
Oleh: Tanita Liasna
SEJARAH merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Seperti halnya disampaikan Croce (1999 : 2) dalam Maarif. Sejarah ialah rekaman tentang kreasi jiwa manusia di semua bidang, baik teoritikal maupun praktikal. Dapat dikatakan sejarah bermuasal dari perjalanan hidup masa lampau manusia dan manusia tidak akan sempurna tanpa sejarah yang menaunginya.
Situs Kota China menjadi bagian dari fakta sejarah yang tak terbantahkan. Sebuah situs sejarah yang menggambarkan keberjayaan peradaban. Dalam tulisannya, Purnawibowo (2014:1) menyampaikan, situs Kota China pertama kali tercatat keberadaannya pada 1823 oleh John Anderson. Ketika itu, Anderson diperintahkan oleh W. E. Philips (Gubernur Penang) untuk mengunjungi sejumlah daerah di pantai timur Sumatera Utara untuk melakukan survei politik dan ekonomi bagi kepentingan Inggris.
Dalam laporan dia tulis, terdapat bagian yang menjelaskan, pada lokasi yang saat ini kita kenal sebagai Situs Kota China terdapat sebuah batu bertulis berukuran besar yang tulisannya tidak dapat dibaca oleh penduduk yang bermukim di sana.
Penulis mengenang, pertama kali mendengar Situs Kota China dari seorang aktor teater Kota Medan, Agus Susilo pada 2015. Hal itu menjadi awal penulis mengetahui, ada sebuah situs sejarah di daerah Marelan.
Puisi adalah salah satu alternatif pengikat sejarah paling kuat. Tak sedikit sejarah Indonesia tertuang dalam bentuk kata-kata indah dalam puisi. Kali ini, lahirlah puisi dari 49 penyair yang terdiri dari 95 judul puisi sebagai rekaman 1.000 tahun jejak peradaban Situs Kota China.
Seperti yang disampaikan Shelly dalam Pradopo (2010:6), puisi merupakan rekaman detik-detik paling indah dalam hidup manusia. Buku puisi ini menampilkan sejarah Situs Kota China yang direkam dan dikisahkan secara indah oleh penulis-penulis dalam buku ini. Tak sekadar itu saja, raung kesedihan dan kegelisahan banyak tergambar dalam puisi-puisi di buku ini.
Beberapa puisi mempertanyakan tentang kesadaran masyarakat dan pemerintah akan keberadaan Situs Kota China. Dalam membedah kumpulan buku puisi ini saya menggunakan teori semiotik Michael Riffaterre (1978:1). Melihat puisi sebagai sistem tanda yang mempunyai satuan-satuan tanda yang memiliki makna berdasarkan konvensi-konvensi sastra.
Puisi yang pertama kali menggugah hati penulis ketika membacanya adalah puisi Denyut Nadi Kota Cina, karya Erna Winarsih Wiyono. Keterbatasan ruang dalam puisi tidak menjadikan puisi yang dituliskan terkesan memaksa. Pradopo (2014 : 1.18) menuliskan, membuat puisi merupakan aktivitas pemadatan. Tidak semua peristiwa diceritakan, hanya masalah, peristiwa, atau inti cerita. Dalam puisi ini, Erna berhasil melakukannya. Sungai Belawan, Danau Siombak, keramik dan replika arca Budha-Hindu menjadi jejak peradaban Situs Kota China yang digambarkan secara jelas dalam beberapa bait puisi saja. Satu puisi ini menjadi perwakilan tempat dan benda-benda sejarah yang ada di Situs Kota China.
1/
Air payau
Paluh Tangkahan Lajang
Anak sungai Belawan
Sungai besar
Hutan nipah dan kisahnya bahan baku atap bangunan
Persawahan perkebunan keramat pahlawan
2/
Danau Siombak
Keramaian Belawan, Medan, hingga Tanjungmorawa
Sejarah yang mulai tersibak suara suara dari dalam tanah yang tak lagi hening
Pecahan-pecahan keramik dan tembikar
Papan-papan kayu bagian puzzle dari kapal dan perahu kuno
3/
Fragmen-fragmen keramik
Dinasti Song
Dinasti Qing
Siam,Vietnam, Timur Tengah, India...
Perjalanan yang tidak sebentar dalam membuka kotak pandora
4/
Replika arca Buddha Hindu
Tulang belulang, kerang, sampah dapu kuno
Situs Benteng Putri Hijau, Pulau Kampai, Pulau Boga, Kota Rentang
Kepingan kepingan uang kuno
Masih tentang sejarah yang dipuisikan, HM Yunus Tampubolon mengemas jejak Situs Kota China yang terkubur dalam puisinya yang berjudul Di Bawah Puing Kapal. Dalam bait pertama, ia mengingatkan pembaca pada seribu tahun Situs Kota China telah ditenggelamkan modernitas. Jejaknya begitu sepi dikisahkan. Segala yang membesarkan tempat itu dulunya tertanam di bawah kota yang berdiri kini.
Seribu tahun rakitan zaman
Menggulung lipatan
Jejak perjalanan sejarah kota
Di dalam kota ada kota
Setitik goresan bergelut
Dalam sepi ribuan tahun
Ditelan kegelapan rindang
kabu-kabu kota cina
Dahan kering tak lagi bertangkai cerita
Ombak pun tak lagi bergetar memamah alam
Mengagungkan kilatan
kapal dan perahu-perahu
Bertelanjang ditelan lumpur yang tenggelam
Meretak tanah lempengan candi di bawah kota ini
Selanjutnya, Yunus Tampubolon mengemas secara apik sebuah pelabuhan yang disinyalir pernah beberapa kali menjadi tempat Laksamana Cheng Ho berlabuh. Pelabuhan itu dulu ada di sana, di antara lapisan kerang/dan tembikar berbau tanah. Ia juga menyampaikan beberapa artefak ditemukan dan menjadi kunci saksi pelabuhan yang kini telah bersisa nama.
Di bawah kota ini terkubur
artefak kuno tanpa lumut
Di antara lapisan kerang dan tembikar berbau tanah
Terperangkap perang peradaban dari zaman ke zaman
Sulaman tangan-tangan prajurit
pasukan chengho
Merobek perubahan tak terbilang pedang dan tombak
Menggempur lalu terkubur di zaman silam
Dibalik tembok pecahan artefak menyerpih
Terekat tembikar dan manik-manik
Menguak sejarah lampau
situs perjalanan kota cina
Di bawah puing kapal
Masih tentang keelokan dan kemasyuran pelabuhan yang berada di Situs Kota China pada masanya, Damiri Mahmud dalam puisinya yang berjudul Kunang-kunang Sejarah menggambarkan tentang pelabuhan yang dulunya menjadi tempat para syahbandar melabuhkan kapal untuk berdagang. Lewat baris puisi yang berbunyi Pelabuhan yang bersolek/Berhias malam dan siang/Perahu jung sekunar kapal-kapal tongkang/ Riuh pulang dan pergi dari india china turki mesir yunani.
Damiri menggambarkan keindahan dan kemegahan sebuah pelabuhan perdagangan yang menjadi tempat lalu-lalang pedagang India, China, Turki, Mesir, dan Yunani.
Begitulah sejarah yang terekam pada bait-bait yang tersuguh untuk pelabuhan yang kini diabadikan dalam Museum Situs Kota China yang menyimpan keeksotisan pada zamannya. Situs yang kini malah menjadi onggok bangunan yang meneteskan kegelisahan bagi para pendatang yang peduli dan memahami segala nilai dan keberhargaannya. Kesedihan, getir, dan kegelisahan terekam juga pada puisi-puisi terpilih dalam buku puisi Situs Kota Cina ini.
Dalam puisi yang berjudul Situs Perjalanan misalnya, Agus Susilo menyampaikan kegelisahannya akan keadaan Situs Kota China saat ini. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Sulkifli dan Sawitri (2016:2), dalam puisi seseorang berbicara dan mengungkapkan dirinya secara ekspresif, Agus dengan menggunakan majas simile dan personifikasi pada beberapa bait puisinya mengisahkan tentang bagaimana perasaan yang hadir ketika ia berada di Situs Kota China.
Berjalan di makam-makam purba bagai berenang di selokan-selokan zaman yang bernama kota. Aku melintas di lambungmu, kawan. Ada serpihan legenda tertancap di ubun-ubun yang kaulupakan. Di antara keheningan yang menusuk ingatan, moyang kita pernah bersama mengayuh sampan di lautan. Merambah hutan di pegunungan,kini menjadi rimba yang tak kita kenal lagi muasalnya.
Berjalan di atap-atap rumah yang terbenam bagai berlari di layar-layar kapal yang bernama sejarah. Aku ada di sampingmu, kawan. Abad telah meninggalkan kita yang terdampar di rumah-rumah beton. Rumah-rumah panggung yang melenakan kita diayunan telah terhempas diseret metropolitan. Engkau dengarlah detak moyang kita, di rumah ini. Mereka masih bernyawa. Melemparkan doa ke langit-langit puja. Mengayuh tubuh yang membatu di sumur dan dapur, tempa temak kita merebus kerang. Kita mengayaknya dalam mimpi-mimpi esok.
Dalam bait-bait puisinya, Agus mengungkapkan Situs Kota China sebagai sesuatu yang telah menjadi kota dan nilai kesejarahannya dilumat dan dilupakan waktu akibat perkembangan zaman. Di akhir puisinya, Agus menciptakan tanya bagi pembaca yang bertujuan untuk menyadarkan pembaca agar peduli dengan Situs Kota China.
Tidak hanya dalam puisi Situs Perjalanan, pada puisinya yang berjudul Jejak Siombak, Agus Susilo menggambarkan dengan sindiran perihal keadaan Siombak yang saat ini tak lebih dari sebuah kubangan sampah. Dalam puisinya, Agus menggambarkan penguasa sebagai “bebek” yang membiarkan Siombak digerus habis oleh segala yang mengatasnamakan pembangunan.
Kesedihan lain juga disampaikan Aisyah Basar dalam puisinya Kabar Kepada Kotta Cinna. Aisyah menuliskan //Datang kembali ke bumimu adalah perjalanan perih tak terperi/Sebab aku tak lagi bersamanya/Kepergian telah merenggutnya dariku/.... sebagai wujud kehilangan yang begitu besar dirasakan Aisyah ketika memandang Kota China yang terasa telah direnggut waktu.
Situs Kota China, sebagai sebuah peninggalan, seharusnya dikelola dengan benar. Dalam puisi Kotta Cinna yang ditulis Ayub Hamzah Fahreza, terbingkai lantun kata-kata di bait ketiga yang langsung ditujukan pada seseorang yang disebut tuan. Berat kupikul satu puisi/Untukku bawa pada Tuan yang duduk dikursi/Ini puisi yang kupungut dari tanah/Bacalah pada kulit kerang/Bacalah pada pecahan keramik/Bacalah pada stupa yang tinggal kepala//.
Dalam puisinya, Ayub meminta yang dia tuju untuk membaca tulisannya mengenai Situs Kota China. Dalam bait-bait berikutnya, Ayub mengajak tuan untuk bersama peduli terhadap bagian-bagian yang masih terpendam di Situs Kota China. Ayo tuan kita pungut artefak/Kita pungut tangan/Kita pungut kaki/Kita pungut waktu. Dan Kita Bangun Batu adalah sebuah baris penegas harapan Ayub untuk membangun Museum Kota China.
Namun, di penggalan bait akhir puisinya, Ayub menunjukkan kemarahannya akan ketidakpedulian yang dia dapati dari tuan yang dia harapkan.