
Oleh: Riduan Situmorang
Sedang viral kisah ketidaknaikan kelas siswa dari salah satu SMA swasta favorit di Jakarta. Kabarnya, siswa itu tak naik kelas karena nilai yang bersangkutan tidak memenuhi KKM. Selain itu, yang menurut saya pasti lebih fatal: sikapnya kurang “berkenan”. Nah, pertanyannya, apakah guru berhak meninggalkelaskan seorang siswa? Jawabannya tentu sudah semua tahu. Bahkan, salah satu hak dari guru adalah meninggalkelaskan siswa.
Baiklah, mari bercerita sekilas tentang beberapa kisah tinggal kelas yang sempat viral di negara ini. Sebagai catatan, di sekolah kami, tahun lalu, ada, loh, 5 orang yang tinggal kelas? Hanya, kisah ini tak viral sehingga tak perlu disinggung. Mari kita mulai dari kisah menggetirkan ini: seorang siswa menganiaya gurunya hanya karena tinggal kelas. Silakan cari dari google. Menggetirkan bukan? Dalam pada cerita seperti itu, saya kadang merasa ngeri sebagai guru.
Mari melompat ke cerita lain. Ingat kisah Dvijatma Puspita Rahmani (DPR) di SMA N 4 Bandung? Kisah ini sempat menjadi urusan KPAI. Sebelum kita lanjut, meski sudah menjadi hak guru, apakah memang wajar meninggalkelaskan seorang siswa? Mari berbicara dari taraf ideal. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, apalagi kalau ditarik pada sebuah pernyataan bahwa tak ada siswa yang bodoh, DPR sejatinya sangat tak layak tinggal kelas. Apalagi konon, dia terpilih menjadi peserta olimpiade biologi.
Disulap
Ini membuktikan, secara akademis, DPR sebenarnya tak ketinggalan. Tetapi, ini bukan soal akademis. Ini soal lain. Betapa tidak, kesempatan perbaikan nilai yang sudah dijadwalkan sekolah pun tak diikuti. Belum lagi melihat sikap DPR yang “tak becus” karena sering tidur dan absen. Itu sudah cukup membuat sekolah memberinya nilai nol. Tetapi, menurut keluarga, hal itu bukan kesengajaan. Ini terjadi karena DPR sedang sakit. Bahkan, ada hasil pemeriksaan dari rumah sakit yang membuktikannya.
Lain kisah DPR di Bandung, lain pula Zulfa Nur Rahman di SMK 7 Semarang. Dia pernah ditinggalkelaskan karena tak mengikuti ujian. Bedanya adalah, DPR diizinkan, tetapi tak disahuti oleh DPR karena alasan sakit. Sementara Zulfa mau ujian, tetapi terganjal oleh aturan. Betapa tidak, Zulfa dipaksakan ujian praktik salat pada mata pelajaran agama (Islam), padahal, dia sendiri tidak beragama Islam. Memang, saat mendaftar, Zulfa mengisi agamanya pada borang pendaftaran sebagai Islam.
Hanya, pada perjalanannya, dia berpindah agama jadi penghayat. Karena itu, Zulfa tak bisa melakukan praktik salat lagi, sehingga tinggal kelas. Karena tinggal kelas, Zulfa sempat memilih untuk tidak masuk sekolah hingga akhir Agustus. Menghadapi ini, anggota Komisi VIII DPR RI, Ombudsman Provinsi Jawa Tengah, Walikota Semarang, Dewan Pendidikan Kota Semarang tidak tinggal diam. Mereka menggelar mediasi meski tetap tidak menemukan kata sepakat.
Dalam mediasi itu, Zulfa menginginkan sekolah lagi dan naik kelas, serta tetap mendapatkan perlakuan sama sebagaimana siswa lainnya. Tetapi, pihak sekolah tak menyanggupi. Hingga pada akhirnya, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, harus turun tangan. Nilai nolnya disulap dan syarat naik kelas “ditukangi” sehingga Zulfa pun naik kelas. Sebelum kita lanjut, mari berbicara tentang nilai nol. Nilai nol sejatinya bukan masalah istimewa, lho. Nilai seperti itu masih acap diberikan meski pada penilaian final kemudian disulap
Guru sendiri pada UKG pun pernah mendapatkan nilai nol. Artinya, jika UKG menjadi patokan mati, tentu sangat banyak guru kita yang “tinggal kelas”, sehingga karena itu tak layak mengajar. Hanya, karena UKG bukan menjadi patokan mati sebab ada latar belakang lain yang lebih patut dipertimbangkan, maka guru-guru itu pun dinaikkelaskan. Kiranya, hal serupa dalam tataran idealnya juga terjadi pada siswa. Pasalnya, jika angka pada KKM menjadi acuan mati, akan sangat banyak siswa yang gagal.
Namun, karena pelajaran kita tidak melulu akademis, tetapi juga membahas sikap dan psikomotorik, nilai rendah itu pun akhirnya bisa dikompromikan agar menyentuh angka KKM. Bahkan, pada berbagai sekolah, agar mendapat BOS yang melimpah berikut akreditasi yang kemilau, nilai justru bisa ditransaksikan dan diinflasikan. Saya pikir, dalam lajur berpikir seperti inilah menjadi sangat menarik untuk membahas kasus yang menimpa DPR dan Zulfa. Untuk DPR, misalnya, dengan berpikiran kotor, kita bisa menduga bahwa ada dendam kesumat antara siswa dan guru, bahkan mungkin juga sudah meluas pada orang tua.
Pasalnya, nilai nol hanya didapatkan DPR pada mata pelajaran tertentu. Mengapa? Premis-premis lain yang melatarbelakangi ini bisa diketengahkan. Pertama, mengapa DPR disebut “tak becus”, tetapi guru lain malah—setidaknya bisa—menoleransi “ketidakbecusan” DPR? Lalu, mengapa kemudian sekolah merestui penilaian “ketidakbecusan” itu? Apakah guru bidang studi itu dibuat menjadi perwakilan sebagai perlawanan terhadap ulah DPR, atau mungkin juga orang tuanya?
Sebab, memberikan nilai memang hak prerogatif seorang guru. Tetapi, urusan apakah seseorang itu naik kelas adalah urusan sekolah sehingga tak jarang sekolah mengadakan “rapat pleno” antara guru dan walikelas, bahkan dengan orang tua. Dan, sering kali tujuan dari “rapat pleno” adalah untuk “mengasihani” siswa agar naik kelas. Pertanyaannya, mengapa hal itu tak terjadi pada DPR? Apakah karena karakternya sudah tak bisa ditoleransi? Tak usah kita berspekulasi lebih jauh. Yang pasti, kita sudah bisa menebak jawabannya.
Lebih menarik lagi kasus Zulfa. Sekolah tentu saja tak bisa disalahkan begitu saja, apalagi Zulfa. Kita tahu, jika mengekor pada UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan PPRI No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, ini sudah cukup membuktikan bahwa ada jaminan dan pengakuan kebebasan siswa agar memperoleh layanan pendidikan agama sesuai dengan agama yang mereka anut. Hanya, landasan ini saling memunggungi dengan UU di atasnya yang jelas-jelas mengkategorikan agama.
Kapan Naik Level?
Permendikbud No 27/2016 tentang Layanan Pendidikan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME pada satuan pendidikan bahkan hanya memberikan fasilitas pemenuhan pendidikan agama bagi pemeluk keenam agama resmi tersebut. Dengan kata lain, agar dapat naik kelas, para penghayat diwajibkan mengikuti pelajaran agama tertentu. Jika tidak, maka nilainya akan nol dan dia pun dipastikan akan tinggal kelas. Nah inti pertanyaan tulisan ini sebenarnya sederhana: layakkah seorang siswa tinggal kelas?
Silakan toleh ke negara maju, seperti Finlandia. Jangankan tinggal kelas, pemeringkatan sama sekali tidak ada. Namun, apakah sesederhana membandingkan ke Finalandia yang sudah matang? Saya jadi teringat pada siswa-siswa saya sendiri. Nilainya rendah. Waktu remedial tak disanggupi. Tenggat toleransi terakhir batas pengumpulan tugas tak ditanggapi.
Karakternya semakin buruk, malah terkesan brutal. Apakah kita harus menaikkan level siswa ini ke taraf lebih baik? Hanya guru yang bisa memahaminya!
Maaf-maaf saja, saya sepakat dengan kasus SMA Gonzaga yang tinggal kelas itu. Ya, ya, ya, saya memang belum tahu betul bagaimana kisahnya! Tetapi, saya mahfum, guru, apalagi sekolah, tak pernah mengandalkan dendam.
Lagipula, andai semua siswa harus naik kelas, bahkan pengadilan menggagalkan vonis tinggal kelas dari guru, lantas tugas dan hak guru sebenarnya apa? Dan, satu lagi, sampai kapan negara ini akan naik ke level selanjutnya jika guru tak berhak menilai siswanya?***
Penulis Pendidik di Yayasan Don Bosco Medan, Aktif Berkebudayan dan Berkesenian di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) dan TWF (Toba Writers Forum).