PENDERITA penyakit Deman Berdarah Denque (DBD) di Kota Medan hingga Oktober 2019 mencapai 913 orang. Dari angka tersebut enam orang meninggal dunia. Namun menurut Dinas Kesehatan Kota Medan, jika dibandingkan tahun 2018 kasus penderita mengalami penurunan.Penderita DBD tahun 2018 mencapai 1.490 kasus, 13 orang meninggal dunia. Dan data dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara mulai Januari hingga Agustus 2019, ada sebanyak 5.723 warga Sumut terinfeksi DBD. Dari jumlah tersebut sebanyak 30 orang meninggal dunia. Penderita DBD terbanyak berasal dari Kabupaten Deli Serdang mencapai 1.056 orang, satu diantaranya meninggal dunia. Kota Medan menempati posisi kedua.
Namun persoalannya, bukan naik turunnya angka kasus penderita DBD di Sumut dan Kota Medan khususnya. Tapi penyakit DBD sudah menjadi momok yang menakutkan bagi warga Sumut, khususnya Kota Medan. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Jangan kekhawatiran masyarakat akan penyakit DBDmenjadi kenyataan. Momok yang menakutkan itu harus diantisipasi segera. Antisipasi pencegahan sangat diperlukan, sehingga ketakutan masyarakat bisa dikelola menjadi sebuah kekuatan untuk tidak munculnya nyamuk aedes aegypti penyebab DBD. Apalagi saat ini wilayah Provinsi Sumatera Utara memasuki musim hujan. Dan biasanya DBD merupakan penyakit langganan pada musim hujan.
Program-program yang mendukung pemberantasan DBD harus disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat harus berperan aktif menjaga lingkungan sehat dan bersih. Pemberdayaan masyarakat untuk mengantisipasi DBD harus genjar dilakukan. Antisipasi hendaknya mengedepankan koordinasi dan sinergitas lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Keterlibatan para pimpinan OPD menjadi kekuatan dalam mencegah dan memberantas nyamuk di tengah-tengah masyarakat. Sehingga persoalan DBD bukan hanya tanggung jawab Dinkes, tetapi menjadi persoalan bersama, karena menyangkut kesehatan dan nyawa manusia.
Kekompakan dan kebersamaan lintas OPD dalam mengantisipasi munculnya DBD, juga diharapkan tidak meninggalkan keterlibatan masyarakat dalam mencegah timbulnya penyakit DBD. Keterlibatan masyarakat menjadi suatu keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan. Sebab keterlibatan masyarakat dalam merealisasikan program-program pencegahan dan pemberantasan DBD merupakan hal yang mutlak diperlukan. Masyarakat merupakan ujung tombak agar penyakit DBD tidak meluas, dan bahkan DBD bisa dientaskan.
Karena itu, sejumlah program seperti program Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yakni pemberian tugas kepada seseorang untuk memantau jentik nyamuk dari rumah ke rumah harus dilakukan. Gerakan satu rumah satu Jumantik (G1R1 J) mulai dari tingkat kabupaten/kota, hingga kecamatan dan kelurahan bisa menjadi solusi dalam pencegahan DBD. Petugas yang ditunjukan diharapkan benar-benar bertugas dan bertanggung jawab. Pengawasan dan evaluasi terhadap petugas Jumantik harus menjadi perhatian pemerintah, sehingga program Jumantik terlaksana dengan baik dan tepat sasaran. Pemerintah juga harus memetakan wilayah - wilayah rawan DBD. Sehingga ada skala prioritas dalam mengentaskan DBD suatu daerah bisa dimaksimalkan.
Masyarakat juga harus diberi pemahaman untuk bisa memutus mata rantai atau siklus hidup nyamuk penyebab penyakit DBD. Gerakan yang dikenal dengan 3M plus yakni menutup, menguras, dan mengubur, serta menghindari dari gigitan nyamuk yang bersembunyi di rumah maupun di sekitar lingkungan rumah, masih sangat relevan untuk memberantas penyakit demam berdarah. Sosialisasi terhadap pemahaman gerakan ini menjadi benteng utama, sehingga masyarakat terlibat langsung dalam mencegah berkembangnya nyamuk aedes aegypti penyebab penyakit DBD. Keterlibatan masyarakat dan bersinergi dengan lintas OPD dalam pemberantasan nyamuk penyebab DBD akan semakin memudahkan menurunkan, bahkan meniadakan kasus penderita DBD.