Gorontalo, (Analisa). Ketua Tim Asistensi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Gorontalo, Idah Syahidah mengatakan penderita HIV/AIDS di daerah itu terus bertambah.
“Kegiatan ini menjadi momen penting bagi kami untuk mengingatkan kepada masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS. Sayangnya, penderita kita setiap tahun bukan berkurang namun cenderung bertambah,” katanya saat memperingati Hari AIDS Sedunia di halaman Rumah Jabatan Gubernur, Kota Gorontalo, Minggu (1/12).
Data KPA hingga Maret 2019, pengidap HIV/AIDS di Gorontalo mencapai angka 494 orang, yang pada tahun 2018 hanya berjumlah 400 orang.
Jika dirinci berdasarkan daerah, Kota Gorontalo menjadi yang tertinggi dengan 176 orang. Kabupaten Gorontalo 102 orang, Boalemo 63 orang dan Pohuwato 58 orang. Untuk Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo Utara masing-masing 49 dan 36 orang.
Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu menjelaskan, faktor gaya hidup memiliki peran kunci meningkatnya jumlah pengidap HIV/AIDS di daerah.
Dikatakannya berbagai upaya terus dilakukan oleh KPA agar penularan virus itu bisa terkendali. Selain sosialisasi dan pendekatan kepada komunitas yang rentan, KPA rutin melakukan edukasi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Menurutnya, pelajar dan mahasiswa menjadi yang paling rentan, dengan jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 61 orang.
Idah menilai penanggulangan HIV/AIDS tidak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah dan KPA. Pihaknya juga membutuhkan peran serta masyarakat, khususnya di tingkat keluarga sebagai garda terdepan yang mengawasi anak-anaknya.
“Kami juga melakukan sidak di kos-kosan dan. Setiap kami melakukan sidak, ada satu atau dua orang yang positif HIV dari hasil pemeriksaan. Jadi saya sampaikan ke pemilik kos, lebih hati-hati dalam menerima penyewa. Kalau bisa ada jam malam ada aturan-aturan yang ketat,” tambahnya.
Peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh setiap 1 Desember, itu diisi dengan berbagai kegiatan diantaranya jalan sehat, pemberian bantuan sembako bagi Orang Dengan HIV/Aids (ODHA), donor darah, dan pemeriksaan HIV gratis serta sosialisasi.
Peringatan Hari AIDS Sedunia setiap tahun selalu mengusung tema spesifik. Tema ini dipilih setelah konsultasi antara UNAIDS, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan organisasi lainnya yang terlibat dalam pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS.
Tema yang dipilih tidak hanya dibatasi untuk satu hari itu saja, tapi juga digunakan sepanjang tahun untuk menyoroti kesadaran akan HIV/AIDS. Untuk Hari AIDS Sedunia, tema yang dipilih adalah 'Communities make the difference'.
Berdasarkan data WHO, pada akhir 2018 terdapat 37,9 juta orang yang hidup dengan HIV. Sementara itu pada tahun 2018, 1,7 juta orang baru pertama kali terinfeksi dengan HIV dan 770 ribu orang meninggal karena penyebab terkait HIV.
Dari 37,9 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir 2018, 79 persen telah menerima tes, 62 persen menerima pengobatan dan 53 persen telah menekan virus HIV dengan mengurangi risiko untuk menulari orang lain.
WHO menulis bahwa pencapaian ini didorong oleh komunitas pekerja kesehatan, orang dengan HIV dan populasi yang ada. Untuk itu, pada peringatan Hari AIDS Sedunia 2019, WHO ingin menyoroti kontribusi yang telah dibuat oleh komunitas-komunitas ini dalam mengakhiri epidemi HIV sekaligus menarik perhatian masyarakat global.
Pesan Sekjen PBB
Hari AIDS Sedunia 2019 diperingati oleh semua negara yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pun memberikan pesan resminya untuk peringatan Hari AIDS Sedunia. Dikutip dari pesan resminya di laman PBB, Guterres menekankan bahwa komunitas di seluruh dunia merupakan pusat dari gerakan pemberantasan HIV. Tapi ia menyayangkan kurangnya sumber daya untuk mendukung gerakan ini.
“Rekor 38 juta orang hidup dengan HIV dan sumber daya untuk respon terhadap epidemi menurun 1 miliar dollar AS pada tahun lalu. Lebih dari sebelumnya kita perlu memanfaatkan peran organisasi yang dipimpin masyarakat yang mengadvokasi rekan-rekan mereka, memberikan layanan HIV, membela hak asasi manusia dan memberikan dukungan,” tulisnya.
Edukasi hilangkan stigma
Sebelumnya, penyintas human immunodeficiency virus (HIV) Putri Cherry mengatakan perlu ada edukasi untuk membangun pemahaman yang benar terhadap HIV/AIDS sehingga stigma dan diskriminasi kepada orang dan anak dengan HIV/AIDS bisa dihilangkan.
“Yang masih kurang saat ini dari sisi edukasi dan pemahaman bagi kita semua. Edukasi perlu dilakukan kepada siapa pun," katanya dalam bincang media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di Jakarta, Jumat (29/11).
Dikatakannya. seluruh lapisan mulai dari pejabat hingga masyarakat biasa, yang ada di desa maupun di kota, harus bisa dijangkau untuk memberikan edukasi dan pemahaman yang benar sehingga mereka tidak lagi memandang HIV/AIDS sebagai momok.
Menurut Putri, dari sisi pengobatan HIV/AIDS di Indonesia, terutama di Jakarta, sudah cukup bagus. Orang dan anak dengan HIV/AIDS bisa mendapatkan pendampingan dan obat anti-retroviral (ARV) secara gratis.
“Orang dan anak dengan HIV/AIDS harus minum obat ARV setiap hari. Hanya saja masih ada masyarakat, termasuk yang berisiko terkena HIV/AIDS, masih menolak dan tidak mau memeriksakan diri,” tuturnya. Padahal, orang dan anak dengan HIV/AIDS bisa tetap hidup sehat secara normal dan tidak menularkan bila rutin mengonsumsi obat ARV.
“Obat ARV akan menekan virus HIV hingga pada tahap tidak terdeteksi. Bila virus tersebut tidak terdeteksi, maka tidak akan bisa menular kepada orang lain,” katanya.
Putri menjadi salah satu narasumber dalam bincang media bertema "Mengakhiri Stigma HIV/AIDS: Masyarakat yang Membuat Perubahan" yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam rangka menyambut Hari AIDS Sedunia setiap 1 Desember.
Narasumber lainnya, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar serta konsultan program Linkages Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) dr Hendra Widjaja. (dtc/Ant)