
Oleh: Hodland JT Hutapea.
Belakangan ini muncul istilah baru dalam kasus pelecehan seksual atau kejahatan seksual terhadap anak. Istilah baru yang hanya sekadar kedok kejahatan itu disebut sebagai grooming, lantaran pelakunya sendiri dengan bangga menisbatkan dirinya sebagai seorang groomer. Seperti yang pernah dilakukan oleh seorang narapidana di Surabaya yang menggunakan akun palsu untuk mendapatkan foto atau pun video korbannya. Setelah melakukan komunikasi lewat chat, kemudian berlanjut ke komunikasi lewat VC (video call) fasilitas yang dimiliki oleh media sosial, dan meminta korbannya untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Di antaranya, membuka pakaian dan menyentuh bagian-bagian paling intim di tubuh mereka. Patut diduga, pelaku kejahatan seksual terhadap anak ini memiliki kelainan seksual seperti pedofilia, yang menyukai kegiatan seks bersama anak-anak.
Istilah grooming sendiri pada awalnya bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan sangat positif. Term grooming diambil dari kata dasar groom. Jika menilik kamus yang ada, kata grooming (Inggris) ini dapat diartikan sebagai dandan, sementara kata dasarnya groom berarti pengantin pria. Jadi, tidak ada hal negatif pada pemakaian kata grooming itu sendiri sebelum para pelaku pelecehan seksual terhadap anak ini secara sembarangan menyebut dirinya groomer.
Gambaran sederhana pemakaian term grooming yang sesungguhnya bisa dijelaskan secara sederhana seperti pada situasi ini. Seseorang mengadiri undangan temannya pada sebuah pesta ulang tahun. Nahasnya, dia merasa panik lantaran penampilannya dianggap kurang layak untuk mengadiri pesta tersebut. Oleh sahabat-sahabatnya, dengan sukarela menawarkan bantuan dengan mengatakan, “I should groom you!” Mereka kemudian membantu mendadaninya dengan merias wajahnya, menata rambutnya agar lebih baik, dan juga menata pakaiannya agar lebih layak untuk tampil di pesta tersebut.
Sudah sejak lama, istilah grooming juga dipakai dalam dunia perawatan hewan kesayangan, terutama pada kucing atau anjing. Mengapa hewan perlu di-grooming? Tentu saja supaya kelihatan lebih bersih, kelihatan rapi, dan menggemaskan. Terlebih jika hewan peliharaan kesayangan itu akan diikutsertakan dalam sebuah kontes kecantikan hewan atau perlombaan ketangkasan hewan. Namun tujuan sebenarnya grooming pada hewan kesayangan adalah demi menjaga kesehatan hewan tersebut dan pemiliknya agar tidak tertular penyakit yang bisa saja dibawa oleh hewan peliharaannya. Bedanya, istilah grooming pada manusia lebih dimaknai sebagai sebuah proses. Yakni, proses atau tahapan dalam memperbaiki penampilan, memperbaiki citra diri agar tampak lebih sempurna di tengah-tengah sebuah perhelatan.
Sementara istilah grooming yang dipakai dalam proses pelecehan seksual terhadap anak dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan seseorang untuk membangun hubungan kepercayaan dan hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja, sehingga pelakunya dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan korbannya. Meski di Indonesia masih terbilang baru, grooming sebenarnya sudah lebih dahulu marak di berbagai negara lain sebagai modus kejahatan pelaku pelecehan seksual anak.
Mencari Korban Melalui Medsos
Siapa pun bisa menjadi seorang groomer (pelaku grooming), tak peduli berapa usianya atau apa jenis kelaminnya. Bahkan berdasarkan kejadian di lapangan, seorang groomer bisa muncul dari dalam lingkungan keluarga sendiri atau lingkungan pertemanan di sekolah. Seorang groomer yang dikategorikan berhasil akan mampu membangun sosoknya tampak berwibawa di hadapan korbannya. Jenis hubungan yang dibangun oleh seorang groomer pun sebenaranya bisa sangat beragam. Mulai dari menjadi kekasih, mentor, atau figur yang diidolakan oleh sang anak.
Biasanya media yang digunakan oleh seorang groomer untuk menjalankan aksinya juga bermacam-mucam, mulai situs media sosial, e-mail, WhatsApp, chat forum, atau bahkan game online. Seperti kasus grooming yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Dikutip dari media online Detik, polisi berhasil menangkap seorang pelaku seorang pelaku grooming berinisial AAP alias Prasetya Devano alias Defans alias Pras. Pelaku melaksanakan aksinya melalui aplikasi game online “Hago” dan ditangkap di kawasan Jakarta Barat pada 25 Juli 2019 lalu. Pelaku mencari korban melalui aplikasi game online dengan fitur ‘discovery people’.
Dari fitur tersebut pelaku mencari korban perempuan yang rata-rata masih berusia belasan tahun. Pelaku kemudian berkenalan dengan korban melalui chat dalam aplikasi tersebut dan mengajak melakukan video seks. Di mana pelaku meminta korban untuk membuka pakaiannya dan merekam video tersebut. Hingga sampai saat ini, pelaku diketahui telah melakukan perbuatannya berulang-ulang. Korban yang kebanyakan masih berusia belasan tahun tersebut bahkan tidak bisa menolak permintaan pelaku karena diancam akan menyebarkan video tersebut.
Upaya Pencegahan
Ada beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan oleh orang tua, salah satunya dengan mengaktifkan fitur parental control di pelbagai aplikasi media sosial yang telah disiapkan jasa layanan internet (ISP). Orang tua punya peran aktif dalam upaya mencegah anak sebagai korban maupun pelaku kejahatan via media sosial. Untuk itu, orang tua diimbau untuk secara aktif mengarahkan atau membimbing anaknya yang belum cukup umur dalam mengakses internet. Tidak membiarkan anak melakukan aktifitas di internet sendirian, terutama anak di bawah umur 15 tahun, termasuk juga usia sampai 17 tahun (usia anak).
Guru dan tenaga pendidik di sekolah perlu memberikan perhatian serupa. Seyogyanya para guru juga memberikan pengertian mengenai internet, sehingga anak-anak lebih waspada dalam mengakses media sosial. Anak harus diberi didikan bahwa di dalam dunia internet dikenal anonim, sehingga perlu terlebih dulu untuk memeriksa kebenaran suatu konten. Salah satunya dengan menggunakan fitur pencarian di Google untuk mengenali dari mana sumber pertama foto profil akun yang meminta pertemanan untuk membuktikan keasliannya.
Saat menjalankan aksinya, groomer biasanya menerapkan beragam teknik, mulai dari berpura-pura menjadi teman korban, memberi hadiah, mengajak jalan-jalan, memberi perhatian atau nasihat. Orang tua juga patut mewaspadai apabila gelagat anaknya terlihat menjadi lebih tertutup, memiliki pacar yang lebih tua, sering memilki barang baru atau uang berlebih, mudah tertekan atau mudah marah. Bisa jadi sang anak telah menjadi korban pelecehan seksual.
Salah satu hal yang perlu diingat oleh orang tua, tentu saja bagaimana mencegah pelecehan seksual ini terjadi. Dapat dimulai dengan memberikan pendidikan seks sedini mungkin sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Termasuk melatih anak untuk menghargai tubuhnya sendiri. Memberi pemahaman pada anak, area tubuh mana yang boleh disentuh atau tidak. Termasuk larangan untuk memperlihatkan bagian tubuh sensitif pada orang lain. Serta untuk tidak mudah mempercayai ucapan orang lain, terutama orang baru yang dikenal lewat media sosial.
Apabila melihat anak berada dalam ancaman atau terindikasi menjadi korban kejahatan seksual di internet, jangan ragu untuk melapor ke polisi. Hal ini agar pelaku bisa segera ditindaklanjuti untuk mencegah lebih banyak korban di masa mendatang. Laporan juga bisa disegerakan bila anak merasa tidak nyaman dalam penggunaan internet, dan usahakan bahwa internet bagi anak adalah untuk dunia edukasi positif sesuai usia anak. Terakhir, bila anak sudah menjadi korban, maka sebaiknya segera diajak berkonsultasi dengan psikolog. ***