU Parpol, dimana pemberhentian anggota DPR disebut sebagai Peng­gan­tian ANtar Waktu (PAW).

PAW hanya dapat dilakukan de­ngan ketentuan: meninggal dunia; mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan diusulkan oleh partai politik yang ber­sang­kutan. Untuk dapat diber­hen­tikan se­bagai anggota DPRD terdapat beberapa kriteria yaitu: tidak dapat melaksanakan tu­gas se­cara berke­lanjutan atau berha­la­ngan te­tap; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota DPRD; dinyatakan melang­gar sum­pah/janji, kode etik DPRD, dan/atau tidak melaksanakan kewaji­ban sebagai Ang­gota DPRD; melang­gar larangan rang­kap jabatan; dinya­ta­kan bersalah ber­da­sar­kan putusan pengadilan yang telah mem­punyai ke­kuatan hukum tetap karena melang­gar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.

Ketentuan tersebut menegaskan be­tapa kuatnya otoritas parpol ter­hadap setiap wakil rakyat di parlemen. Di sisi lain, publik seolah tidak memiliki posisi tawar apapun terhadap para wakil yang dipilihnya. Untuk menjamin agar setiap anggota DPR tetap berada di jalur yang sesuai dengan harapan rakyat, maka constituent recall sangat men­desak didesain dalam sistem ketata­nega­raan kita. Hal ini tidak terlepas dari logika demokrasi yang sesungguhnya, bahwa setiap anggota DPR adalah wakil rak­yat, bu­kan wakil partai. Dengan demi­kian, se­tiap anggota DPR akan menyua­ra­kan as­pirasi rakyat dan tidak terbelenggu oleh partai politik.

Constituent recall juga diyakini akan mendorong rakyat lebih aktif mempelajari kebijakan-kebijakan negara. Tingkat akuntabilitas yang tinggi akibat penerapan constituent recall tersebut, kemudian dapat men­dorong para wakil rakyat untuk mening­katkan kinerjanya dalam peru­musan kebijakan-kebijakan yang pada akhir­nya akan diterapkan pada masyarakat. ***

Penulis adalah dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi