SBC, Tak Sekadar Cinta Satwa

sbc-tak-sekadar-cinta-satwa

Oleh: : Rhinto Sustono.

DULU hanya ada satu alasan bagi peng­gemar satwa unggas, yakni karena ketertari­kan dengan kicaunya. Maka tak heran, memi­liki dan memelihara burung perkutut, pada zamannya bisa menaikkan prestise sese­orang.

Lantaran alasan prestise itulah, meskipun untuk merawat perkutut membutuhkan ketelitian dan menyita waktu, namun kalangan pejabat maupun pembesar di perusahaan-perusahaan perkebunan, pada masa silam bisa memelihara 2 – 5 ekor perkutut di rumahnya. Kegiatan ‘bermain’ dengan unggas peliharaannya pun menjadi rutinitas setiap pagi dan sore.

Waktu berselang, selain memiliki perkutut, prestise juga bisa dimunculkan saat seseorang mampu melatih beo yang dimiliki untuk menirukan ucapan sang tuannya. Meskipun kedua hewan peliaraan itu mampu menaikkan prestise pemiliknya, kharisma perkutut sudah ditinggalkan. Tak seperti beo yang masih menjadi idola, apalagi yang sudah terlatih dan memiliki keah­lian, khususnya yang mampu menirukan ucapan orang. Misalnya bisa mengucapkan salam atau ucapan lainnya.

Kekinian, meski soal kicau burung tetap disukai semua orang, namun kegemaran pada satwa unggas mulai beralih dari kicauan kepada keindahan warna bulunya. Apalagi keindahan yang ditampilkan dari bulu burung tersebut tak sebatas warna tertentu, tapi bisa multiwarna.

Rasa penasaran dan tantangan berikutnya, bahkan varian warna bulu dari burung kesayangan itu bisa direkayasa sesuai keinginan pemiliknya. Dari sekian banyak jenis burung piaraan, jenis parkit (melopsittacus undulatus) atau dikenal dengan sebutan budgie, dalam satu dekade terakhir menjadi paling digemari.

Kegemaran orang akan burung paruh bengkok dari keluarga psittacullidae ini, juga tak sekadar karena keindahan variasi warna bulu­nya. Banyak alasan sehingga jenis burung pintar yang mudah dijinakkan ini menjadi sangat digemari.

Anatomi tubuhnya yang kecil eksotis disempurnakan warnanya yang indah, selalu menarik perhatian siapa saja. Pun jenis parkit tak sebatas jenis perkutut. Ada jenis lokal yang dikenali ukurannya lebih kecil dibanding jenis parkit lainnya. Kekhasannya, pada kepala, sayap hingga ekor terdapat garis, paruhnya bengkok dengan ujung berwaran kuning, dan kakinya cenderung abu-abu.

Jenis lainnya, parkit australia yang memang sebenarnya burung endemik dari Australia. Ukuranya paling kecil dari jenisnya. Memiliki 5 varian warna berbeda, albino, cinnamon, lutino, domain silver, dan white face. Uniknya parkit jenis ini memiliki jambul dan terda­pat lingkaran merah agak oranye pada kedua sisi pipinya.

Seorang penggemarnya, Danny Abriyanto, di sela Beauty Contest yang digelar Sumut Budgerigar Community (SBC) di Rumah Kicau Veteran, Jalan Veteran, Pasar VII, Helvetia, kepada Analisa menyebutkan, kepintaran parkit bahkan bisa dilatih layaknya beo yang bisa menirukan ucapan manusia, juga seperti merpati yang bisa free fly (terbang bebas) dan kembali kepada pemiliknya.

Menurut Koordinator Seksi Publikasi dan Dokumentasi Beauty Contest itu, ada banyak jenis parkit yang terkenal. Selain kedua jenis di atas, ada juga jenis parkit lutino yang kekinian semakin langka, sehingga harganya pun sangat fantastis. Meski ukurannya sebesar parkit lokal, namun matanya yang merah menjadi istimewa di sela dominasi bulu kuning di sekujur tubuhnya.

Beberapa jenis lainnya, di an­taranya parkit taiwan, parkit albino, parkit holland, dan keluarga rosella (northern rosella, green rosella, westren rosella, crimson rosella, serta pale-headed rosella).

Seiring terbentuknya komunitas pecinta parkit, SBC, minat masya­rakat membudidayakan parkit pun kian meningkat. Indikatornya, permintaan pasar akan ketersediaan burung parkit semakin tinggi.

“SBC sebagai komunitas tempat berkumpulnya para peternak parkit, menjadi wadah saling bertukar informasi dan bekerjasama dalam usaha memperkenalkan keindahan dan kepintaran burung parkit kepada masyarakat,” ungkap Ketua Panitia Aidil Wijaya didam­pingi Sekretaris Bowo Nugraha dan Bedahara Ahmad Fadoel.

Bersama sesama rekan di SBC, mereka mengedukasi masyarakat dan para peternak parkit untuk berusaha menghasilkan variasi warna parkit yang lebih beragam. Sebelum ada SBC, tidak ada wadah bagi para peternak parkit untuk menunjukkan kualitas hasil tangkarannya. Sehingga peternak hanya fokus pada jumlah produksi tanpa mempertimbangkan kualitas,” imbuhnya.

Ajang Kompetisi

Untuk alasan mencari parkit yang unggul dari hasil penangkaran, SBC pun menggelar Beauty Contest tersebut. Ajang kompetisi itu hanya untuk memilih parkit yang warna bulunya indah. Tapi juga menilai sisi kesehatan burung, proporsional tubuhnya, keanggunan saat burung bertengger, dan lainnya.

“Dengan adanya ajang ini, kami berharap minat masyarakat membudidayakan parkit semakin tinggi. Terlebih para peternak berupaya meningkatkan kualitas hasil tangkarannya,” timpal Danny Abrianto.

Pada kontes kecantikan parkit yang bertemakan, Expose the Beauty of Parkit itu, juga menggelar pameran hasil penangkaran parkit, budgie trick show, dan lomba FTM. Tak ayal, ajang kompetitif itu pun diikuti hampir seratusan peserta dari Medan, Deliserdang, Kisaran, dan lainnya.

Menyaksikan kontes tersebut, ibarat menyaksikan keindahan warna-warni keluarga burung parrot (paruh bengkok) yang kaya. Keunikan yang mengagumkan, para penangkar mampu merekayasa mutasi warna parkit secara sengaja dari banyak spesies yang ada dalam genus agapornis. Bahkan, hasil yang dicapai melalui perkawinan antarspesies, tak hanya soal warna, tapi juga keunikan pada struktur anatomi tubuh parkit.

“Pada kompetisi ini tidak hanya memamerkan keindahan warna bulu, tetapi juga memamerkan keindahan secara utuh dari ujung paruh sampai ujung kuku. Tentu saja termasuk proporsi dari kepala badan, sampai ke ujung ekor,” papar Aidil Wijaya.

Ia juga menegaskan, ajang lomba kecantikan parkit juga tak sebatas menilai gaya jogetan burung­nya, bukan pula kandang burung yang bikin mata silau. Hal terpen­ting yakni aspek kualitas burung parkit secara utuh, keorisinilan burung sesuai dengan jenisnya.

Kontes sehari itu pun memutuskan para pemenang. Terdiri pada kelas dilution, juara 1, 2, 3 adalah Joan Ho, Parira Godang, dan Ronal Pa. Kelas opaline, juara 1, 2, 3 terdiri Dian Wijaya, Dedo, dan Ade Kurniawan. Juara 1, 2, dan 3 pada kelas spengle, terdiri Seiz Aseang, Anwarudin, dan Bambang Suhendra. Untuk kelas normal, juara 1, 2, dan 3 diraih oleh Ahmad Padoel, Parira Godang, dan Koko Mania.

Kemudian pada kelas dominant pied, juara 1, 2, dan 3 dimenangkan Muhammad Fadil, Dian Wijaya, dan Mario Abraham. Sedangkan pada kelas exebition budgerigars (EB), juara 1, 2, dan 3 terdiri Bowoo Nugraha, Bambang Suhendra, dan Nata. Untuk Best in Show dimenangkan Joan Ho dan Best Opposite Sex diraih Bambang Suhendra (Bembenk’s Pigion).

()

Baca Juga

Rekomendasi