
Oleh: Adelina Savitri Lubis. SAH saja jika ingin bermimpi, apalagi mewujudkannya sebagai cita-cita. Melalui gaya hidupnya, Meri Linda telah membuktikannya.
Berkecimpung sejak 1987 sampai sekarang. Kepala Sekolah SMP Global Prima ini telah berkarir selama 32 tahun. Mimpinya pun sederhana, yakni suatu saat nanti memiliki sekolah. Dalam pengalamannya, ia pernah membuka sekolah selama tiga tahun untuk anak-ana sesuai usia taman kanak-kanak.
Anak-anak itu diajarkan bisa bahasa Inggris, Mandarin, dan enterpreneur. Menurut Meri, karena pendidikan bukan semata matematika. Tapi sejatinya pendidikan itu untuk menjalani hidup lebih baik. Itu adalah arah tujuan cita-citanya.
“Sehingga orang tidak berpikir karena saya dokter, maka saya berpendidikan. Karena saya insinyur, maka saya berpendidikan. Menurut saya makna itu tidak benar. Orang yang berpendidikan itu adalah orang yang bisa berkomunikasi dengan baik. Orang yang bisa menyampaikan aspirasi, inspirasi kepada setiap orang tanpa memandang kelas ekonomi dan sosialnya,” katanya kepada Analisa.
Dia membuka sekolah TK di daerah pinggir Kota Medan, tepatnya di Delitua, Desa Namorambe, Deliserdang. Berlokasi di rumahnya. Ia menyulap teras rumah menjadi tempat belajar untuk anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya.
Kawasan itu sebetulnya terdapat cukup banyak sekolah. Hanya saja yang menyentuh bidang studi enterpreneur, bahasa Inggris, dan bahasa Mandirin sangat minim. Semua biaya ia keluarkan dari kantong pribadi, tanpa bantuan siapa pun.
"Saya menonjolkan tentang studi yang berkaitan dengan bidang enterpreneur. Bagaimana anak mampu mengeksplor diri dan lingkungannya," terangnya.
Tugas sekolah yang dia berikan pun berkaitan dengan kehidupan dan lingkungan anak. Misalnya dia beri tugas anak untuk menceritakan tentang sosok ibunya, adiknya, kakaknya, ayahnya, dan lain sebagainya. Anak juga diminta untuk berani mengatakan tentang mimpi dan cita-citanya.
Namun sayangnya sekolah yang dia beri nama Aurora yang berarti fajar, cahaya ini hanya bertahan selama tiga tahun. "Pada akhirnya saya sampai pada titik ketidakberdayaan, yaitu keterbatasan biaya. Selain itu kesulitan untuk membagi waktu antara pekerjaan utama saya dengan sekolah ini," jelasnya.
Wajar saja, apalagi semakin lama sekolah itu kian berkembang. Jumlah murid kian bertambah. Tentu ia harus menambah tenaga pengajar juga, agar sistem belajar tetap berjalan. Sedangkan ia tak memiliki anggaran lebih untuk membayar honor para tenaga pengajar itu.
Begitupun ia masih memiliki cita-cita untuk meneruskan mimpinya itu. Karena bagaimanapun tak selamanya ia bekerja menjadi kepala sekolah. Pasti sampai pada titik di mana dia akan pensiun.
Dilatarbelakangi kisah masa kecilnya. Ia bertekad akan terus memelihara mimpi dan mewujudkan cita-citanya membangun sekolah secara totalitas suatu saat nanti. "Dulu saya tidak diizinkan sekolah oleh orang tua saya. Kemudian saya mendobrak itu. Sayalah yang membuka jalan bagi adik-adik saya untuk mendapatkan pendidikan," ungkapnya.
Sebagai anak kelima dari 10 bersaudara, keluarganya menganut pemahaman tentang pendidikan hanya untuk anak laki-laki, tidak untuk anak perempuan. Ialah anak perempuan pertama di keluarga yang mengecap pendidikan formal. Sedangkan kakak-kakak perempuannya tidak mendapatkan itu.
Hanya abang-abangnya saja. Setelah dia mendobrak pemahaman itu, barulah seterusnya adik-adiknya mengecap pendidikan formal. Itu sebab keinginannya begitu kuat untuk mewujudkan mimpinya membangun sekolah untuk anak-anak yang kurang beruntung.
"Karena itu juga saya tetap bekerja, karena dengan bekerja saya memiliki penghasilan. Penghasilan itu saya simpan sebagai tabungan untuk membangun sekolah," tambahnya.
Tanggung Jawab
Tak dipungkirinya, setiap sekolah idealnya memiliki tanggung jawab sosial bagi masyarakat. Namun ia bilang kesempatan yang diberikan sangat terbatas. Sehingga tidak merata sampai menyentuh kalangan masyarakat bawah.
Dalam praktiknya cita-cita yang luhur harus bersamaan dengan praktik pendidikan yang diterapkan di dalam keluarga. Ia telah membuktikan itu. Semua anaknya mendapatkan beasiswa hingga bersekolah ke luar negeri. Ia bahkan tak bisa mengekspresikan kegembiraannya sebagai orang tua melalui kata-kata. "Saya bilang anak-anak saya di sekolahkan oleh Tuhan," ungkapnya.
Apa resepnya? Menurutnya sejak kecil ia tanamkan kepada anak-anak, bahwa hidup ini adalah berjuang. Ia juga membawa anak-anaknya ke mana ia pergi. Bahkan sejak kecil ia tak pernah menuruti permintaan ataupun keinginan anak-anaknya. Bahkan ketika anaknya merengek, kemudian sampai menangis. Ia tetap membiarkannya.
"Dulu saat anak saya masih kecil menginginkan sebuah balon. Lalu saya katakan padanya, apakah ia bisa menjaga balon itu agar tidak pecah? Balon itu tidak pecah. Namun lambat laun semakin mengecil. Kemudian anak saya berkata, balonnya tidak pecah Mama, tapi mengapa dia mengecil? Saya mengajarkan pada anak saya, bahwa segala sesuatu itu sifatnya sementara," kenangnya.
Pengalaman lain adalah ketika bertahun baru. Biasanya orang tua kerap membelikan anak-anaknya baju baru. Namun tidak begitu dengannya. Ia tidak pernah membelikan baju baru. Saat itu ia ajarkan anak-anaknya untuk menghargai yang sudah ada.
Menyelaraskan ajaran dengan lingkungan sekitar adalah ujian yang berat. Karena tantangan pertama memang datang dari keluarga. Namun saat itu ia yakin bukan saat ini hasilnya terlihat. Tapi nanti. Secara pribadi ia melihat anak-anaknya menjadi sosok yang mandiri.
Ia tak melakukannya sendirian. Tanpa kerja sama dengan pasangan hidup konsep pendidikan seperti itu mustahil dilakukan. Namun sejak ia dan suami melangkah memasuki bahtera rumah tangga, keduanya sepakat untuk mengubah dua orang menjadi satu. Ia dan suami sepakat untuk berkomitmen mengajari anak-anak mereka tentang keadaan.
“Saat itu kakaknya masih berusia lima tahun, sedangkan adiknya masih berusia setahun delapan bulan. Kakaknya sekolah TK B, sedangkan adiknya sekolah PG. Saya membiarkan mereka pergi mandiri dengan menggunakan angkutan kota pergi ke sekolah.
“Saya takut, takut sekali. Namun itu adalah upaya untuk mengajari anak bersikap mandiri,” bilangnya. Sepekan pertama, tanpa diketahui anak-anak mereka. Ia dan suami mengawasi dari kejauhan. Pascasepekan, ia dan suaminya tak lagi mengawasi.
Terlepas dari itu, ia akui konsep mendidik anak seperti itu tidak pas dilakukan di zaman sekarang. Karena zaman tak lagi sama. Pola pikir masyarakat juga sudah berbeda. “Menurut saya sebagai orang tua, kita harus percaya terhadap anak-anak dan juga percaya kepada guru-guru yang mengajarinya di sekolah.”
Dalam hematnya, wajah pendidikan Indonesia sudah bagus. Bahkan semakin bagus seiring waktu. Program-program pemerintah juga bagus jika dijalani dengan baik dan benar. Artinya bagaimana anak-anak bisa mengembangkan kreativitasnya, juga melahirkan inovasi.
Terpilihnya Nadiem sebagai Mendikbud di kabinet baru Indonesia, dalam hematnya sangat positif. Ia juga percaya menteri baru sedang memecahkan kode perndidikannya.