Language is Power

language-is-power

Oleh: Suadi

Dalam interaksi komunikasi sehari-hari, ditemukan banyak hal unik. Bahasa ujar (spoken language) tidak sebatas mengacu kepada suara beserta intonasi, diksi, mimik wajah dan body la­nguage ketika bahasa itu dituturkan. Tetapi juga mengacu kepada perihal seberapa kuat pengaruh bahasa tutur itu terhadap lawan bicaranya. Dalam konteks ini kita akan mafhum, terkadang ada orang yang bicaranya didengar dan ditaati oleh lawan bicara. Sebaliknya, kadangkala ada orang ketika bicara tidak digubris oleh lawan bicara. Power yang dimiliki orang berbicara menciptakan kondisi apakah yang dituturkan seseorang itu didengar atau sebaliknya, dianggap suara kentut.

Maka kita tidak heran kenapa Amerika Serikat (AS) omongannya kerap didengar negara-negara di dunia. Dalam buku David Crystal (2003:7-10) berjudul: “English as a Global Language” faktor keunggulan super di bidang politik, militer, ekonomi dan budaya menjadi musabab kenapa Bahasa Inggris jadi bahasa dunia dan kenapa ucapan pe­mimpin Amerika dan apapun peristiwa terjadi di sana, didengar dan turut mem­pengaruhi seantero global.

Robert Philipson (1992) dalam buku berjudul: “Linguistic Imperialism” me­ngurai lebih menohok. Bahasa Inggris jadi bahasa dunia karena efek domino dari warisan kolonial, penjajahan budaya di mana Bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar di bidang ekonomi, sains, tekno­logi, media, pemerintahan dan pendidikan.

Jadi jangan heran, apapun ucapan dan kebijakan Negeri Paman Sam, semua negara di dunia akan mendengar dan sebagian besar mematuhi. Hal tersebut disebabkan ketergantungan mayoritas negara-negara di dunia terhadap keung­gulan power yang dimiliki oleh Amerika. Sehingga semua negara mau tidak mau, suka tidak suka, harus berurusan dengan negara itu. Contoh: banyak negara utang ke IMF bikinan Amerika. Indonesia transaksi ekspor impor pakai dollar. Komunikasi antar negara pakai Bahasa Inggris. Kita pun ketika mengetik di laptop pakai Microsoft word sistem operasinya menggunakan Bahasa Inggris.

Superior dan Inferior

Ada orang bertutur dengan percaya diri dan bebas mengekspresikan apa pun yang ada dalam pikirannya tanpa rasa takut, tanpa beban, dan tidak terkekang. Kenapa ia berani ngomong begitu? Ka­rena dirinya punya faktor power, seperti garis keturunan, status sosial tinggi, koneksi kuat, pangkat jabatan, punya pe­ngaruh dan kedudukan. Orang-orang semacam ini selow saja menga­takan apapun tanpa takut resiko.

Celakanya, jika perasaan superior seperti itu terlanjur overdosis. Dia pun merasa, dia tak butuh orang lain. Orang yang butuh dia. Di sinilah mulai tumbuh bibit-bibit megalomaniac, yaitu penyakit kekuasaan dan kebesaran diri. Ia ber­tingkah jumawa, keras kepala dan meng­anggap cuma omongannya yang benar, harus didengar dan dituruti. Ini sejalan dengan pendapat Dale Carnegie (1953) yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk beremosi, makhluk yang penuh prasangka dan dimotivasi kebang­gan diri.

Di tempat perbelanjaan, orang-orang seperti itu biasanya cerewet maksimal, mendetail menanyakan suatu produk, menawar tak rasional, dan tidak segan-segan melontarkan komentar buruk dengan bahasa kasar jika pelayanan dirasa mengecewakan. Dalam dunia kerja lebih mengerikan. Overdosis megalomania berbahasa akibat faktor power jabatan membuat atasan merasa superior dan enteng saja sesuka hati mencaci, memberi peringatan bahkan memecat bawahan.

Berbeda halnya jika yang ngomong itu orang biasa. Apalagi miskin. Kalau sedang bicara, orang tak segan memo­tong, membercandai dan mengolok-olok. Faktor tak punya apa-apa ikut membentuk karakter inferior. Jika pun hati dongkol dan mau protes, lebih sering dipendam dalam hati. Terlalu lama larut dalam kondisi minus: minus harta, minus ilmu, minus koneksi, minus skill dan minus segalanya, turut memperparah sikap inferior makin berkarat. Akhirnya, hak-haknya sendiri pun tak berani disuarakan dan kerap bersikap pasrah menerima takdir.

Orang seperti itu jangankan memban­tah, menawar atau memprotes. Bertanya harga suatu produk pun takut karena tak pede dan terlanjur alam bawah sadar sudah terformat merasa tak mampu beli. Karakter inferior membuat dirinya terpen­jara dalam kebutaan terhadap hak-hak sendiri.

Perilaku superior dan inferior berba­hasa antar negara di dunia ini juga sama seperti itu. Diperhatikan atau tidak tergan­tung seberapa kuat power yang dimiliki negara tersebut. Amerika dan Tiongkok sudah membuktikan. Lewat hegemoni ekonomi, politik, militer dan budaya sukses membuat dunia mau mendengar dan mematuhi apa yang mereka berdua ucapkan. Terbukti, begitu Amerika vs Tiongkok lagi seru adu tinju perang da­gang, semua negara di dunia terseret jadi korban merasakan dampaknya.

Language is Power

Adagium: ‘Language is Power’ me­nga­cu bagaimana kekuatan kata-kata memberi pengaruh kepada dunia. Namun, perlu diingat, bahasa tidak sebatas bagai­mana ia dikemas sehingga bagus, sastra­wi, inspiratif, motivatif atau menggugah banyak orang. Tetapi bahasa juga butuh media penyampaian yang powerful. Media penyampaian powerful inilah ujung tombak berwujud figur perseora­ngan, media massa maupun suatu negara. Tanpa itu, language is empty. Bahasa kosong melompong tak punya kekuatan dan pengaruh. Ia bagaikan suara di ruang hampa.

Jika skalanya perseorangan, maka efeknya sebatas lingkungan sekitar. Kecuali kalau figur perseorangan itu jadi pemimpin suatu negara superpower, misalnya Presiden Amerika. Namun bila scope-nya kebijakan suatu negara, maka efeknya meluas seantero dunia. Begitu pula bahasa akan punya power dan pengaruh dahsyat ketika disiarkan oleh media yang bergigi seperti CNN, Reuters, Al-Jazeera dan sebagainya.

Dalam penutup tulisan ini, mari kita cermati ucapan Jack Ma: “Ketika kamu miskin, belum sukses, semua kata-kata bijakmu terdengar seperti kentut. Tapi ketika kamu kaya dan sukses, kentutmu terdengar sangat bijak dan meng­isnpirasi”. ***

Penulis alumnus UMSU S1 & UNNES S2. Dosen STAIN Mandailing Natal

()

Baca Juga

Rekomendasi