Saat Penang Jadi Tujuan Berobat

saat-penang-jadi-tujuan-berobat

Oleh: Jan Roi A Sinaga

Mengacu pada data Indonesia Service Dialog (ISD), setiap tahunnya orang Indonesia menghabiskan uang triliunan rupiah untuk mendapatkan layanan kesehatan di luar negeri. Ke mana tujuan mereka? Berdasarkan rilis resmi Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC) yang merupakan agensi kesehatan milik Kementerian Kesehatan Malaysia dan menaungi 73 rumah sakit berakreditasi internasional, dari 1,2 juta pasien internasional di Malaysia, 900.000 berasal dari Indonesia. Dan sekitar 400.000 orang, memilih Penang sebagai tujuan berobat, selain Kuala Lumpur, Kucing, dan daerah lainnya di Malaysia. Medical check up, konsultasi sebagai second opinion dan operasi, ada­lah hal yang sering dilakukan pasien asal Indonesia.

Kenapa ke Penang, atau luar negeri? Founder dan Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (chapters), Luthfi Mardiansyah, menutur­kan, ada beberapa hal yang menjadi alasan utama pasien asal Indonesia memilih luar negeri sebagai tujuan berobat daripada di dalam negeri. Pasien yang berobat ke Penang terbanyak berasal dari Sumatera Utara dan Aceh. Alasannya, karena daerah ini jauh lebih dekat ke Penang daripada ke Jakarta. Dari segi biaya transportasi, juga lebih murah.

Kemudian, perihal pelayanan kese­hatan di dalam negeri sendiri, yang masih lebih rendah dibandingkan dengan di luar negeri, seperti Penang. Mulai dari pela­yanan, teknologi kesehatan, serta diag­nosis atas sebuah penyakit yang diderita oleh pasien. Hal juga dituturkan oleh mereka yang telah kembali berobat dari Penang, yang menyatakan bahwa dari segi pelayanan, rumah sakit di dalam negeri masih tertinggal satu langkah dari rumah sakit yang ada di Penang.

Tidak bisa dipungkiri lagi, dengan semakin meningkatnya orang Indonesia yang berobat keluar negeri, trust publik terhadap pelayanan kesehatan di negara sendiri cenderung menurun. Dan keadaan ini tidak bisa serta merta dibebankan kepada “pengelola” jasa kesehatan saja, melainkan perlunya perbaikan sistem kesehatan di negara kita, oleh Pemerintah Indonesia. Perhatian pemerintah dalam membangun sistem pelayanan kesehatan yang baik di negara kita, perlu untuk segera dieksekusi, guna mengoptimalkan pelayanan kesehatan di dalam negeri, sehingga “ongkos” berobat yang selama ini pergi ke luar negeri, bisa tetap “berputar” di dalam negeri.

Tantangan bagi Terawan

Setelah resmi menjabat sebagai Men­teri Kesehatan, dengan sejumlah kontro­versinya seperti surat keberatan dari MKEK IDI, beban berat menanti dr Te­rawan untuk bisa berbuat yang terbaik bagi dunia kesehatan Indonesia. Langkah pertama yang beliau lakukan juga ter­golong unik, apakah ini sebagai sindiran bagi jajaran direksi BPJS-Kesehatan atau tidak, dr Terawan mengaku akan me­nyum­­bangkan gaji pertamanya seba­gai Menkes kepada BPJS-Kesehatan, se­bagai bagian dari sedikit upaya me­nanggulangi defisit badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan itu.

BPJS-Kesehatan memang tengah men­jadi sorotan, mengingat defisit yang mereka alami sangat membebani keua­ngan negara, di tengah besarnya gaji jajaran direksi dan dewan pengawas di lingkungan mereka. Tetapi, masalah dunia kesehatan bangsa ini bukan hanya pada BPJS Kesehatan semata, melainkan pada “bentuk” pelayanan kesehatan yang belum merata, dan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara tetang­ga, Malaysia dan Singapura.

Anggaran kesehatan di negara kita tidak sebanding dengan jumlah pendu­duk, ditambah lagi fokus pemerintah be­lum benar-benar terarah untuk mem­per­baiki dunia kesehatan kita. Sebagai pem­banding, mari kita lihat jumlah anggaran kesehatan yang digelontorkan Pemerin­tah Indonesia, dengan Malaysia. Berda­sarkan outlook APBN 2019, anggaran kesehatan kita hanya berkisar Rp 59,67 Triliun. Artinya, jika dibagikan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini ber­dasarkan rilis BPS sebanyak 269 juta jiwa, maka setiap 1 orang Indonesia akan mendapat biaya kesehatan sebesar Rp 229.500.

Malaysia, dengan jumlah penduduk sebanyak 32 juta jiwa, di mana penduduk Penang sebanyak 1,7 juta jiwa (masih lebih banyak jumlah subscriber-nya Atta Halilintar), menggelontorkan anggaran kesehatan nasional sebesar Rp 98,2 triliun, yang artinya setiap 1 penduduk Malaysia mendapatkan biaya kesehatan lebih kurang senilai Rp 3 juta.

Dengan margin perbandingan angga­ran kesehatan yang begitu besar, Malaysia leluasa mengembangkan kua­litas pelaya­nan kesehatannya, bahkan Pemerintah Malaysia menargetkan lebih banyak lagi rumah sakit yang berakre­ditasi interna­sional. Itu masih soal anggaran, karena jika melihat lagi dari segi jumlah dokter umum dan spesialis, negara kita juga masih kalah jauh.

Kementerian Kesehatan pada 2017 merilis jumlah dokter umum dan spesialis yang terdaftar di negara kita. Perban­dingannya dengan jumlah penduduk adalah demikian; dokter umum:war­ga=1:2.100, sementara dokter spesialis: warga= 1:10.000. Lalu, kita bandingkan dengan data yang dirilis dari Departemen Statistic of Malaysia (data 2011) terkait jumlah dokter umum dan spesialisnya, yakni 1:632 dan 1: 4.500. Berkaca dari data di atas, jelas dokter di Indonesia begitu kewalahan dalam menjalankan pelayanan kesehatan, sehing­ga terjadi antrean panjang di setiap rumah sakit di negara kita.

Pemerintah tidak boleh menutup mata akan persoalan seperti ini, di mana persoalan kesehatan bukan sebatas keberadaan teknologi kesehatan tercang­gih, namun juga kepada jumlah anggaran dan petugas kesehatan yang berimbang dengan jumlah penduduk. Karena, jika permasalahan seperti ini tidak segera diatasi, bagi rakyat yang memiliki kemampuan ekonomi kategori sedang hingga mapan, akan selalu memilih Penang atau negara lain sebagai tujuan utama mendapatkan layanan kesehatan.

Pemerintah Malaysia begitu concern terhadap upaya peningkatan mutu dunia kesehatan di negara mereka. Lewat ang­garan yang besar, Pemerintahan Diraja Malaysia terus mendorong setiap rumah sakit untuk bisa memberikan pela­yanan terbaik, dengan harga terjang­kau, dan terus berproses mendapatkan akreditasi internasional. Mereka sadar, bahwa di saat pelayanan kesehatannya begitu baik, promosi yang juga baik, maka negara mereka khususnya Penang akan menjadi tujuan wisata kesehatan internasional yang mendatangkan pemasukan bagi ne­gara, guna kesejahteraan masyarakatnya.

Memang, memaksakan dunia keseha­tan di Malaysia sama dengan Indonesia tidak mudah, mengingat perbedaan jum­lah penduduk, pendapatan per kapita, yang berkaitan erat dengan alokasi ang­garan bagi Kementerian Kesehatan ma­sing-masing. Namun, hal inilah yang menjadi tantangan bagi Kementerian Ke­sehatan Indonesia, terkhusus dr Terawan, bagai­mana memoles dan me­ningkatkan standar pelayanan kesehatan kita, di tengah keterbatasan yang ada. Mungkin cara instan yang bisa dilakukan peme­rintah adalah de­ngan menambah jumlah anggaran pada tahun-tahun berikutnya, sehingga kemen­terian kesehatan sedikit leluasa “mengutak-atik” ang­garan yang ada demi perbaikan layanan kesehatan nasional.

Fokus utama pemerintah dalam bidang kesehatan sebaiknya dikhususkan bagi daerah terluar dan tertinggal. Mulai dari infrastruktur kesehatan yang memadai, sampai pada jumlah petugas medis yang berimbang dengan jumlah penduduk. Karena hanya dengan pelayanan yang baiklah, kita mampu mengembalikan ke­percayaan masyarakat terhadap pelaya­nan kesehatan kita, sehingga berobat ke­luar negeri hanya menjadi opsi kesekian.

Menetapkan target di mana dunia kesehatan kita bisa merambah “pasar inter­nasional”, biarlah menjadi wacana untuk saat ini, karena Indonesia yang luas ini, dengan penduduknya yang begitu be­sar, butuh sarana dan prasarana kese­hatan yang memadai dan layak. Layak dalam artian faktor penunjang pelayanan kese­hatan yang baik, seperti dokter yang ada hingga daerah terpencil, layanan ambulan disetiap desa, dan memperbanyak praktisi keseha­tan yang menjangkau seluruh lapisan ma­syarakat, guna memas­tikan “sadar kese­hatan” benar-benar menjadi tanggung­jawab bersama.

Pemerintah jangan abai atau menomor­duakan kesehatan di negara kita, karena sudah sewajarnya anggaran yang lebih besar ada pada dunia kesehatan, demi mewujudkan impian bangsa, yakni Indonesia maju. Jika hal ini tidak bisa dilakukan, maka cita-cita Indonesia emas 2045 nanti sangat sulit untuk digapai.

Semoga Kementerian Kesehatan di bawah kendali dr. Terawan mampu meng­aplikasikan Indonesia sehat yang kita impikan bersama. Mengentaskan perma­salahan stunting, membuat “ong­kos” kese­hatan terjangkau masyarakat, serta peningkatan standar kualitas pelayanan kesehatan baik dari segi infrastruktur pe­nunjang, teknologi, hingga kepada pe­tugas kesehatan yang memadai dan kapabel.

Kita tidak bisa serta merta melarang orang Indonesia untuk berobat ke Penang, atau negeri lainnya. Bahkan Penang, sesuai instruksi Pemerintah Diraja Malaysia, akan terus berkembang, dan mereformasi fasilitas kesehatan mereka menjadi lebih maju. Yang bisa kita laku­kan adalah, ikut bertumbuh, berproses menjadi lebih baik lagi, hingga nantinya bisa memiliki standar yang sama seperti Penang dalam bidang kesehatan, atau bahkan mengunggulinya. Semoga!***

Penulis pemerhati social dan budaya

()

Baca Juga

Rekomendasi