
Oleh: Juniper Silitonga
MEDAN sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia, semakin tahun semakin tidak ada menampakkan progress perkembangan atau kemajuan. Baik itu dari aspek sosial, budaya, ekonomi, maupun secara infrastruktur. Hal ini semakin menegaskan kita sebagai warganya, bahwa selama 19 tahun Kota Medan telah salah urus. Para kepala daerah yang sudah dipercayakan oleh masyarakat melalui mekanisme Pilkada, terus disibukkan dengan tugas seremonial belaka. Semua walikotanya mandul prestasi dan hanya mementingkan isi perutnya sendiri.
Fakta ini sudah dipertontonkan secara telanjang dari terbongkarnya kasus Walikota T Dzulmi Eldin, yang kini menjadi tersangka oleh KPK. Hanya gara-gara masalah biaya liburan bersama keluarga, para oknum kepala dinasnya harus memberikan setoran duit kepada sang walikota. Diduga selama ini para kepala dinas di Pemko Medan wajib memberikan upeti kepada sang walikota untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Terang saja pembangunan di Kota Medan tidak pernah ada kemajuan. Lihat saja kondisi jalan di inti kota dan yang di tingkat kelurahan, rusaknya semakin permanen. Ditambah adanya ‘wisata’ banjir di setiap sudut jalan bila hujan mengguyur Kota Medan. Sudah bisa kita pastikan, walikotanya hanya duduk diam.
Tidak pernah ada sebuah terobosan yang dikerjakan walikota terkait kedua ‘bencana besar’ tersebut. Padahal APBD terus mengucur ke dinas-dinas terkait, tapi hasil programnya tidak berdampak. Semua pihak kelihatannya mengambil kesempatan untuk mencuri dana APBD tadi. Sehingga kenyamanan dan keselamatan warganya pun sering diabaikan. Masing-masing pihak cenderung menunggu atau mengintip celah adanya permintaan dan penawaran yang sudah terpola bertahun-tahun lamanya.
Bila APBD mau cepat dicairkan, para kepala dinas harus bersedia memberikan komitmennya (upeti) kepada sang walikota. Itulah mengapa KPK sampai sekarang ini terus memanggil para kepala dinas sebagai saksi atas kasus dugaan suap Walikota Dzulmi Eldin. Sekalipun para kepala dinas tersebut pintar memainkan sandiwaranya di depan tv, tapi sebenarnya warga Kota Medan sudah tahu banyak persengkongkolan mereka. Hanya saja, masyarakat Kota Medan ini banyak yang acuh tidak acuh. Istilah kerennya begini, bante kau lah situ kisanak! Munculnya istilah tersebut, juga tidak terlepas dari sikap para wakil rakyat yang duduk di DPRD Kota Medan. Alih-alih mereka menjalankan fungsi pengawasannya, tapi praktek saat realisasi anggaran di tingkat dinas, mereka diduga juga ikut ‘bermain’.
Lihat saja kondisi Kota Medan selama 19 tahun ini, tidak ada satu pun wakil rakyat itu yang concern ‘melibas’ hasil program pemerintah. Satu sama lain seolah sudah saling mengerti. Biar tidak ingin kami ributi program kalian (pemerintah), anggaran untuk kami di DPRD juga jangan kau komentari pak wali. Pola pembangunan kota yang tidak jelas panduannya inilah yang kemudian akhirnya membuat Medan menjadi kota autopilot. Meskipun secara entitas, walikota dan DPRD-nya ada, toh juga bentuk intervensi (campur tangan) yang sifatnya konstruktif tidak pernah ada. Lihat saja contoh renovasi pembangunan pasar tradisional, keduanya seolah gak urus itu bangunannya memenuhi spesifikasi atau tidak. Yang penting program pemerintahan sudah berjalan dan tinggal mengkondisikan saja nanti laporannya saat LPJ walikota setiap tahunnya.
Pola kota autopilot yang terjadi selama ini semakin menegaskan kembali bahwa kinerja pihak eksekutif dan legislatif nilainya nol besar. Pelayanan publik yang diprogramkan masih sebatas jargon semata. Apabila warga ingin mengurus kelengkapan administrasi kependudukannya, masih melewati birokrasi yang panjang. Ditambah lagi jangka waktu pengurusannya bisa selesai seminggu atau dua minggu lamanya. Begitu juga dengan masalah akut pengelolaan parkir, yang hingga kini tidak kunjung selesai.
Dari beberapa fakta tadi, warga Medan sebenarnya selama ini telah menjadi pilot sekaligus penumpang atas dirinya sendiri. Karena warga telah mampu untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kepentingannya. Mau mengurus kelengkapan administrasi kependudukan, warga sudah bisa langsung datang sendiri ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Jika punya kartu KIS atau BPJS, tidak wajib berobat ke rumah sakit milik pemerintah karena bisa langsung ke rumah sakit swasta.
Tindakan warga tersebut bisa terjadi karena memang fasilitasnya sudah disediakan oleh pemerintah pusat. Jadi pihak Pemko Medan seharusnya menyiapkan para ASN yang bermutu dan mampu memberikan standart pelayanan prima bagi warga. Bukan jadi justru memperlama urusan warganya. Karena melalui standart pelayanan dan SDM ASN yang bermutu inilah diharapkan bisa membantu segala urusan warga Kota Medan cepat selesai. Sudah saatnya sentilan kota autopilot ini dihilangkan supaya kehadiran pemerintahannya bisa benar-benar dirasakan oleh warga.***
Penulis peminat masalah sosial/alumnus Fakultas Ilmu Budaya USU.