Pemerintah Kurang Mengakui Masyarakat Hukum Adat

pemerintah-kurang-mengakui-masyarakat-hukum-adat

Analisadaily (Medan) – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melaksanakan Rakor Pertanahan dengan Tema Penyelesaian Sengketa/Konflik Pertanahan di Sumut, 4-6 November 2019.

Hadir di acara ini dua narasumber, termasuk Pakar Agrari, Edy Ikhsan, dan Kepala Seksi Sengketa/Konflik BPN Sumatera Utara, Sofyan Hadi Syam.

Pada kesempatan ini, Edy Ikhsan yang juga Dosen Hukum USU memaparkan tema 'Konflik Tanah Ulayat dan Upaya Penyelesaiannya'.

Menurutnya, tanah ulayat merupakan bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat tertentu.

Sementara Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat, dimiliki masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya.

Kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah demi kelangsungan hidupnya.

Ia menjelaskan, masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat, dengan wilayah yang bersangkutan.

"Tapi memang dalam realitanya pemerintah dinilai kurang menerima keberadaan masyarakat hukum adat ini," jelas Edy.

Menurut Bakal Calon Wali Kota Medan itu, Sumatera Utara salah satu provinsi paling akut konflik pertanahannya setelah Banten. Ada beberapa hal sebabnya, kemauan yang berwenang, kemampuan Sumber Daya Manusia pihak yang berwenang, lemahnya analisis persoalan.

"Dan kenyataannya seringkali pemerintah kurang menerima masyarakat hukum adat," kata Edy.

Padahal, lanjut Edy Ikhsan menjelaskan, banyak regulasi di Indonesia yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Ia mengaku ada beberapa kendala pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Di antaranya, kekaburan atas keberadaan Masyarakat Hukum Adat (Organisasi/Struktur, Hukum Adat yang dijalankan, anggota persekutuan).

Kekaburan atas batas tanah ulayat yang dimiliki (lemah dalam dokumen dan mengandalkan pada ingatan kolektif dan tanda-tanda fisik yang masih ada).

"Kemudian tradisi/kebiasaan adat dalam hubungan manusia dengan tanah secara terus menerus memudar sejalan dengan hilangnya kekuasaan politik dan hukum Sultan/Raja, Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945," ungkap Edy Ikhsan.

Strategi mengakhiri sengketa berkepanjangan itu, ia memiliki beberapa catatan, pertama Pemprov Sumut dan atau kabupaten/kota bisa mencoba penerapan Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dengan membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat yang melibatkan masyarakat hukum adat dan kelompok masyarakat terkait.

Kedua, pemerintah mengeluarkan surat penetapan pengakuan masyarakat hukum adat berdasarkan identifikasi yang dilakukan panitia. Identifikasi ini meliputi sejarah, wilayah dan hukum adat, harta benda/kekayaan serta kelembagaan.

Kemudian, menjalankan Permen Agraria/Tata Ruang No 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dengan membentuk Tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah).

"Tim IP4T bisa dibentuk di tingkat kabupaten dan kota jika persoalannya di dalam kabupaten/kota terkait dan atau di tingkat provinsi jika persoalannya lintas kabupaten/kota. Tim ini tak perlu menunggu konflik baru dibentuk," terang Edy.

(RZP)

Baca Juga

Rekomendasi