Bersahabat dengan Hujan Deras

bersahabat-dengan-hujan-deras

Oleh: Nada Sukri Pane.

Bulan Desember biasan ya curah hujan tinggi. Petani senang sekali, karena sawah akan men­dapat air lagi, niscaya panen akan baik pada tahun ini. Petani palawija juga mendapat rejeki, karena sawi, kol, tomat cabe merah tumbuh subur sekali. Di ujung desa, mangga, durian dan kelapa juga ber­buah lebat sekali. Anak-anak bersimbahan menikmati banjir berkejaran berlari-lari. Nyaris semua gembira menikmati hujan lebat datang lagi. Pokoknya mereka tidak takut hujan lebat, dimata mereka hujan lebat akan mendatangkan rejeki.

Andaipun hujan turun sangat deras, masyarakat tak akan cemas, sebentar juga akan timpas. Karena sistim tata kelola lingkungan yang dibuat Belanda sangat tuntas. Sangat mampu menghindari kebanjiran ini dengan jelas. Karena ada ribuan meter parit depan rumah yang mampu menampung air yang deras. Selanjutnya dari parit air mengalir lancar menuju DAS (Daerah Aliran Sungai) kemudian ke laut lepas. Pokoknya hujan lebat tak buat cemas. Tapi itu dulu, sekitar empat puluh tahun yang lalu.

Sekarang, jika hujan lebat datang lagi, banjir pasti menghampiri. Karena alam tak lagi sesuai fungsi, karena ulah manusia yang tak peduli. Kita tak pandai menjadikan hujan lebat ini sebagai sahabat sejati. Kita malah memusuhi hujan lebat ini dengan caci maki. Padahal kita yang tak instropeksi diri. Parit seba­gai penampung hujan telah kita curi, dijadikan kedai kopi atau kantor organisasi. Akibatnya air hujan kehilangan ekologi. Mereka berlari kesana kemari mencari rumah penduduk buat sembunyi.

Sudah lebih sepuluh tahun pro­yek penanggulangan banjir terlak­sana, berbagai judul di luncurkan menghabiskan dana. Ada waduk yang sia-sia. Ada ratusan kilometer parit beton cantik di bangun negara, tapi paritnya tak nyambung seba­gaimana mestinya, memiliki simpul buntu pada ratusan titik dimana-mana. Setiap kelurahan melem­par­kan air ke tetangga. Setiap keca­matan kurang koordinasi membi­carakan aliran air dengan seksama. Ahirnya air lebih banyak berputar-putar di kota di banding mengalir ke sungai yang ada.

Bersahabat

Ada tiga cara bersahabat dengan hujan lebat. Pertama penanggu­langan sampah. Pemerintah seperti­nya kurang optimal melakukan pena­nganan. Padahal pengangkutan sampah ini adalah bagian dari tanggungjawab pemerintahan mela­lui Peraturan Pemerintah No 81 Tahun 2012 pasal 20 berbunyi; “Dalam hal dua atau lebih kabu­paten/kota melakukan pengolahan sampah bersama dan memerlukan pengangkutan sampah lintas kabu­paten/kota. Pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kepada pe­merintah provinsi untuk menye­diakan stasiun peralihan antara dan alat angkut.”

Oleh karena itu Pemerintah Dinas Kebersihan harus melakukan pere­ma­jaan, menambah sarana prasarana penanggulangan sampah secara keseluruhan. Sebaiknya mengha­dirkan truk angkut dan personil dalam jumlah yang siknifi­kan. Setiap lingkungan disediakan dua tong sampah persis bak truk sampah. Ke­mudian truk sampah khusus (diran­cang tinggal sorong) mengang­kut bak sampah. Tata kelola sampah ini harus dimanej secara profesional dan transparan melalui sistim digital (Technology based system).

Pengelolaan sampah secara tra­disional harus ditinggalkan. Harus dihadirkan tata kelola berbasis tek­nologi terbarukan. Bila perlu hadir­kan investasi yang dapat me­ngun­tungkan. Agar sampah ini didaur ulang, dijadikan berbagai alat per­mainan, perabotan rumah tangga atau sebagai barang inventaris per­kantoran. Dapat juga dijadikan pem­bangkit tenaga listrik buatan. Po­kok­nya sampah ini harus diman­faat­kan, sebelum menimbulkan pen­cemaran lingkungan (Prevent pollution).

Padahal pemerintah telah menge­luarkan ancaman melalui UUD Nomor 18 tahun 2008 Pasal 40 ber­bunyi; (1) Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan penge­lolaan sampah dengan tidak mem­perhatikan norma, standar, prose­dur, atau kriteria yang dapat meng­akibatkan gangguan keseha­tan ma­syarakat, gangguan keama­nan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Sebab kedua yang memicu hujan lebat menjadi banjir adalah masalah parit jalan. Padahal ini sudah ditegaskan melalui peraturan No­mor 12/prt/m/2014 tentang penye­lenggaraan sistem drainase perko­taan. Pasal 33 berbunyi; “(1). Men­teri dan gubernur/bupati/walikota melaksanakan pengawasan terha­dap seluruh tahapan Penyeleng­garaan Sistem Drainase Perkotaan sesuai kewenangannya. (4) Menteri, gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menindaklanjuti laporan dan/atau pengaduan masyarakat.

Berdasarkan peraturan tersebut maka selayaknya Dinas Kebersihan dan Tata Ruang harus memiliki manajemen tata ruang berbasis tegnologi yang mampu merekam jalan air sampai tujuan. Komputer akan memberikan gambar drainase mengantarkan air kota sampai ke laut tanpa penyumbatan (smooth water way). Melalui tegnologi transparan maka aplikasi parit jalan air sebuah kota dapat di akses semua orang. Aliran air tak boleh luput dari pengawasan.

Agar lebih optimal hendaklah pemerintah daerah memberikan tindakan yang lebih signifikan. Ter­tibkan semua kios, kedai kopi, atau kantor organisasi yang menyalahgu­nakan parit jalan. Harus tegas dila­kukan pembongkaran. Untuk meng­hindarin penyumbatan yang me­micu kebanjiran. Pemerintah harus tegas memberikan hukuman buat yang tidak mematuhi peraturan. Agar jangan ada yang bersenang-senang diatas penderitaan (Happy over the suffering of others).

Sejenak kita melihat sistim drainase di negara Amerika sebagi perbandingan. Mereka membuat terowongan jalan air 6x4 di tengah di bawah jalan, sebelum membuat jalan. Kemudian ada pegawai negara yang ditugaskan merawat tero­wongan. Kedepan, semua pem­bangunan jalan pemerintah atau perumahan harus membuat drainase terlebih dahulu di bawah jalan. Cara ini menghemat tanah, menghindari di jadikan tong sampah, memu­dah­kan pembersihan dan tidak merusak pemandangan (Not dama­ge nature).

Cara ketiga bersahabat dengan hujan lebat adalah dengan melestari­kan hutan. Tapi setiap tahunnya ada 684.000 hektar hutan di Indonesia yang hilang (FAO). Kemudian Global Forest Resources Assess­ment (FRA), menyatakan; Indone­sia mengalami kerusakan hutan urutan kedua dunia setelah Brazil. Oleh karena itu Menteri Kehutanan harus membuat kebijakan “Penye­lamatan hutan” harus disegerakan.

Menteri Pendidikan harus meng­hadirkan kurikulum cara mencintai lingkungan. Didik siswa-siswi seba­gai generasi pencinta Alam. Pendi­dikan rumah juga tak boleh keting­galan. Lakukan penghi­jauan di hala­man atau di peka­rangan. Sang ibu melarang anaknya mematahkan ranting sembarangan. Ajari anak-anak bercocok tanam. Karena kepa­da mereka ekosistem yang nyaman kita titipkan. Seba­gaimana Firman Tuhan; “Dia (Tuhan) yang mencip­takan kamu dari bumi dan meme­rintahkannya untuk memak­murkan­nya” (Q.S. Hud: 61).

Namun yang paling penting tindak tegas pelaku Ilegal loging dan penebang hutan. Selamatkan Bukit Barisan sebagai paru-paru dunia jangan sampai jangan sampai berkurang. Manajemen Kemen­terian Kehutanan tentang perlindu­ngan hutan harus ditata ulang. Jangan biarkan hutan lindung dite­bang. Tindak tegas Polisi hutan yang terlibat penjualan pohon hutan. Kar­ena ketika satu pohon ditebang sama artinya kita menyiapkan ben­cana buat anak cucu kita masa akan datang?!

Penutup

Sebenarnya hujan lebat adalah kodrat alam. Karena segala isi alam ini sudah terpola dengan hukum keseimbangan piramida kehidupan. Jika ekositem seimbangan maka semua menikmati kehidupan dalam rantai makanan. Penyediaan parit dan sungai adalah cara manusia menyambut hujan datang penuh persahabatan. Bagaimanapun besar­nya hujan lebat, tidak akan pernah membuat kebanjiran. Bahkan nenek berani memanggil hujan, “kuluk-kuluk-kuluk.” ***

Penulis adalah Guru SMA Negeri 16 Medan, Mahasiswa Program Doktor PEDI UIN SU.

()

Baca Juga

Rekomendasi