Transfer of Knowledge Vs Transfer of Spiritual

transfer-of-knowledge-vs-transfer-of-spiritual

Oleh: Tgk. Helmi Abu Bakar el-lamkawi, M. Pd. Era revolusi industri 4.0 terus merambah seiring zaman waktu dan rotasi menuju porosnya dan ini seseuatu yang tidak dapat dihindari serta menjadi sunnatulah. Perkemba­ngan dunia pendidikan dewasa ini rea­lita yang sering terjadi di dunia pendi­dikan. Tujuan pendidikan itu hanya sebagai transfer of knowledge (mentransfer ilmu). Padahal tujuan pendidikan tidak hanya sekadar transfer of know­ledge seorang mu’allim (guru) kepada student (pelajar), tetapi bahkan lebih dari hal tersebut, yakni dengan mengintegralkan antara transfer of know­ledge dengan transfer of value (mentransfer nilai), sehingga generasi yang dilahirkan bukan hanya intelektual semata, tetapi juga ber-akhalaqul karimah.

Hal ini sejalan dengan tujuan pen­didikan di negara ini yang memiliki aturan khusus yang mengatur masalah pendidikan, yaitu UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 1 UU Sis­diknas ini disebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk me­wujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan diri­nya, masyarakat, bangsa dan ne­gara. Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengem­bangkan potensi dan daya kreativitas yang dimili­kinya agar tetap survive dalam hidup­nya. Karena itu, daya kritis dan partisi­patif harus selalu muncul dalam jiwa peserta didik. Anehnya, pendidikan yang telah lama berjalan tidak menun­jukkan hal yang diinginkan. Justru pendidikan hanya dijadikan alat indoktrinasi berbagai kepentingan. Hal inilah yang sebenarnya merupakan akar dehumanisasi (Khilmi Arif, 2002).

Di era industri 4.0 sangat pentingnya pendidikan karakter. Setiap Iindividu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang baik terhadap Allah Yang Maha Kuasa, dirinya ,sesa­ma lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional. Pada umum­nya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan di sertai dengan kesadaran, emosi dan motivasi­nya (perasaannya). Dengan adanya pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang siswa akan menjadi cerdas emosinya. Bekal penting dalam mem­persiapkan seorang siswa dalam me­nyongsong masa depan adalah kecer­dasan emosi, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Selain itu, pendidikan karakteradalah kunci keberhasilan individu.Karakter tersebut diharapkan menjadi kepribadian utuh yang mencer­minkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati (kejujuran dan rasa tanggung jawab), pikir (kecerdasan), raga (kesehatan dan kebersihan), serta rasa (kepedulian) dan karsa (keahlian dan kreativitas). Pendidikan karakter di lakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga ,satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. (Dwi Yuni Arsih, Pentingnya Pendidikan Karakter, 2017).

Menelesuri aktifitas dan kenyataan di dunia pendidikan saat ini dalam mengemas sebuah pendidikan, pembe­lajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-keka­cauan yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi atas keka­cauan ini. Beranjak dari itu pendi­dikan dengan basis karaktrer sangatlah pen­ting untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia tarbiyah, seseorang tidak akan memperoleh ilmu tanpa melalui perantaraan muallim (guru) baik secara langsung atau tidak langsung. Seorang murid dengan sungguh-sung­guh menunut ilmu dari gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas mem­berikan pendidikan dan penga­jaran kepada muridnya, hingga dengan demikian terjadilah hubungan yang harmonis antara keduanya. Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Seperti yang telah disebut­kan diatas, dalam menjalani kehidupan sehari-hari prosesi rabitah (ikatan bathin) itu banyak yang telah kita lakoni walaupun dalam berbagai versi aplikasi­nya sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Didunia pendi­dikan umpama­nya, rabithah antara murid dengan guru biasa adalah me­nyalurkan ilmu penge­tahuan (trans­fer of knowledge), sejauh mana seorang murid mampu mencerna dan menang­kap apa yang telah disalurkan oleh sang gurunya tersebut, itulah yang diperoleh oleh anak didiknya. Sedang­kan dalam persoalan keroha­niahan, rabithah antara murid dengan guru mursyid yakni menyalurkan masalah kerohaniahan atau yang sering disebut denagn “transfer of spiritual”.

Persamaanya “tranferisasi” nya mem­butuhkan seorang mursyid (guru), sebab tanpa perantaraan guru tidak mungkin murid memperoleh “keil­muan”nya. Bahkan sinilah letak per­bedaannya. Transfer of knowledge tidak akan sempurna tanpa peranan guru, terlebih lagi “transfer of spiritual“ yang jauh lebih spesifik dan tinggi perkaranya, maka tidak akan terkoneksi spritualnya tanpa guru mursyid. Bahkan Imam Abu Yazid Al-Bustami menye­butkan: ”Ba­rang­siapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syaitan”. (Tafsir Ruhul Bayan Juz V, hal 203). Bentuk rabitah seorang pelajar dengan gurunya, mereka menghoramti guru dan ahlinya dan menjalankan apa yang telah diketahuinya, dengan berbuat apa yang diketahui Allahpun akan memberikan ilmu yang belum diketahuinya.

Sebuah kisah menarik diceritakan, pada suatu hari Imam Syafi’i RA yang sedang mengajar ribuan para santrinya, secara tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan seseorang badui yang berpakaian lusuh, kumal dan kotor. Akan tetapi Imam Syafi’i langsung men­dekati dan memeluknya. Namun Para santri merasa kaget dan heran melihat perilaku gurunya itu. Setelah selesai mengajar, merekapun bertanya: “Siapa dia wahai guru, sampai engkau meme­luknya erat-erat. Padahal dia merupa­kan seorang badui yang kumuh, kotor, dan menjijikkan?” Imam Syafi’i menja­wab: “Beliau adalah guruku. Dia yang telah mengajariku tentang perbedaan antara anjing yang cukup umur dengan anjing yang masih kecil. Aku pun bertanya hal tersebut kepada badwi yang ku peluk tadi. Baduwi itu mene­rangkan bahwa anjing yang cukup umur meng­angkat sebelah kaki bela­kang apabila kencing, sedangkan anjing yang belum baligh tidak mengangkat kakinya bila kencing. Dengan panduan baduwi itulah, maka aku dapat menyiap­kan kitabku itu.” Sungguh mulia akhlak Imam Syafi’i. Beliau menghormati semua guru-guru­nya, meskipun dari masyara­kat biasa.

Sudah selayak dan sepatutnya kita terlebih yang hidup pada era industri 4.0 sekarang ini untuk terus merabitah diri dalam segala hal dan kondisi sehingga setiap usaha yang kita lakukan akan membuahkan hasil yang maksimal dan selalu berorientasi kepada akhirat, pundi-pundi tabungan yang akan kita petik nantipun akan semakin bermakna. Rabitah merupakan semangat persa­tuan dan menghalaukan diri dari musuh-musuh yang akan mengacaukan ranah dan wilayah kita. Memerangi hawa nafsu dan bala tentaranya merupakan Jihad terbesar dalam sejarah kehidupan ma­nusia sebaagimana yang telah diaprea­sisikan sendiri oleh rasululah dalam sabda-Nya. “Kamu telah kembali (dari) sebaik-baik tempat kembali (medan perang), dan kamu telah kembali dari jihad yang kecil kepada jihad yang lebih besar, yaitu jihad seseorang hamba menen­tang nafsunya” (HR. Boihaqi). Diantara bala tentara tersebut adalah kebodohan merupakan musuh yang selalu meng­gerogoti kita setiap waktu dan kesem­patan. Kebodohan itulah musuh bersama yang harus dibasmi dengan cahaya ilmu lewat tradisi ta’lim yang telah diwariskan oleh para assabiqul awwalun.

Dengan semangat rabitah optimis­me dan wasilah sehingga lahirnya berpikir positif merupakan sebagai modal utama untuk meraih masa depan yang cemerlang dan selalu meng­hampiri setiap insan dalam menjalankan kewajiban dan tugasnya sehari-hari, aktifitas atau ibadah yang berkalaborasi dengan rabitah itu dalam bahasa spesifiknya rasulullah menyebut dengan “ihsan” akan melahirkan buah ibadah tersebut dan terbungkus dalam nilai keikhlasan dan keridahaan ilahi rabbi. Dalam diri seseorang seolah-olah dan selalu hadir di setiap kesempatan bahwa ada sebuah cctv (kamera pengintai) yang selalu mengintip dan malaikat akan mencatat setiap gerak dan langkah yang akan dipertanggunngjawabkan esok di pengadilan yang sesungguhnya dihada­pan sang khalik Allah SWT sehingga dengan dua permata indah ini yakni rabitah dan wasilah yang telah terpatri dalam latifah rabbaniah seorang salik (penempuh jalan ibadah) akan lebih mudah dalam menjemput mardhatillah di setiap waktu dan kesempatan dan keharuman dan keelokan akhlakul kari­mah mereka bukanhanya dapat di rasa­kan oleh makhluk yang bernama manu­sia namun hewan dan alam seki­tarpun akan selalu tersenyum indah oleh sentuhan mereka sang salik. Semoga.

Penulis: Dewan Guru Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga dan Pengajar di IAI Al-Aziziyah Samalanga, Aceh.

()

Baca Juga

Rekomendasi