Seorang Pahlawan Nasional dari Aceh (3)

Dijuluki “Rencong Aceh”

dijuluki-rencong-aceh

Oleh: War Djamil.

DESEMBER 1916 lahir UU tentang pembentukan Volksraad (Dewan Rak­yat). Di Batavia dibentuk tahun 1918. Untuk daerah Aceh, Teuku Tjhik Mhd Thayeb Peureulak sebagai putra Aceh pertama masuk Volksraad. Ia berani dan dalam sidang Volksraad minta agar Indonesia memiliki parlemen dan pemerintahan sendiri. Karena kalimat itu, ia hanya sampai 1920. Tiada wakil selama 7 tahun.

RencongAceh

Barulah pada 16 Mei 1927, Teuku Nyak Arif (TNA) dalam usia 28 tahun diangkat sebagai wakil rakyat Aceh dalam Volksraad. TNA diang­g­ap cocok sebab memiliki sifat percaya diri yang tinggi, berani, jujur dan terus te­rang.

Karena kritikan TNA yang tajam, ia di­ju­luki “rencong Aceh”. Julukan ini dibe­rikan ketika seorang anggota PEB, Zuider­hoff berkata : “TNA telah memper­gu­na­kan ren­congnya, tapi masih dalam bentuk suara”. Sehari kemudian, media “Bintang Timur” memuat foto TNA de­ngan kalimat “Rencong Aceh yang ditakuti tuan Zuider­hoff”. Sejak itu, julukan “rencongAceh” melekat pada TNA.

Dalam sidang Volksraad, TNA selalu ber­suara tajam. Membela kepen­tingan rakyat. Mencela penindasan dan mem­beri reaksi keras atas sejumlah kebijakan Belanda. Itu terjadi berulangkali.

Residen Aceh

Presiden Soekarno 29 September 1945 menetapkan Mr. Teuku Muham­mad Hasan sebagai Gubernur Sumatera. Surat peng­angkatan diterima 2 Oktober 1945. Esok­nya, Mr.TM.Hasan menanda tangani SK No.1-X tentang pengang­katan Residen se Sumatera, antara lain : TNA sebagai Residen Kere­sidenan Aceh, Mr.M. Jusuf sebagai Residen Su­matera Timur dan 7 residen lainnya.

Pada 6 Oktober 1945 lahir seruan agar rakyat Aceh mendukung Angkatan Muda Indonesia (API) sebagai organi­sasi ke­kuatan bersenjata. Kelak, API berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pada 1 Januari 1946, TNA diangkat men­­jadi Jenderal Mayor TRI/Tituler dengan jabatan anggota staf umum TRI Koman­demen Sumatera berkedudukan di Kutaradja.

Lelang Perabot

Patut digarisbawahi, dana yang dimiliki sudah habis untuk pembentukan TKR. Lalu TNA melelang perabot ru­mah­nya di Lam­nyong melalui TT Hana­fiah. Uang hasil lelang dimasukkan TNA ke kas negara, tetapi belum cukup. Saat itu pula, TNA menye­rahkan perhiasan dari istrinya kepada TT Hanafiah untuk dijual.

Begitulah keikhlasan hati keluarga TNA dalam berjuang, dengan sikap, tindakan nyata serta sumbangan harta benda pribadi. Dan, ini masih berlanjut pada 1958, meski TNA telah tiada, namun istrinya tetap konsisten.

Tanggal 1 Juni 1958 Kolonel Sja­maun Gaharu selaku Penguasa Perang Daerah Aceh menemui istri TNA di Medan untuk mem­bicarakan Konsesi Rumpit. Ternyata peme­gang hak tanah konsesi Rumpit adalah TNA. Istri TNA tak keberatan dengan rencana Sja­maun Gaharu menggunakan konsesi itu untuk pem­bangunan Kota Pelajar/Mahasiswa Da­rus­­salam. Hal itu juga yang menjadi cita-cita TNA, memajukan pendidikan. Areal 200 hektare akhirnya menjadi kampus Unsyiah dan IAIN Ar Raniry.

Lalu tahun 1978 rumah TNA di Lam­nyong diserahkan kepada Pemda Istimewa Aceh dan pemanfaatannya pada Unsyiah.

Makam

Sabtu 4 Mei 1946 pukul 13.30. Usia 47 tahun, TNA wafat di Takengon dalam pengasingan. Satu bulan TNA yang sakit diabetes dirawat. Pada saat-saat terakhir, TNA berpesan pada istri dan anak-anaknya : “...Jangan menaruh rasa dendam. Kepenting­an rakyat yang harus diutama­kan...”. Pada istrinya dipesan agar menjaga ibunya dan perhatikan pendidikan anak-anak sampai berhasil.

Di kawasan Lamreung, Aceh Besar tak jauh dari kampus Unsyiah, Banda Aceh, ditemui makam Teuku Nyak Arif (TNA). Pada 17 September 1991 peres­mian pemugar­an makam oleh Menteri Kesejahteraan Sosial, Prof.Dr.Haryati Subadio.

“TNA sebagai pahlawan nasional adalah pejuang perintis kemerdekaan yang berjuang merintis kemerdekaan. Kebanggaan memi­liki pahlawan nasio­nal TNA juga harus dirasakan seluruh bangsa Indonesia....”, ucap Mensos.

Pahlawan Nasional

Salah seorang putra TNA yakni Teu­ku Syamsul Bahri (kini : Prof, SH), saat acara itu mewakili keluarga besar TNA mengata­kan: Saat dibangun Proyek Pe­ngendalian Krueng Aceh, makam ini akan digusur. Na­mun warga dari tiga meunasah Lamreung mohon kepada gubernur, agar tiada penggu­suran.

Warga ingin mempertahankan secuil ke­nangan perjuangan masa lalu. Terke­nang per­juangan TNA dengan rakyat di sini, se­bagai salah satu basis inti TNA ketika me­lawan Belanda.

“Peresmian pemugaran ini sebagai peng­hargaan kepada TNA, yang pada hakekatnya penghargaan kepada perjua­ngan rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia umumnya”, ungkap T.Syam­sul Bahri.

ITULAH cuplikan tentang siapa TNA berikut sisi derap langkahnya seba­gai pejuang melawan penjajah. Atas jasa-jasanya pe­me­rintah dengan SK Presiden RI No.071/TK/1974 tanggal 9 Novem­ber 1974 meng­anu­gerahkan gelar Pahla­wan Nasional untuk TNA, setelah 28 tahun TNA wafat.

Sebelumnya, TNA mendapat gelar sebagai Perintis Kemerdekaan berdasar­kan SK Men­sos No.Pol.1/62/PK tanggal 17 Februari 1962.

()

Baca Juga

Rekomendasi