
Oleh: J Anto
MAKIN banyak perempuan Tionghoa Medan menemukan identitas baru melalui berbagai ruang sosial ‘baru’. Namun mereka berusaha tetap menyeimbangkan peran di ranah publik dan dosmetik. Bakti terhadap orang tua dan suami tetap tak diabaikan.
Sudah lama pasangan Kho Kok Seng dan Jap Sioe Wie berharap bisa mendapat keturunan anak laki-laki. Pasangan suami-isteri tersebut sebenarnya sudah dianugerahi tiga orang anak, semuanya perempuan. Bagi pasangan ini, anak perempuan atau laki-laki sebenarnya sama.
Namun tidak bagi orang tua Kho Kok Seng. Di keluarganya, Kho Kok Seng merupakan anak laki-laki sulung. Mereka tergolong orang Tionghoa totok. Masih kuat memegang adat istiadat. Mereka lahir dan besar di Tiongkok sebelum berimigrasi ke Medan. Itu sebabnya mereka berharap Jap Sioe Wie, menantu mereka, bisa memberi cucu laki-laki.
Maklum, bagi orang Tionghoa, anak laki-laki adalah penerus marga. Tanpa memiliki anak laki-laki, maka marga atau she otomatis terputus. Pada kehamilan keempat, impian mereka terwujud.
“Nenek saya langsung menyiapkan hidangan istimewa untuk penyambutan sang cucu laki-laki,” tutur Finche Kosmanto. Ia tak lain adalah puteri sulung pasangan Kho Kok Seng dan Jap Sioe Wie. Kakek dan nenek Finche lalu membuat pesta mua guek, sebuah pesta tradisi dalam keluarga Tionghoa menyambut 1 bulan usia bayi. Bagi orang Tionghoa, begitu seorang bayi lahir, mereka langsung dihitung berumur 1 bulan.
“Pagi buta nenek saya sudah berangkat dari Binjai menuju rumah kami di Kampung Anggrung,” Finche, yang sejak 2014 menjabat staf ahli anggota DPR RI dr. Sofyan Tan itu. Nenek membawa satu ekor anak babi panggang dan berbagai makanan lain. Mereka juga sembahyang Tie Kong dan leluhur di rumah. Lalu mengirim paket hantaran ke rumah sanak-saudara dan teman.
“Ketika saya dan dua adik saya lahir berturut, nggak ada sambutan seistimewa itu,” ujarnya.
Tiga Kepatuhan
Sebagai masyarakat yang menganut sistem patriarkhat, masyarakat Tionghoa memang memberi kedudukan istimewa terhadap anak laki-laki. Bahkan pada masyarakat Tionghoa kuno, dijumpai syair lagu yang isinya memandang amat rendah kedudukan anak perempuan. Syair lagu itu dijumpai dalam Kitab Shi Jing:
Kalau anak laki-laki dilahirkan/Taruhlah ia di tempat tidur/Kenakanlah padanya pakaian indah/Dan berilah dia mainan terbuat dari batu giok/Oh, betapa mulia tangisnya!/Semoga ia tumbuh besar mengenakan pakaian warna merah tua/Dan semoga ia menjadi kepala dari klan dan sukunya/
Kalau anak perempuan dilahirkan/Taruhlah ia tidur di atas lantai/Bungkuslah ia dengan pembungkus biasa/Dan beri dia mainan dari keping potongan ubin/Semoga ia tidak berbuat salah, juga tidak berbuat jasa/Semoga ia pandai menyediakan masakan dan anggur/Dan tidak membawa aib bagi orangtuanya/
Kutipan ini jelas mengungkapkan anak perempuan dipandang amat rendah pada zaman kuno. Padahal pada zaman puisi itu ditulis, kaum perempuan sudah memainkan peran penting dalam masyarakat. Konfusius, misalnya, mengatakan salah seorang pendiri dinasti besar waktu itu, Dinasti Zhou (1000 tahun sebelum Masehi) adalah seorang perempuan. Hal ini berlangsung lama hingga abad ke-11.
Pada masa Dinasti Song, kedudukan wanita menjadi merosot. Ungkapan terkenal pada dinasti itu, kehidupan perempuan tergantung pada tiga kepatuhan: kalau ia masih bersama orang tua, ia harus patuh kepada ayahnya, kalau sudah menikah, ia harus patuh kepada suaminya, dan kalau menjadi janda, ia harus patuh kepada anak laki-lakinya. (Myra Sidharta: 2000).
Bahkan pada masa itu dikenal juga tradisi mengikat kaki perempuan sejak usia 7 tahun. Kaki yang kecil dipandang ‘cantik’ oleh kaum pria, sedang kaki besar (normal), dicemooh sebagai perempuan petani yang harus bekerja di sawah atau ladang, sehingga tidak pantas diambil sebagai menantu. Tradisi mengikat kaki juga membuat anak perempuan hanya bisa beraktivitas di rumah.
Ajaran Konghucu juga menambahkan ciri perempuan pada asas yin dan pria pada asas yang ke dalam kosmologi China kuno. Asas yin mengacu pada yang dikuasai, kepasifan, dan asas yang mengacu pada yang menguasai dan keaktifan (Gondomono: 2013).
Alami Pergeseran
Namun konstruksi budaya yang telah berusia ribuan tahun itu telah banyak mengalami dialektika. Terutama dari nilai-nilai budaya yang lebih egaliter dalam memandang relasi laki-perempuan, termasuk kemunculan gerakan emansipasi pendidikan.
Tradisi keluarga mendahulukan pendidikan bagi anak laki-laki dan menomorduakan anak perempuan, terus mengalami berergeser. Kebiasaan orang tua mengatur perjodohan anak juga mulai longgar. Kisah perempuan yang telah berkeluarga membina karir bisnis, kerja, aktif berkecimpung di organisasi sosial dan politik, pun makin banyak dijumpai.
“Ayah saya tidak seperti kakek, ayah bertindak sangat adil pada anak-anaknya. Tidak ada keistimewaan bagi anak laki-laki maupun perempuan,” ujar Finche. Saat masih di SD, ayahnya sering memerlihatkan surat kabar berisi foto orang tengah mengenakan toga. Setelah besar, ia sadar, ayahnya ingin keempat anaknya jadi sarjana.
Tak sia-sia cita-cita almarhum ayahnya. Finche dan ketiga adiknya sudah meraih gelar sarjana. Bahkan dua adik perempuannya, menyelesaikan pendidikan pascasarjana mereka. Seorang lagi bahkan sudah kandidat doktor hukum. Kesetaraan juga diberlakukan saat tiba musim liburan sekolah, ia dan adik-adiknya setelah tamat SD, digilir liburan ke Jakarta.
“Naik kapal laut, karena kami dibesarkan dari keluarga sederhana,” tuturnya. Intinya setiap anaknya diberi kesempatan sama merasakan naik kapal laut ke Jakarta.
Lim Rosni, salah satu penulis fiksi Tionghoa produktif, menyebut soal demokratis orang tuanya dalam hal pendidikan anak-anak. “Terserah kami, mau sekolah sampai setinggi apa pun, yang penting ada niat dan kemauan belajar,” ujar penulis novel Sebuah Pembalasan itu.
Sekretaris PINTI Sumut, Jenice Tjong, juga mengakui tidak menemukan ketidakadilan gender dalam urusan sekolah. Hanya karena faktor ekonomi, ia dan saudaranya melanjutkan kuliah secara mandiri. Sore kuliah, pagi bekerja.
“Saya pernah mengajar di Sutomo saat kuliah di Universitas Nommensen,” ujarnya. Fakta semakin banyak perempuan sukses dalam pekerjaan dan bisnis, bahkan ada yang melebihi sukses laki-laki telah mengubah paradigma lama dalam keluarga Tionghoa soal pendidikan anak.
Pada ranah publik, kini juga makin banyak perempuan Tionghoa Medan duduk aktif sebagai pengurus organisasi sosial seperti Lions Club, Rotary Club, PSMTI, Perhimpunan INTI, organisasi agama, dan yayasan-yayasan sosial, dsb. Sebuah peran sosial ‘baru’ yang memberi identitas baru bagi mereka.
Ketua Perhimpunan INTI Medan, Janlie Wong (48), menyebut pendidikan tinggi, karir kerja, bisnis yang sukses, dan keterlibatan perempuan Tionghoa dalam berbagai organisasi sosial, menjadi penanda kesetaraan gender telah dinikmati perempuan Tionghoa di Medan. Tak terkecuali di ranah politik.
Janlie Wong bersama Lily Tan, pernah terpilih sebagai anggota DPRD Medan periode 2009 - 2014. Di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Tjhai Chui Mie, merupakan perempuan Tionghoa pertama di negara kita yang terpilih sebagai Walikota Singkawang pada Pilkada 2017.
Dapat Restu
Meski makin banyak sikap moderat dalam memandang relasi anak laki-laki dan perempuan, pendidikan, pekerjaan, aktivitas di ruang publik, namun kesadaran terhadap nilai-nilai lain yang dipandang masih relevan tetap cukup kuat dianut.
Dalam urusan jodohan misalnya, Janice Tjong mengaku hal itu masih cukup dominan dianut keluarga Tionghoa di Medan. Namun dominan di sini dalam arti calon pasangan hidup anak harus mendapat restu orang tua. Artinya anak tetap diberi kebebasan memilih calon pasangan hidup mereka. Namun restu orang tua juga tak boleh diabaikan.
Bahkan menurut Lim Rosni, jika tak ada restu orang tua, bakal muncul sanksi. Orang tua misalnya tak mau hadir saat acara pesta pernikahan, anak tak dikasih harta warisan, dan sebagainya.
Soal keharusan memiliki anak laki-laki, kini juga muncul pandangan lebih moderat. Bagi Jenice Tjong, keberhasilan keluarga mendidik anak jadi orang bertanggung jawab, berbakti, berhasil dalam pendidikan, dan pergaulan melampaui soal gender.
Finch sependapat. Bahkan ia menengarai sekarang ini justru anak perempuan kerap lebih peduli merawat orang tua, sekalipun mereka telah berumah tangga. Lim Rosni, yang telah menulis ratusan cerita pendek di berbagai surat kabar dan majalah, menyebut anak perempuan sekarang banyak sukses secara ekonomi. Itu sebabnya posisi anak perempuan ‘naik’ di mata orangtua.
“Tapi tak bisa bohong kalau anak laki-laki tetap lebih diharapkan karena membawa atau meneruskan marga ayah,” ujarnya.
Tentang keterlibatan perempuan Tionghoa di ruang publik, ta,bahnya Jenice Tjong, tak ingin ada dikotomi mana yang lebih bagus antara perempuan yang memilih mengurus rumah tangga dengan yang memilih berkarir di luar.
Menurutnya, kebanyakan orang menganut pilihan itu sesuai yang dialami sejak kecil. Ada anak perempuan yang merasa nyaman ditemani ibu sepanjang hari. Saat berkeluarga, ia secara sadar tidak abai dengan peran tersebut, sekalipun punya aktivitas bisnis, karir atau organisasi sosial.
“Banyak suami dan mertua dapat menerima hal ini dengan gembira dan bangga, apalagi istri dan menantunya dapat membagi waktu dengan baik, me-manage keluarganya dengan baik, dan yang terpenting anak-cucu mendapatkan porsi pendidikan dan perawatan yang baik,” ujarnya.
Dalam istilah Janlie Wong, sekalipun di luar rumah perempuan Tionghoa bisa memerlihatkan keperkasaan gender, namun di rumah, urusan keluarga, suami dan anak-anak juga tetap yang utama. Barangkali inilah yang disebut sebagai superwomen. Berpikir dan bertindak dengan nilai-nilai modern, di sisi lain tetap merasa perlu melestarikan tradisi lama.