Terciptanya Stereotip Negatif Terhadap Wanita

terciptanya-stereotip-negatif-terhadap-wanita

MENURUT Stuart Hall, stereotip orang belajar memahami cara berelasi dengan memahami pengategorian/pengelom­pokan orang dengan atribut tertentu adalah proses yang wajar.

Stereotip, di lain pihak, ada­lah cara pe­nga­tegorian orang berdasarkan “tipe” tertentu tetapi dengan cara yang simplistik dan seringkali berada pada level yang su­perfisial dan berlebihan.

Stereotip dapat juga dikatakan sebagai bentuk pengelompokan orang dengan cara yang berpotensi menyuburkan saling kecurigaan, merendahkan dan negatif.

Stereotip tidak dapat dilepaskan dari ideo­logi yang diusung masyarakatnya. Kon­sekuensi dari ideologi patriarki yang masih kuat antara lain adalah stereotip negatif ter­hadap perempuan.

Stereotip dalam ideologi patriarki me­ngelompokkan perempuan dalam kategori/tipe tertentu yang tentu mendukung ideologi tersebut.

Dalam konteks ideologi itu, perempuan dikategorikan dalam pengelompokan yang simplistik, perempuan baik-baik vs perem­puan jalang, ibu rumah tangga yang baik vs perempuan karier yang melalaikan keluarga dan sete­rusnya, dengan acuan dan standar yang tentu saja memba­ngun konstruksi pe­rem­puan sebagai subordinat terhadap laki-laki.

Penyebab munculnya ba­nyak stereotip negatif itu, secara lebih spesifik, stereotip mempe­ngaruhi bukan saja peran perempuan di dalam keluarga (ranah privat/domestik) dan masyarakat (publik) melainkan juga, atau karena itu, pengategorisasian perem­puan juga berimbas pada cara pandang terhadap tubuh perempuan.

Tubuh perempuan yang dikonstruksi sebagai “ibu” haruslah tubuh yang “bersih” dari segala sesuatu yang berpotensi mem­buatnya menjadi “kotor”, misalnya tato. Tubuh yang “kotor” kemudian dimak­nai sebagai representasi dari “perem­puan yang kotor”.

Karena itu muncul panda­ngan yang stereotipikal tentang perempuan merokok, dan bertato. Juga pada perempuan yang tam­pak seksi/seksual yang secara sosial-kultural dianggap sebagai bentuk tindakan yang "kotor" dan "mengotori".

Beberapa stereotip terhadap perempuan yang independen bisa sangat kejam. Misal­nya menyebut feminisme mendorong perempuan untuk bercerai dan jadi lesbian.

Pandangan stereotipikal terhadap feminisme dan perempuan feminis yang dituduh sebagai penyebab perceraian dan lesbianisme adalah manifestasi ideologi yang patriarkal, jika bukan misoginis, yang cenderung memandang segala sesuatu yang berpotensi mengganggu tatanan sosial-kultural, yang tunduk pada kepen­tingan ideologi patriarki dengan penuh kecurigaan.

Kecurigaan

Di sejumlah tulisan, baik buku maupun tulisan di media sosial, mengulas tentang feminisme dengan penuh kecurigaan terhadap feminisme meski para penulis tampak jelas bahkan tidak mengenal feminisme.

Stereotipe terhadap feminisme/feminis adalah manifestasi dari ideologi patriarki yang kemudian mengonstruksi feminisme/feminis sebagai monster, atau mungkin, mengutip Barbara Creed, "monstrous feminine".

Ada beberapa stereotip yang mendo­mestifikasi perempuan, seperti perempuan harus bisa memasak, membersihkan rumah, punya anak, dan tidak melawan suami dan sebagainya.

Stereotip seksis pada prinsipnya dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Pada perempuan lebih kepada pengate­gorian perannya di ranah privat dan posisi subordinatnya terhadap laki-laki.

Pada laki-laki, stereotip le­bih pada perannya di ranah publik dan posisi domi­nannya. Ini yang menjadi masalah.

Jadi, ketika perempuan berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu yang penuh merawat anak­nya akan mendapat pujian sebagai “ibu yang baik”.

Bapak yang memutuskan berhenti be­kerja agar dapat menjaga anaknya di rumah sementara istrinya bekerja akan menda­pat cemooh sebagai “bukan laki-laki sejati” atau “suami takut istri”.

Dalam kasus spesifik seperti ini, pe­rempuan sebagai istri, yang bekerja semen­tara suami­nya di rumah masih harus menerima pelbagai cemoohan lain sebagai perempuan yang tidak tahu kodratnya.

Pemaknaan "kodrat" juga seringkali meru­pakan pemicu dari konstruksi stereotip yang sangat simplistik. Seperti perempuan kodratnya di dapur atau mengurus anak, pekerjaan yang sesungguhnya lebih merupakan kete­rampilan yang bisa dipela­jari dan bukan diturunkan secara genetis sebagai "kodrat'.

Membangun

Negara tentu ikut berperan dalam mem­bangun pengategorian perempuan ke dalam stereotip tertentu. Perempuan yang tidak memenuhi kategori ideal di masanya, wanita misalnya dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam kategori bukan perempuan ideal.

Dengan pengaturan itu, terbangun ste­reotip istri yang baik dan tidak baik, ibu yang baik dan tidak baik, dan seterusnya.

Pihak yang paling banyak melakukan stereotip terhadap perempuan tentulah mereka yang dapat berkontribusi terhadap terbangunnya stereotip terhadap perempuan karena stereotip adalah bagian dari konstruksi sosial dan budaya laki-laki maupun perempuan.

Konteks publik maupun privat, terdidik ataupun tidak. Dalam logika yang sama, jika semua orang dapat berkontribusi terha­dap terbangunnya stereotip tersebut, semua orang juga dapat berkontribusi terhadap perombakan stereotip tersebut.

Stereotip dibangun dalam praktik kehi­dupan sehari-hari, lelucon seksis adalah bagian dari manifestasi stereotip seksis yang ada di dalam masyarakat, dan pendukung­nya bisa laki-laki maupun perempuan.

Peranan budaya pop, termasuk majalah, media sosial, iklan, berperan membentuk stereotip, baik untuk laki-laki maupun pe­rempuan.

Media massa sangat berpengaruh ter­hadap stereotip baik laki-laki dan perem­puan. Ia memba­ngun bukan saja apa yang dika­tegorikan sebagai “perempuan” dan “laki-laki” dalam berbagai bentuk stereotip.

Tetapi, seperti yang sudah saya katakan, semua berkontribusi terhadap terbentuknya stereotip, maka media juga berpe­ngaruh untuk melakukan perombakan dan resis­tensi terhadap stereotip tersebut. (trt/adp/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi