Peningkatan Pengembangan Nilai Budaya Terkesan Melenceng

peningkatan-pengembangan-nilai-budaya-terkesan-melenceng

Kualasimpang, (Analisa). Sejumlah program peningkatan pe­ngem­bangan nilai bu­daya di Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tamiang di­duga belum efektif dan terkesan me­lenceng. Pasalnya, se­jum­lah kegiatan pe­ng­adaan barang di lembaga adat istia­dat itu disebut-sebut tidak sesuai perun­tukan.

Data yang diperoleh Analisa menye­butkan, pada tahun anggaran 2017 Se­kretariat MAA Aceh mengalokasikan pa­ket pengadaan belanja langsung melalui sumber Dana Alokasi Umum (DAU) yang di poskan di MAA Kabupaten Aceh Tami­ang.

Adapun kegiatan belanja langsung tersebut, yakni penga­daan perlengkapan antaran dan penerimaan pengantin Aceh Tamiang, seperti dalong, tutup dalong, tepak sireh, bale dengan bendera, payung pengantin Melayu dan talam antaran masing-masing dua set/unit dengan anggaran senilai Rp31,2 juta.

Namun, dua item di antaranya, yaitu pengadaan dalong dan payung pengantin Melayu diduga barang seken tapi harga satuannya dinilai terlalu mahal. Untuk dua set dalong bekas mencapai Rp19 juta. Sementara dua set payung pengantin Me­layu seharga Rp1,8 juta.

Sedangkan kegiatan pengadaan pe­r­leng­kapan pelaminan adat Melayu Aceh Tamiang senilai Rp50,2 juta diduga juga tidak sesuai peruntukan. Sebab, yang seharusnya dibeli adalah pelaminan lengkap untuk pesta pernikahan adat Melayu bukan sekadar pelaminan untuk pengantin.

Berikutnya, kegiatan peningkatan kapasitas kampung adat senilai Rp55,3 juta juga sarat dengan kejanggalan. Se­perti kegiatan sosialisasi seleksi tentang kampung adat justru dilak­sa­nakan di luar Kampung Adat, yaitu di Kampung Teluk Ke­pa­yang, Kecamatan Bendahara. Seha­rusnya, kegiatan itu digelar di Kampung Tangsi Lama, Kecamatan Seruway yang sudah diresmikan sebagai satu-satunya Kampung Adat yang ada di Kabupaten Aceh Tamiang.

Kejanggalan lainnya, yaitu terkait item pengadaan pakaian adat daerah bagi tokoh adat dalam Kampung Adat senilai Rp 25 juta. Harga satuan pakaian adat daerah tersebut mencapai Rp1 juta/pakaian untuk 25 orang tokoh adat yang ada di Kam­pung Adat, yakni Tangsi Lama, Seruway. Namun, dikabarkan, penerima pakaian adat tersebut tidak tepat sasaran. Kampung Tangsi Lama hanya menerima 9 pakaian adat dan sisanya 16 pakaian lagi disalurkan di Kampung Teluk Kepayang.

Dan yang terakhir, program penge­lolaan keragaman buda­ya, yakni kegiatan penulisan sejarah silsilah Raja-raja Ta­mi­ang dengan anggaran Rp30 juta, namun belum ada bukti fisik­nya.

Sesuai aturan

Terkait hal ini, Pejabat Pelaksana Tek­nis Kegiatan (PPTK) pada kegiatan ter­sebut, Hamzah Fanshuri, SE yang dikon­firmasi Analisa, Senin (11/2) menyata­kan, semua kegiatan su­dah sesuai aturan dan kebutuhan Majelis Adat di Aceh Tami­ang. Dia juga mengklarifikasi bahwa dalong tersebut bukan barang seken. “Harganya memang mahal karena terbuat dari campuran tembaga,” katanya.

Terkait perlengkapan pelaminan adat Melayu Tamiang, dia mengakui yang didatangkan adalah pelaminan nikah khusus untuk pengantin bukan untuk kapasitas pesta.

“Sudah dianggarkan Rp18 juta buat pelaminan waktu itu, tapi yang datang bukan pelaminan yang diharapkan, sehingga yang dibayar sesuai realisasi pengadaan yang ada saja,” aku­nya.

Menyangkut kegitan sosialisasi di luar Kampung Adat (Tangsi Lama), hal itu dianggap tidak menjadi masalah, ka­rena seluruh kampung yang ada di Aceh Tamiang merupakan Kam­pung Adat berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh. Di­katakan, kegiatan rapat dan sosialisasi di Kampung Teluk Kepayang, Bendahara sudah mendapat izin Majelis Adat dan Ketua Bidang Hukum Adat MAA Aceh Tamiang pada waktu itu.

Tentang pengadaan pakaian tokoh adat seharga Rp1 juta/orang, menurutnya, tidak terlalu mahal. Sebab, kata dia, Rp 1 juta itu sudah termasuk, pembeli­an peci, kain sam­ping dan teluk belanga.

“Memang untuk pecinya biasa bukan yang model panjang khas Melayu, karena harganya terlalu mahal Rp250 ribu satu tidak sanggup kita beli,” sebutnya.

Hamzah juga membenarkan soal 25 pakaian tokoh adat sebagian diberi ke Kam­pung Teluk Kepayang yang notabe­ne bukan termasuk Kampung Adat di Aceh Tamiang.

Sedangkan penulisan Sejarah Silsilah Raja-raja Tamiang di­akuinya belum bisa dilaksanakan karena kekurangan ang­garan. Menurut Hamzah, sesuai kepu­tus­an dari Majelis dan Pengurus MAA Aceh Ta­miang, penulisan Silsilah Raja Ta­miang harus dilakukan riset di luar daerah.

“Jadi dengan anggaran yang ada tidak cukup. Untuk Sil­silah Raja-raja Tamiang perlu dilakukan riset dan penggalian lagi. Saat ini penulisan sejarahnya sudah ada fisiknya, tapi bi­aya cetak belum ada,” terang Hamzah Fanshusri. (dhs)

 

()

Baca Juga

Rekomendasi