Adiksi Gawai Pemicu Gangguan Jiwa Anak

adiksi-gawai-pemicu-gangguan-jiwa-anak

Oleh: Hodland JT Hutapea

BARU-baru terungkap fakta yang me­­nge­jutkan kita ber­sama, adiksi atau kecan­duan gawai (gadget) ter­nyata bisa memicu gangguan ke­jiwaan pada anak-anak dan remaja di Indonesia. Temuan itu dilaporkan pi­hak Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat menyusul dengan terus meningkatnya jumlah orangtua yang membawa anak me­reka untuk direhabilitasi. Meski pihak rumah sakit belum me­ngan­tongi data pasti jumlah pasien anak ke rumah sakit, nyatanya fenomena itu memang sudah terjadi. Dari segi usia, anak-anak yang terindikasi me­ngalami gangguan kejiwaan akibat kecanduan gawai tersebut dari umur lima tahun hingga delapan tahun.

Sebelumnya, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) ba­nyak yang dialami kelompok re­maja berusia 15 tahun ke atas dengan perbandingan satu dari sepuluh orang mengalami ODMK. Namun, sedikit berbeda dengan fenomena gangguan kejiwaan pada anak-anak aki­bat kecanduan gawai, maka yang ter­jadi pada remaja pemicu gang­guan kejiwaannya sangat beragam, mulai dari akibat pergaulan bebas, seks bebas, narkoba, masalah ke­luarga, masalah putus cinta, kekera­san dalam keluarga, dan pemicu lain­nya yang lebih ekstrem dan tidak bisa diselesaikan oleh remaja secara personal.

Pasien anak-anak dengan gang­guan jiwa itu umumnya akibat pe­nggunaan gawai yang berlebihan dan biasanya gangguannya semakin me­ningkat jika terus dibiarkan ber­larut tanpa penanganan dari dokter kejiwaan. Anak-anak terpapar gang­guan jiwa sejak dini akibat kelalaian para otangtua yang memberikan gawai pada anak-anaknya tanpa pengawasan yang cukup. Anak-anak yang sudah diperkenalkan dengan gawai sejak balita pada awalnya untuk membuat mereka tenang agar tidak menggganggu aktivitas orang­tuanya, namun akibat terlalu ke­asyikan dalam waktu lama bisa menjadi kecanduan karena keseruan per­mainan yang disuguhkan gawai.

Sebuah kejadian mengejutkan terjadi pada bulan Agustus lalu, saat itu ada pemadaman listrik serentak di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Ada anak kecil yang stres dan marah-ma­rah pada orangtuanya karena tidak bisa bermain gawai. Padahal kedua orangtuanya sudah mem­beritahukan adanya pemutusan arus listrik di semua wilayah kotanya. Namun sang anak tidak mau tahu, ngamuk-ngamuk dan meng­han­cur­kan pintu. Tentu ini kejadian yang tak terduga sama sekali, anak sekecil itu mengalami stres berlebih hanya gara-gara handphone-nya tidak bisa di-charge akibat adanya aksi pemadaman massal. Kejadian yang membuat kita untuk berpikir ulang apakah sudah waktunya kita mem­berikan gawai kepada anak-anak tanpa pengawasan yang ketat?

Agar tidak Kecanduan

Upaya menghindarkan anak dari ke­­canduan gawai akan menjadi se­makin sulit ketika pada kenya­taan­nya para orangtua ataupun anggota keluarga inti lainnya juga tidak mampu melepaskan diri dari gawai untuk waktu lama. Bahkan gawai seolah sudah menjelma menjadi barang pribadi wajib yang harus selalu dibawa ke mana pun manusia itu berada. Gawai sudah mencapai status yang mana ia dipersepsikan sebagai alat bantu kehidupan. Jika dahulu seseorang ketika bangun di pagi hari, akan duduk sejenak di atas tempat tidur dan berdoa me­ngucap syukur kepada Tuhan, maka saat ini hal pertama yang dilakukan seseorang ketika baru bangun tidur adalah mengecek gawai, melihat pesan yang masuk atau melihat status media sosial.

Anak pengguna gawai tidak bisa sepenuhnya disalahkan dalam hal ini, karena hampir seluruh orangtua sekarang sudah banyak yang mem­berikan gawai kepada anak, misal­nya sebagai sarana untuk meng­ontrol keberadaan anaknya, kegiatan apa yang mereka lakukan di luar rumah, dan manfaat lainnya. Na­mun, kemudian menjadi masalah jika gawai dipakai berlebihan dan men­jadi ketergantungan bisa meng­ganggu jiwa anak tersebut. Salah satu cara sederhana yang bisa dila­kukan adalah mengembalikan gawai pada fungsinya semula sebagai sarana komunikasi. Pemberian gawai kepada naka pun harus diperketat kembali dengan melihat tingkatan usianya, sebaiknya anak yang masih duduk di tingkat TK dan SD belum saatnya dibiasakan memegang gawai atau bahkan memilikinya secara pribadi.

Jiwa anak yang masih suka bermain sebaiknya diarahkan kembali ke permainan di luar rumah, bisa di lapangan terbuka atau di taman. Kembali bermain dengan permainan tradisional, dianggap sebagai salah satu solusi menekan potensi peningkatan anak dengan gangguan kejiwaan. Namun, apabila seorang anak sudah kecanduan gawai, maka orangtua tidak perlu malu untuk membawa anaknya segera berobat ke ahli kejiwaan. Ketika deteksi dini sudah jalan, maka semakin dini dibawa berobat semakin cepat dipulihkan.

Kecanduan game (gaming addi­ction) sudah dikategorikan sebagai penyakit oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2018. Sebuah penelitan menemukan bahwa para pe­candu game yang sudah diteliti otaknya, ternyata telah terpapar sejak balita dan kerusakan otaknya kurang lebih sama dengan pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Dalam temuan medis, prefrontal cortex atau bagian pada otak anak yang berfungsi untuk mematangkan kemampuan kognitif belum ber­kem­bang utuh sehingga mereka belum dapat mempersepsikan mana hal baik atau buruk. Karena itulah, perlu pendampingan para orangtua ketika anak-anaknya menggunakan gawai. Jika orangtua sering mene­mukan gejala awal gangguan kejiwaan pada anaknya seperti tantrum atau marah meledak-ledak, anak enggan belajar, tidak mau makan, atau berinteraksi secara sosial karena gawai, maka orangtua disarankan untuk segera membawa anaknya dan meng­kon­sul­ta­sikan­nya ke dokter kejiwaan.

Kasus gangguan kejiwaan de­ngan emosi meledak-ledak itu juga pernah menimpa seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMP dan sempat viral di media so­sial. Seorang anak meluapkan emosinya akibat gurunya menyita handphone yang dipakainya saat ber­langsung pelajaran di kelas. Sang anak pulang ke rumahnya dan kem­bali lagi ke sekolah dengan mem­bawa sebilah golok panjang dan mengancam sang guru yang menyita handphone-nya. Kejadian ini meng­indikasikan sang anak telah me­ngalami gangguan kejiwaan akibat tidak bisa lepas dari ketergantungan ga­wai yang dimilikinya.

Pada taraf ini, adalah penting kesadaran bersama para orangtua bahwa saat ini anak-anak memiliki potensi tinggi menjadi pengidap sakit jiwa dengan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat. Untuk mengurangi dampak negatif ter­se­but, orang tua dan guru di sekolah memiliki peran penting membangun sikap dan pola perilaku anak. Guru BP di sekolah pun harus ikut ambil peran penting dalam mengajarkan anak agar menghindari hal negatif yang bisa terjadi di sekolah, baik akibat pergaulan dengan sesama teman siswa atau pun pengaruh bu­ruk dari penggunaan gawai secara ber­lebihan. Harus ada tindakan tegas dari para guru untuk melarang penggunaan gawai di dalam kelas, bila perlu semua gawai dikumpulkan dalam kotak khusus sebelum jam pelajaran dimulai.

Dibutuhkan peran aktif para orangtua dan guru di sekolah untuk mengembalikan fungsi komunikasi sosial antarteman anak dalam ko­munikasi tatap muka secara fisik. Itu artinya, lebih diasah lagi ke­teram­pilan sosial anak agar tidak ter­gantung komunikasi berbasis gawai melalui media sosial. Anak-anak perlu mempunyai teman di alam nyata, di samping juga membangun pertemanan di alam maya. Sebab, sesungguhnya kekua­tan komunikasi di alam nyata akan memperkuat, memperluas, dan se­kaligus melengkapi relasi anak dalam lingkungan sosialnya. Peri­laku berkomunikasi di alam nyata itu adalah gambaran perilaku komunikasi sang anak kelak apabila dia sudah dewasa dan memasuki dunia kerja.

Maka tanggungjawab meng­hin­darkan anak dari gangguan kejiwaan akibat adiksi gawai adalah tanggung jawab bersama kita. Anak adalah aset bagi bangsa kita di masa depan, karenanya, jangan biarkan jiwa anak-anak yang masih polos itu dirusak oleh ketergantungan isi konten-konten di dalam gawai. Bijak bergawai sejak dini, agar anak tidak lupa diri. ***

Penulis adalah, pemerhati masalah sosial dan politik.

()

Baca Juga

Rekomendasi