
Oleh: M. Anwar Siregar
Permasalahan lingkungan di Sumatera Utara pada hakikatnya adalah masalah tata ruang ekologi lingkungan yang menyebabkan perubahan cuaca dan iklim. Masalah ini timbul karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan lingkungan tersebut tidak atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia di beberapa wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Masalah lingkungan fundamental yang paling utama berkaitan erat dengan polutan udara misalnya pemanasan global, lubang ozon dan hujan asam menjadi isu global.
Warna-warni bencana alam atau beragam jenis bencana di Sumut masih mengancam kehidupan masyarakat di tahun 2019. Hal ini ditandai dengan longsor di Parapat. Karena itu dan perlu terus menguatkan kapasitas sumber daya manusia dalam mengantisipasi bencana alam di era global.
Banjir Merepotkan
Pernahkan Anda merasakan bencana banjir? Air masuk ke rumah tanpa permisi, sehingga kita sibuk mengangkat barang, membersihkan sampah, lumpur dan duduk menahan dingin di malam hari. Seharusnya pada saat itu kita tidur pulas. Basnjir itu tentu disebabkan aturan yang tidak dipatuhi.
Kebijakan perlindungan garis sempadan sungai banyak dilanggar di kota besar di Sumatera Utara, dan paling banyak di Kota Medan. Penerapan dalam penataan ruang justreu diabaikan. Pemerintah kota di Sumut tidak pernah melahirkan kebijakan soal sistem drainase pada kawasan-kawasan resapan. Begitupun juga soal ketinggian lahan bangunan pada daerah-daerah di dataran yang mudah mengalami banjir dan sebagai daerah restading pound bagi luncuran air. Ini banyak terjadi di daratan Pantai Timur.
Jadi tidak heran jika masyarakat Medan dan Tebing Tinggi sering kerepotan akibat banjir. Hal ini diesbabkan sejak awal dalam menyusun rencana tata ruang kota di Sumut tidak sering memperhatikan aspek topografi ekologi, aspek kesatuan ruang hulu hilir yang dimulai dari DAS hingga teluk atau laut. Padahal seharusnya menjadi basis dalam menyusun tata ruang banjir di kota, dan harus melibatkan masyarakat untuk penyusunan peraturan tata ruang kota.
Apabila tidak memperhatikan aspek RTRW kota, tentu berdampak pada kehancuran hutan. Bila hutan habis dibakar maka kabut asap dan ancaman banjir masih akan terus berlanjut.
Batuk Asap
Bencana kabut asap sepertinya mulai berpindah ke Utara Sumatera. Ini ditandai dengan seringnya terjadi kabut asap di Aceh dan sebagian Jambi. Sebelumnya Riau merupakan raja polutan asap. Sementara Sumatera Utara diperkirakan tidak akan bebas kabut asap.
Buruknya pengelolaan kawasan hutan di Sumatera Utara, seperti di kawasan Danau Toba adalah salah satu buktinya, dan menambah variasi warna musibah setelah banjir. Dampaknya menimbulkan banyak kerugian dan sebagai sumber kebodohan SDM karena banyak menikmati “panen libur”. Dampak kebakaran hutan yang menghasilkan kabut asap ini telah membuat Indonesia jadi “gunjingan” masyarakat internasional.
Kebakaran hutan di Sumatera Utara harus diwaspadai karena diperkirakan pada tahun 2019 masih ada tingkat pemanasan udara, bahkan semakin tinggi. Faktor utama penyebabnya adalah masalah ekonomi dengan menekan kawasan hijau. Semua ini memaksa pendesakan tata ruang yang seharusnya dipatuhi, karena berdampak pada perusakan lingkungan.
Pembakaran lahan (ingat sekali lagi kebakaran hutan Danau Toba) untuk pembukaan pemukiman, terutama pada lahan perkebunan. Hal ini mengubah kondisi mobilisasi udara atmosfer di Sumut menjadi kawasan yang rentang pancaroba. Jadi kita harus meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kebakaran hutan dan lahan yang setiap saat bisa terjadi.
Ini merupakan gambaran fundemental masyarakat dan tata ruang kota di Sumatera Utara yang belum tangguh menghadapi bencana kabut asap maupun bencana alam lainnya serta merupakan tantangan bagi pemikir perencanaan pembangunan dalam menghadapi tantangan bencana kebakaran hutan, sebuah pekerjaan rumah yang terus menerus harus dipecahkan dan diselesaikan agar tidak menghasilkan rapaor merah (bahaya maut).
Waspada Longsor
Akibat dari hutan habis di hancurkan, dampaknya terjadi gerakan tanah, bukan curah hujan tinggi, melainkan mengalami bencana ekologi hutan yang benar-benar sudah terjadi di beberapa daerah di Madina, Tapsel, Humbahas, dan Tanah Karo, Parapat-Simalungun diakibatkan kebijakan atau perizinan yang merusak tata ruang ekologi hutan, hukum negara tidak “tangguh” untuk melindungi masyarakat sehingga masyarakat menanggung akibatnya.
Bencana longsor sebagai peringatan pada sejumlah wilayah rawan bencana gerakan tanah berulang kembaili di tahun ini di Sumatera Utara, ada longsoran tiap bulan di Batu Jomba Tapsel setelah era Aek Latong, sejumlah wilayah yang berpotensi terjadi gerakan tanah bisa menimbulkan bencana longsor adalah di Tapanuli Selatan melalui jalan “Neraka Legendaris” Aek Latong dan Batu Jomba serta di Tanah Karo di Jalinsum Brastagi dan Kaban Jahe ke Kutacane dan jalan maut di Humbahas serta jalan sempit sisi tebing maut di Parapat akan menambah biaya ongkos transportasi logistik akibat jalan rusak serta ongkos biaya hidup semakin “mencekik leher”.
Akibat perubahan kondisi hutan menambah tekanan kondisi geosfer di Ssumatera Utara sseakin esktrim karena gunung Sinabung masih terus mengeluarkan erupsi.
Sumatera Utara harus mewaspadai munculnya siklon maut karena atmosfir Indonesia masih mengalami tekanan ekstrim karena gunung-gunung terus mengeluarkan erupsi tiada hentinya.
Kita sudah mengetahui, erupsi gunungapi Sinabung belum juga menghasilkan jeda, dapat menyebabkan bencana bagi masyarakat luas karena kolom udara atmosfer mengalami perubahan kondisi ekstrim seperti yang dilakukan gunungapi Tambora dan Anak Gunung Krakatau menghasilkan tsunami di Selat Sunda, sehingga masyarakat mengalami banyak kegagalan panen. Abu vulkanik dan sulfur dioksida yang ia lontarkan ke atmosfer, memberikan dinamika tambahan jenis bencana.
Bencana letusan Gunun Sinabung telah memberikan warna bencana tersendiri di Sumatera Utara khususnya di Tanah Karo. Korban jiwa, kehancuran sarana dan prasarana tetap memberikan sebuah pukulan telak bagi keberlanjutan sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi serta sumber daya ruang. Jenis aktivitas ini punya efek luas, dan tidak hanya penduduk dekat kawasan gunung api yang meletus tetapi masyarakat luas juga akan merasakan dampaknya bagi ketahanan pangan di daerah gunungapi penghasil pertanian dan perkebunan, dan hal ini sudah terbukti.
Energi Alam
Belum selesai masyarakat tenang dalam menghadapi persoalan ekonomi kehidupan mendadak ekonomi goyang karena terlanda lindu alias gempa, karena kota tidak dirancang berketahanan energi dalam gempa, dan sejumlah gempa belakangan ini terjadi di berbagai kota di Indonesia dan Sumatera Utara telah membuktikan kota mereka berada di kerentanan ring of fire, seharusnya dapat menekan kemiskinan ekonomi dampak dari kehancuran kota dengan merancang kota berketahanan gempa.
Kesimpulan, gempa dan banjir, dua bencana alam ini akan menjadi sebuah “primadona bencana kemiskinan” sebab, tata ruang kota di Sumatera Utara dan Indonesia memang dirancang untuk “bencana kemiskinan”. Bersiap menghadapi serangan warna warni bencana lingkungan di kota masing-masing sepanjang tahun 2019.
(Penulis adalah pemerhati tata ruang lingkungan dan energi geosfer)