Oleh: Alvin Liasta Tarigan
SETELAH 13 tahun menjabat Presiden Bolivia, Evo Morales diharuskan untuk turun kekuasaan. Hal ini didasarkan oleh desakan masyarakat, militer, dan kepolisian yang melakukan demonstrasi antipemerintah. Kelompok tersebut melakukan demonstrasi yang berawal dari keluarnya hasil pemilihan umum Bolivia yang memenangkan Evo Morales. Hasil akhir menunjukkan Morales unggul 10% suara dari pesaingnya, Carlos Mesa. Berkat keunggulan itu, Morales langsung menang di putaran pertama pilpres.
Dalam demonstrasi tersebut terdapat dua kubu, yaitu oposisi dan kubu Morales. Bentrokan tidak dapat dihindari antara kedua kubu sehingga menimbulkan sedikitnya tiga orang tewas serta ratusan lainnya cedera (dikutip dari BBC.com). Ketegangan terus menghiasi Kota Bolivia selama tiga pekan menuntut pengunduran diri Evo Morales.
Masyarakat menilai terdapat kecurangan yang dilakukan Evo untuk memenangkan kembali menjadi presiden. Pada masa pencalonan Presiden Evo Morales telah melakukan banding terhadap Mahkamah Konstitusi. Ia kembali berlaga dalam pemilu presiden keempatnya pada bulan Oktober lalu setelah Mahkamah Konstitusi membuat keputusan kontroversial yang menghapus peraturan tentang batas masa jabatan presiden.
Dalam referendum tahun 2016, mayoritas memilih "tidak" alias menolak amandemen konstitusi mengenai perpanjangan masa jabatan presiden. Meski demikian, Partai Movement Towards Socialism (MAS) membawa masalah itu ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017, yang pada akhirnya menghapus sama sekali aturan tentang masa jabatan presiden. Evo Morales beranggapan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak asasi manusia. Hal ini juga menjadi salah satu kecurigaan masyarakat kepada Evo Morales.
Pada 10 November, Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) selaku pemantau pemilu, mengklaim menemukan "manipulasi yang jelas" dalam proses pemilihan. OAS kemudian menyerukan agar hasil pemilu dibatalkan. Evo Morales lantas meminta agar pemilihan presiden diulang. Namun, tekanan terhadap dirinya terlalu kuat dan sejumlah sekutu politiknya Wakil Presiden, Alvaro Garcia Linera, dan Ketua Senat, Adriana Salvatierra, mengambil langkah mengundurkan diri. Beberapa di antara mereka mengaku khawatir akan keselamatan keluarga. Panglima Angkatan Bersenjata Bolivia, Jenderal Williams Kaliman, mendesak Morales lengser "agar situasi damai dan stabilitas terjaga".
Pada 10 November, Evo Morales mengundurkan diri dari Presiden Bolivia. Dia mendapat suaka oleh Meksiko untuk mendapatkan tempat yang aman. Selasa, 12 November, Jeanine Anez mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara.
Keputusan tersebut diambil sesuai dengan hukum Bolivia yang telah mengatur tentang jabatan ketika presiden dan wakil presiden mengundurkan diri.
Jeanine Anez merupakan Wakil Senat yang berasal dari partai oposisi (Partai Gerakan Sosial Demokrasi). Sosok anti-Morales ini mengambil alih kepemimpinan di hadapan anggota parlemen lainnya di Kongres. Dia mengajukan klausul konstitusional yang menyatakan dia berada di urutan berikutnya untuk memerintah negara itu setelah Morales dan wakil presidennya Alvaro Garcia mengundurkan diri.
Morales beranggapan langkah Anez menggantikannya sebagai bagian dari kudeta paling licik dan berbahaya dalam sejarah. Dia pun menyatakan akan tetap berada dalam karier politik untuk terus bertarung (dikutip dari International.Republika.com).
Perjalanan Evo Morales
Pada tahun 2005, seorang Indian (Aymara) terpilih sebagai Presiden Bolivia. Dia menjadi orang pribumi pertama yang menduduki kursi nomor satu di negeri mayoritas Indian itu. Kemenangan Evo di Pemilu tahun 2005 cukup menggemparkan. Betapa tidak, ia berhasil menyingkirkan Jorge “Tuto” Quiroga, orang kaya yang pernah jadi Presiden Bolivia tahun 2001-2002. Sementara Evo hanya anak keluarga miskin dan pemimpin serikat petani Coca.
Evo resmi menjadi Presiden Bolivia tanggal 22 Januari 2006. Begitu memegang tampuk kekuasaan, Evo langsung memenuhi janji politiknya semasa kampanye. Perjalanan Morales diisi dengan berbagai usaha keras untuk mengikis arus neoliberal yang mengakar di pemerintahan Bolivia selama empat dekade lebih. Pesannya jelas: neoliberal tidak punya tempat di struktur kehidupan masyarakat, baik secara politik maupun ekonomi.
Tak lama usai dilantik, ia segera ambil langkah yang berani: menulis ulang konstitusi, menasionalisasi sektor industri, dan memastikan bahwa sumber daya alam negara yang dimiliki negara benar-benar tersalurkan kepada rakyat. Cita-cita pemerintahan Morales mirip dengan apa yang dilakukan Castro dan Chavez.
Perlahan, upaya Morales membuahkan hasil. Setelah berkali-kali dihantam tekanan dari IMF dan Bank Dunia melalui serangkaian kebijakan privatisasi, yang berdampak pada terkurasnya sumber daya alam, Bolivia dapat berdiri tegak.
Satu dekade pemerintahan Morales ditandai dengan pencapaian ekonomi yang cukup mengesankan. Laporan Center for Economic and Policy Research (CEPR) menyebut pertumbuhan ekonomi Bolivia mencapai 4,9 persen tiap tahunnya sejak Morales berkuasa. Selain itu, Morales juga berhasil menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 25 persen sampai meningkatkan upah minimum hingga angka 87,7 persen. Kunci keberhasilan Morales terletak pada kebijakan fiskal yang ekspansif dan kontrol penuh atas sumber daya nasional, terutama sektor hidrokarbon (dikutip dari tirto.id)
Perjalanan Evo Morales juga dihiasi dengan percobaan’destabilisasi’ dan menggulingkan presiden oleh negara-negara imperialis dan sekutu lokalnya. Di antaranya: secara ekonomi (pembekuan deposito bank pada tahun 2006; sabotase produksi dari tahun 2007-2009; dan boikot pangan pada tahun 2007-08) dan secara politik (sabotase terhadap Majelis Konstituante pada tahun 2006-08; referendum menuntut otonomi pada tahun 2008; tuntutan recall presiden pada tahun 2008) militer (percobaan kudeta pada tahun 2008 dan separatisme pada tahun 2009).
Seiring berjalannya kekuasaan Evo Morales, masyarakat menilai bahwa tindakan beliau hampir sama dengan seorang diktator. Evo Morales tidak tahu kapan untuk turun. Ia berusaha untuk terus menjadi pemimpin Negara Bolivia. Sehingga dia melakukan banding penghapusan pembatasan pencalonan presiden. Masyarakat juga melihat bahwa sudah terjadi pergeseran keputusan yang sudah tidak lagi berdasarkan rakyat melainkan hanya kepentingan pribadi.
Lord Acton memiliki pandangan, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Seperti ini lah yang terjadi pada Evo Morales, Absolut power yang dimilikinya disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan menggunakan keputusan untuk kepentingan pribadinya.
Kemudian sebagaimana juga yang dikatakan Machivelli dalam mempertahankan kekuasaan, yaitu “menghalalkan segala cara untuk mendapatkan/mempertahankan kekuasaan”. Hal ini justru dinilai salah oleh masyarakat.
Inilah perubahan sosial dan politik yang terjadi. Pada awalnya Evo Morales merupakan sosok yang dibutuhkan masyarakat sebagai seorang pribumi untuk memperbaiki berbagai sektor pada Negara Bolivia. Berjalannya waktu dengan tindakannya membuat luntur kepercayaan masyarakat kepadanya. Sehingga masyarakat menginginkan perubahan pada pemimpin Bolivia.
Prestasi Evo Morales dan kemajuan Negara Bolivia akan menjadi sejarah bagi dunia. Walaupun dia sudah tidak menjadi Presiden tetapi ia menyatakan "Selama aku masih hidup, kita akan tetap dalam politik. Selama saya masih hidup, pertarungan berlanjut".***
Penulis adalah alumni Ilmu Politik USU dan Peneliti CISDEV USU.