NA Hadian, Presiden Puisi Sumut

na-hadian-presiden-puisi-sumut

Oleh: Alkaushar Lingga.

Ketika mendengar nama NA Ha­dian seorang profesor dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB-USU) langsung mengu­cap­kan “Si Presiden Puisi.” Banyak yang jarang mengenal nama ini dan tidak begitu familiar seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah pun Sitor Situmorang. Di situlah menariknya, bagi sastrawan besar atau peneliti sastra tentu kenal dan mengetahui bagaimana kualitas karya dari NA Hadian.

Para penikmat sastra atau masyarakat umum hanya mengenal Chairil Anwar yang juga berasal dari Medan. Bahkan Chairil Anwar ini namanya telah menjadi ikon se­bagai penyair besar di seantero Indo­nesia. Karya-karya puisinya tidak sedikit telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dekade 80-an, kritikus sastra Indo­nesia HB Jassin mengungkapkan, bahwa Chairil Anwar adalah pembaharu puisi Indonesia dan pelopor angkatan tahun 45. Tetapi tidak dinobatkan sebagai presiden puisi. Lantas apa kelebihan NA Hadian sehingga dijuluki Presiden Puisi?

NA Hadian memang memiliki keunikan sebagai seorang penyair maupun kedudu­kannya sebagai seorang sastrawan besar. Ragam persahabatannya dianggap banyak orang mengagumkan. Bergaul bagi kalangan penyapu jalanan, satpam, kepala dinas, ketua DPRD, pejabat tinggi instansi hingga berbagai tokoh nasional. Kehidu­pan­nya yang penuh persahabatan menjadi dikagumi serta contoh bagi orang lain. Nama besarnya beserta tokoh-tokoh ber­pengaruh di sekelilingnya membuat dia tetap merakyat.

Presiden Puisi ini lahir di Medan pada 21 September 1932 sekitar tiga belas tahun sebelum Indonesia merdeka. Masa rema­janya tinggal bersama salah satu tokoh bernama HM Jhoni dimana nama tersebut kini menjadi salah satu nama jalan di daerah pasar merah kota Medan. Masa remaja yang bergaul dengan para tokoh dan kaum terpelajar membuat wawasan­nya sejak belia sudah terasah dan terisi akan ilmu pengetahuan. Apalagi dia dike­nal juniornya Fuad Hasan dan Sakti Lubis.

Ia mulai menulis puisi di surat kabar mulai tahun 1953, puisi-puisi yang dikirim ke berbagai koran-koran menjadi awal karir kepenyairannya. Setiap detak hidup­nya selalu dide­dikasikan untuk menulis baik itu kritik sastra, cerpen, esai dan lain sebagainya. Dari pergerakannya menulis itulah ia dikenal dan menjadi salah satu ikon dalam dunia kesusastraan di Indo­nesia khususnya Sumatera Utara. Melalui puisi namanya dikenal di bumi nusantara hingga ke negeri jiran Brunei dan Malaysia.

Dedikasinya yang tinggi membuat dirin­ya menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam hal berkarya. Sebab bagi dirinya menjadi berarti lebih baik ketimbang pura-pura berbuat tapi ada tujuan lain. Setiap orang yang dijumpainya sering diselipkan selembar dua lembar kertas yang telah ditulis puisi. Dia berharap puisi-puisi yang diberikan dapat menjadi obat jika sakit, menjadi penya­mangat hidup, serta sebagai bahan pelajaran hidup. Sebab kehidupan tanpa puisi atau seni maka hidup itu kurang berarti.

NA Hadian selalu mengatakan bahwa “puisiku untuk rakyat, meski tidak memiliki wilayah.” Semua puisi yang ditulis didedika­sikan untuk rakyat, untuk semua orang. Slogan itu tampaknya menjadi ciri khas dan sebagai awal mengapa NA Hadian disebut sebagai Presiden Puisi di Sumatera Utara. Karya puisi yang ditulis memiliki pembaca dan hidup di hati ma­syarakat. Dan karya nya itu selain menjadi buah bibir namun memberi inspirasi makna kehidupan.

Beberapa karya yang telah diterbitkan seperti, Hutan Kelam (1978), Badai (1981), Dialog Pisau (1982), Luka Dunia Lukaku (1992), Laut Senja (1994), Jejak (1998), Anak Zaman (bersama Alamsyah Pohan, 2002), Terminal (Antologi bersama para sastrawan), Titian Laut (Antologi bersama penyair Sumatra dan Malaysia), Laut Mutiara (2005) dan banyak karya puisi lain yang tersebar dalam surat kabar dan dekomentasi pribadi.

Karya-karya yang ditulis oleh NA Ha­dian telah menjadi bagian hidup masya­rakat pembacanya. Meski menda­pat gelar presiden bukan menjadikan dirinya kaya, terpandang atau ingin disegani. Ia hanya ingin bahwa orang lain yang disebut “ma­syarakat puisi” memiliki sentuhan seni dalam kehidupan dengan makna puisi-puisinya. Dari kekayaan intelektual men­ciptakan karya sastra dia memberi andil bagi kehidupan masyarakat untuk mema­jukan dan memanusiakan manusia. Agar tidak terbelenggu oleh duniawi.

Mendapat gelar Presiden Puisi tidak lantas membuat hidupnya bergelimang kemewahan meski orang-orang terdekatn­ya adalah pejabat besar. NA Hadian hidup sederhana dan diceritakan selalu berjalan kaki di sepanjang kota Medan dengan membawa buku di atas kepalanya. Tidak jarang panas terik dan hujan dilaluinya untuk berkesenian. NA Hadian juga berteman dengan Ali Soekardi Wapemred Harian Analisa ketika itu. Tak jarang NA Hadian sering mengunjungi kantor harian Analisa untuk berdiskusi.

Buku-buku puisinya sering dijual sendiri untuk memenuhi keperluan hidup­nya sehari-hari. Ia tidak merasa malu mela­kukannya meski harus menggendong buku berdus-dus. Sering sekali Fakultas Ilmu Budaya USU menjadi tempat laris menjual buku-bukunya. Selain kedudukan­nya sebagai penyair, profesi menjual buku ini tidak menurunkan harga dirinya. Malah tetap dihormati oleh dosen bahkan guru besar di kampus dan disenangi oleh mahasiswa. Dirinya sering menjadi teman diskusi para mahasiwa dan memberi pencerahan ilmu.

Apresiasi Intelektual

Karena dedikasi dan sikap yang baik itu Komunitas Katakata di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) memberi penghar­gaan untuk mengenang NA Hadian. Penghargaan yang diberikan mengape­resiasi intelektual dari seorang NA Hadian dalam kesusastraan di Indonesia. Karya sepilihan puisi terbaik NA Hadian dikumpulkan dari beberapa dekomentasi lalu diterbitkan. Penerbitan buku ini digagas penyair, Tsi Taura, Porman Wilson Manalu, Yulhasni dan Teja Purnama. Selanjutnya, Komunitas Katakata menyelenggarakan diskusi buku NA Hadian pada Jumat, 22 November 2019 di Ruang Pameran TBSU.

Buku berjudul “Catatan dari Kamar Tua” menjadi saksi bahwa karya intelektual memiliki harga yang sangat mahal dalam kekayaan literasi. Sekaligus para masya­rakat puisi masih mengingat sang Presiden Puisi Sumatera Utara yang telah wafat pada 22 Maret 2007. Profesor Sastra dari FIB USU dalam satu waktu mengundang NA Hadian berdiskusi bersama Profesor dari Brunei Darusalam. Profesor dari Bru­nei memuji-muji NA Hadian setinggi langit, menurutnya pengetahuan dan pema­haman si penyair ini sangat dalam dan luas.

Ketika bicara mengenai sastra, kebu­dayaan dan kepentingan rakyat NA Hadian selalu membahasnya dengan argumen yang menarik. Pendapatnya dapat mem­beri pe­mahaman mencerahkan bagi pen­dengar­nya. Memberi komentar tentang sesuatu hal tidak untuk menggurui orang lain tetapi dari perpektif sebagai teman ber­bicara yang baik. Mungkin oleh karena itu pergaulannya sangat luas. Meski dalam kehidupan pribadi NA Hadian gagal dalam berumah tangga dan tidak memiliki ketu­runan.

Terlepas dari kekurangan dan kelebi­han dari Presiden Puisi ini patutlah kita sebagai masyarakat mengambil kebaikan dari sosok ini. Apalagi pejabat-pejabat peme­rintahan kota ini dan Sumatera Utara perlu belajar dari kehidupan penyair. Bela­jarlah untuk berbuat untuk orang lain serta jangan malu hidup sederhana meski punya jabatan. Karena jabatan yang disan­dang tidak menjadikan hidup ekslusif di tengah-tengah masyarakat susah. Justru jabatan itu menjadi jalan untuk bermanfaat bagi rakyat.

Hal menarik lain adalah kenapa Komu­nitas Katakata yang tidak memiliki dana segar memberikan penghargaan untuk NA Hadian atas karya intelektual­nya? Peran pemerintah begitu abai terhadap orang yang berpengaruh dan berkarya dalam hal ini kekayaan kesusas­traan di Sumatera Utara. Jika NA Hadian mau menjadi warga negara Brunei sudah dijanjikan fasilitas oleh negara. Tapi di Sumatera Utara kekayaan intelektual seperti tidak berhar­ga, namun orang yang korupsi merugikan rakyat selalu mendapat penghormatan. ***

Penulis Alumni FKIP UMSU/ pegiat bahasa dan sastra.

()

Baca Juga

Rekomendasi