Pelarangan Migor Curah, Maju-Mundur

pelarangan-migor-curah-maju-mundur

Jakarta, (Analisa). Menteri Perdagangan (Mendag) Eng­gar­tiasto Lukita bersikap maju mundur alias tidak konsisten soal kebijakan melarang pere­daran minyak goreng (migor) curah. Semula, Mendag mengatakan sejak 1 Januari 2020 migor curah tidak boleh diedarkan karena karena membahayakan kesehatan.

Setelah informasi itu viral dan jadi ba­hasan para pelaku usaha skala usaha khu­susnya kecil dan mikro (UKM), tiba-tiba pada Selasa  (8/10) Mendag meralat kebi­jakan­nya. Dia menegaskan, masya­rakat tidak dilarang menggunakan migor curah.

”Konsumen dan umat harus terlindungi. Dan, harus tersedia produk yang dipastikan higienitasnya dan halal. Pemerintah masih tetap memberikan kesempatan untuk peng­gunaan minyak goreng curah, juga memper­silahkan masyarakat yang masih memper­gu­nakan migor curah," kata Mendag Enggar­tiasto Lukita, di Jakarta, Selasa (8/10) melalui keterangan tertu­lisnya.

Namun, lanjutnya, bagi para pelaku in­dustri, pemerintah ingin agar mereka segera mengisi pasar dengan kemasan seder­hana dan mematuhi harga eceran tertinggi (HET) Rp11.000 per liter.

Mendag menjelaskan, tidak ada maksud pemerintah mematikan industri rakyat, juga usaha kecil dan menengah yang biasa meng­gunakan migor curah. Karenanya, harga migor kemasan dan ketersediaannya dijamin pemerintah, tidak memberatkan, dan tidak berbeda jauh dengan migor curah.

Kemasan-kemasan ini juga terdiri dari kemasan yang kecil dan ekonomis, hingga yang besar, mulai dari 200 ml sampai 1 liter.

"Tidak ditarik. Jadi, per tanggal 1 Januari (2020) harus ada minyak goreng kemasan di setiap warung, juga sampai di pelosok-pelosok Desa,” tegasnya.

Enggartiasto menambahkan, yang sebe­narnya diseru­kan, adalah agar kon­sumen lebih cerdas memilih minyak goreng yang terjamin kehalalannya, higinietasnya dan kandungan gizi.

Dijelaskan, migor curah adalah minyak yang diproduksi produsen migor yang merupakan turunan dari CPO dan telah melewati proses refining, bleaching dan deodorizing (RBD) di pabrikan. Selama ini pendistribusian migor tersebut, dilaku­kan menggunakan mobil tangki yang kemudian dituangkan pada drum-drum di pasar.

Proses distribusi migor curah biasanya menggunakan wadah terbuka. Akibatnya, rentan kontaminasi air serta binatang. Sedang penjualannya, ke konsumen, kerap menggunakan plastik pembungkus tanpa merk. Di sisi lain, produksinya rentan di­oplos dengan minyak jelantah. Semen­tara, tak banyak konsumen yang bisa mem­bedakan minyak goreng curah dari pabrikan, dengan minyak jelantah (minyak goreng bekas pakai) yang dimurnikan warnanya.

"Karena ada risiko-risiko itu, maka kami mendorong agar produsen wajib melaku­kan pengemasan minyak goreng agar rakyat mendapatkan produk minyak goreng yang higienis serta bebas dari adanya kemung­kinan oplosan," urainya.

Mendukung

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga men­dukung kebijakan pemerintah yang menetapkan migor curah harus pakai kemasan. Sebab, selama ini banyak beredar migor yang tidak jelas asal usulnya.

"Persoalan intinya itu di pasar, sumber minyaknya yang dalam drum-drum itu ke pedagang eceran tidak jelas dari mana," kata Sahat Sinaga Selasa (8/10).

Sahat mengungkapkan selama ini banyak pihak nakal yang menjual minyak jelantah alias minyak bekas pakai kepada pedagang eceran. Lebih mengerikan lagi, minyak-minyak jelantah didapatkan dari sisa-sisa restoran hingga perhotelan.

"Bisa juga itu minyaknya sumbernya itu bekas jelantah, dikumpulkan dari hotel sampai fast food dibersihkan dijual lagi. Itu yang berbahaya," jelasnya.

Sahat mengatakan kebijakan melarang peredaran migor curah tanpa kemasan sangat urgent diterapkan karena banyak praktek berbahaya di lapangan. (Ant/dtc)

()

Baca Juga

Rekomendasi